“Cita-cita itu tidak ada yang murah. Cita-cita itu mahal. Harus dibayar dengan materi, kerja keras dan waktu.”
****
Laki-laki itu menyesap kopi sambil menikmati tanah basah yang ada dihadapannya. Hujan baru saja berhenti setelah mengguyur perdesaan itu. Bau khas dari hujan yang bernama petrichor itu benar-benar menenangkan hidung laki-laki itu.
Laki-laki meletakkan kembali kopi ke cangkir yang ada dimeja sampingnya. Matanya kemudian melirik kearah gadis muda yang sedang menatapnya, “Jadi gimana?”
“Terlalu berbahaya untuk Bapak jika mengincar Arfid. Dia orangnya terlalu berhati-hati dengan orang lain,” ucap gadis muda yang umurnya diperkiraan sebaya dengan Azalea.
Laki-laki itu mengambil sebatang rokok dari kemejanya, kemudian membakarnya, “Jadi harus bagaimana? Arfid?”
Gadis muda itu mengeluarkan sebuah foto dari tas kecilnya. Foto tersebut adalah foto Azalea yang sedang melakukan selfie di Jembatan Ampera. Gadis muda itu meletakkan foto itu disamping cangkir kopi laki-laki itu.
“Azalea?” tanya laki-laki itu. Tangan kirinya mengambil foto itu kemudian menatapnya lekat-lekat, “Ada apa dengan anak ini? Apa dia memiliki pengaruh besar dalam hidup Arfid? Mengapa kamu dan sekretaris saya memberi foto ini?”
“Namanya Azalea. Umurnya diperkirakan 19 tahun, sama seperti saya. Bapak bisa memperalat Azalea karena Arfid jatuh cinta dengan perempuan ini,” jawab gadis muda itu sambil tersenyum licik.
****
Azalea berjalan menelusuri pinggiran Sungai Musi. Sudah hampir dua minggu ia tak mengunjungi tempat ini. Azalea juga mengakui bahwa ia benar-benar merindukan tempat ini. Sore ini tidak banyak terlihat orang yang mengunjungi Benteng Kuto Besak yang terletak dipinggir Sungai Musi.
Azalea melangkahkan kakinya menuju Taman Malam Benteng Kuto Besak yang tak terlalu jauh dari tempat ia berdiri semula. Azalea mendekati pagar yang membatasi daratan dengan sungai itu. Azalea menumpukan kedua tangannya sembari melihat sungai. Sungai itu terlihat berberapa perahu kayu yang saling berlalu-lalang.
Azalea berjanji setelah misinya selesai, dia akan mengunjungi kota ini lagi.
Seseorang ikut menumpukan kedua tangannya ke pagar yang berwarna merah itu, “Sedang apa, Le?”
Sadar ada seseorang yang mengajaknya berbicara, Azalea menolehkan kepalanya dan ia mendapati Ilham yang sedang memakai pakaian olahraga.
“Melihat keindahan Sungai Musi. Kalau kamu barusan ngapain?” tanya Azalea kemudian menatap sungai itu lagi.
“Yah tadi barusan selesai jogging,” jawab Ilham tanpa menoleh ke arah Azalea sedikit pun.
Azalea hanya mengangguk. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Matahari sudah terlihat hampir terbenam sehingga menambah kesan indah pada daerah itu.
“Cita-cita aku sebenarnya menjadi Polisi, Le. Tapi gagal karena aku kalah saing dengan anak perwira menengah yang nepotisme,” ucap Ilham setelah hampir 10 menit mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Azalea terhenyak. Azalea langsung menoleh ke arah Ilham. Baru sekali ini Ilham bercerita tentang kehidupan pribadinya. Dahulu saat ia masih menggunakan identitas aslinya, Ilham tidak pernah bercerita seperti ini kecuali jika Nadila yang memaksanya.
Ilham memperhatikan Azalea yang terkejut, “Kaget Le? Banyak orang diluar sana menyuruh aku buat ngandelin nama besar ayahku yang wakil gubenur. Bahasa simpelnya nepotisme.”
“Terus kenapa kamu gak mau?” tanya Azalea.
“Aku takut saat orang tau aku tidak cukup pandai, orang-orang diluar sana pasti bilang aku Cuma ngandelin nama ayahku aja,” Ilham sempat terdiam berberapa detik, “Ini tahun terakhir aku ikut tes masuk Akademi Kepolisian. Kalau aku gak lolos juga, berarti memang bukan rezekiku.”
Azalea menatap Ilham dengan tatapan yang sedih. Ingin rasanya Azalea memeluk Ilham saat ini juga, apalagi saat ini Ilham menunjukkan luka yang tak pernah ia tunjukkan sama sekali kepada dunia.
“Fighting, Ilham! Usaha keras tidak akan mengkhianati hasil,” Azalea menepuk bahu Ilham, berusaha menyemangatinya.
Ilham tersenyum lebar. Semangatnya yang sudah luntur sejak berberapa bulan yang lalu, langsung terisi penuh saat Azalea menyemangatinya, “Kamu setiap hari kesini terus ya, Le? Ngapain aja emangnya?”
Azalea terdiam saat mendengar pertanyaan Ilham. Dia baru sadar bahwa hampir setiap hari ia mengunjungi Benteng Kuto Besak. Saat Azalea dirawat di rumah sakit, muncul rasa kangen jika tidak mengunjugi tempat ini, Apalagi jika suatu saat misinya sudah selesai. Tentu ia tak akan bisa ketempat ini lagi.
“Aku cuma memanfaatkan waktu aja. Aku gak selamanya disini, suatu saat aku bakal pergi,” jawab Azalea lirih. Ada rasa perih saat ia tahu bahwa tak selamanya ia berada disini. Suatu saat Azalea akan pergi dan mirisnya ia sudah terbiasa dengan hiruk pikuk Kota Palembang ini.
“Kamu mau kemana emangnya?” tanya Ilham pelan.