Setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama seminggu, akhirnya Azalea sudah diizinkan pulang oleh dokter yang merawatnya. Luka kepalanya sudah mengering. Punggungnya sudah tidak terasa sakit lagi.
Saat ini Azalea sudah berada dirumah. Ia sedang duduk di meja makan yang ada di dapur. matanya menatap Arfid yang sedang sibuk membuat sarapan untuknya. Azalea baru tahu bahwa ternyata Arfid memiliki keahlian memasak. Jika saja ia tahu sejak dari awal, Azalea tidak akan pernah mau memasak.
Arfid meletakkan satu piring yang berisi nasi goreng dihadapan Azalea, lengkap dengan segelas susu rasa vanila. Sejak pulang dari rumah sakit, Arfid sering memaksa Azalea meminum susu sebanyak tiga kali sehari, seperti minum obat. Arfid beralasan bahwa supaya Azalea cepat pulih.
Azalea menyendokkan nasi goreng yang ada dihadapannya, kemudian melahapnya. Sementara, Arfid menatapnya dengan tatapan lembut. “Gimana, enak?”
Azalea menganggukkan kepalanya. Nasi goreng buatan Arfid memang terasa enak apalagi jika dimakan bersama telur dadar. Tak terasa Azalea sudah hampir memakan nasi goreng itu hingga habis. Setelah habis, Azalea langsung meminum susu vanilla yang juga sudah disiapkan oleh Arfid. Melihat Azalea seperti itu, Arfid tersenyum puas.
“Lea! Arfid!”
Terdengar suara Mbak Metri yang memanggil mereka berdua. Arfid dan Azalea sempat berpandangan kemudian mereka segera menuju ke ruang tamu.
Di ruangan tamu yang tidak terlalu luas itu sudah terlihat Mbak Metri yang sudah duduk di sofa. Mbak Metri berpakaian layaknya perempuan yang masih berusia 25 tahun. Siapapun yang melihat Mbak Metri, pasti tidak akan menyadari bahwa pekerjaan Mbak Metri adalah intel.
Mata Azalea melirik ke arah berberapa berkas terlihat diatas meja. Arfid dan Azalea memilih duduk dihadapan mbak Metri.
“Gimana, Lea? Sudah merasa sehat?” tanya Mbak Metri.
“Udah mbak. Kejam amat Mbak gak jenguk Lea di rumah sakit,” jawab Azalea sambil menggerutu.
Mbak Metri hanya tertawa melihat Azalea yang menggerutu. Mbak Metri kemudian mengambil sesuatu dari dalam berkas yang ada dihadapannya kemudian meletakkannya di hadapan Azalea.
Sebuah foto. Foto tersebut merupakan foto Ilham yang sedang tersenyum dengan latar belakangnya Sungai Musi. Azalea menatap wajah mbak Metri seakan-akan menuntut sebuah penjelasan.
“Ini namanya Ilham. Dia putra tunggal wakil gurbenur. Tolong diselidiki informasi dari bapaknya ya,Lea. Kalau bisa secepatnya,” jelas Mbak Metri.
Azalea langsung mengeryitkan dahinya, “Loh Mbak, katanya Lea mau dibebaskan dari misi ini?”
“Hah?” Mbak Metri menatap Azalea dengan kaget. “Darimana kamu tau?”
“Mbak, dia dengar ucapan kita saat dia masih koma,” balas Arfid dengan nada menyindir Azalea. Azalea langsung menyikut pinggang Arfid.
“Tapi gak jadi, Le. Pak Bayu tidak setuju,” Lanjut Mbak Metri.
Arfid yang sedari tadi menyandarkan punggungnya ke sofa, langsung memajukan tubuhnya seperti merasa lebih antusias, “Beneran Mbak?”
“Iyalah. Sejak kapan Mbak bohong,” kata Mbak Metri.
Arfid tak bisa menyembunyikan raut lega dari wajahnya saat tahu bahwa Azalea masih menjalani misi yang sama dengannya. Dengan begitu Arfid bisa lebih memperhatikan Azalea serta melindunginya.
Mbak Metri menyadari raut wajah Arfid namun ia tak ingin membahasnya sekarang. “Jadi gini, Lea. Tolong dapetin informasi dari Ilham, siapa saja penjabat yang sedang dekat dengan ayahnya. Mbak dengar dari pusat kalau ada seorang penjabat yang dekat dengan ayahnya.”