A Missing Part

Rara Rahmadani
Chapter #12

Bagian Sebelas

Azalea sedang melihat berberapa dress yang berada didepannya, Sementara Arfid dengan sabar menunggu Azalea. Saat ini mereka berada disalah satu mall terkenal di Kota Palembang yang bernama Palembang Indah Mall. Siang itu, Mall cukup terlihat ramai karena memang ini adalah salah satu mall favorit yang ada di Palembang.

Azalea sengaja memaksa Arfid untuk menemaninya membeli dress dan hells untuk acara pelantikan walikota Palembang pada malam nanti. Awalnya Arfid menolak namun karena Azalea terus memaksanya, akhirnya Arfid bersedia menemani Azalea.

Arfid memang tidak pernah mau nemenani perempuan berbelanja, karena ia tahu betul bagaimana tingkah perempuan saat belanja. Biasanya perempuan berkata akan membeli pakaian, namun setelah berkeliling mall selama hampir 3 jam, justru yang terbeli bukan pakaia, justru malah sepatu. Namun entah kenapa saat Azalea memintanya untuk menemaninya berbelanja, Arfid akhirnya mau meskipun sempat diawali drama pemaksaan.

Azalea menganggkat kedua hanger dress yang berwarna hijau army dan dongker, “Mana yang bagus? Hijau army atau dongker?”

Arfid yang memang tak tahu menahu mengenai dress perempuan langsung menjawab, “Dongker.”

“Kok dongker sih? Ini modelnya sabrina! Gue udah banyak punya model kaya begini. Yang hijau army aja kali ya?” ucap Azalea.

Arfid kemudian mendekati dress yang berwarna hijau kemudian melihatnya dengan seksama. Arfid langsung menggelengkan kepalanya saat ia melihat potongan kain yang menutupi dada terlalu rendah, “Ini nanti dada lo kelihatan, Lea!”

“Ya terus gimana? Gue gak suka model sabrina terus,” balas Azalea.

“Gak! Gue gak setuju. Yang warna dongker aja,” paksa Arfid.

Disaat Azalea dan Arfid berdebat mengenai dress itu, Pramuniaga yang sedari tadi berdiri dibelakang Azalea hanya tersenyum. Lucu sekali melihat pasangan itu berdebat.

Arfid langsung mengambil dress sabrina berwarna dongker itu dari tangan Azalea kemudian menyerahkan ke pramuniaga yang sudah tersenyum dari tadi, “Yang ini aja Mbak.”

Azalea melongo saat Arfid dan pramuniaga itu berjalan menuju kasir. Azalea mendecakkan bibirnya. Ia meletakkan dress hijau army itu kembali ketempat semula kemudian berjalan menyusul Arfid yang terlihat sedang membayar pakaiannya. Azalea tahu bahwa ia tak akan pernah bisa menang jika berdebat dengan Arfid.

****

Suasana mobil saat ini begitu hening. Tak ada sepatah kata keluar dari bibir Azalea dan Arfid. Sudah hampir 5 menit mereka meninggalkan mall itu. Arfid tak memperdulikan Azalea yang sedang ngambek, ia justru terfokus kepada jalan yang ada dihadapannya.

Azalea yang sedari tadi melirik kearah spion kiri mobil tiba-tiba merasa terkejut saat Arfid membelokkan mobilnya menuju ke Benteng Kuto Besak. Padahal mereka tidak punya janji untuk pergi ke Benteng Kuto Besak.

Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi, Arfid langsung memberi kode kepada Azalea untuk turun. Dengan wajah yang terlihat bete, Azalea turun dari mobil kemudian mengikuti langkah Arfid menuju tepi sungai Musi.

Pukul sudah menunjukkan 5 sore namun pengunjung Benteng Kuto Besak semakin ramai. Terlihat berberapa penjual makanan menjajakan dagagannya. Arfid yang daritadi berjalan didepan Azalea, memundurkan langkahnya , berusaha mensejajarkan langkah Azalea.

“Masih ngambek?” tanya Arfid kemudian merangkul Azalea. Jujur, Azalea tidak suka dirangkul oleh Arfid karena jika ia dirangkul, ia terlihat begitu mungil.

“Ngapain sih kesini?!” balas Azalea ketus.

“Kita berdua gak pernah kesini, lo terus yang kesini tanpa gue,” ucap Arfid.

Azalea terdiam. Memang mereka berdua tak pernah kesini karena setiap kali Azalea mengajak Arfid, Arfid selalu beralasan sibuk.

Kini dihadapan mereka terlihat Sungai Musi yang airnya begitu tenang. Azalea menangkupkan kedua tangannya dipagar yang membatasi daratan dan sungai itu. Arfid melepaskan rangkulannya kemudian memotret Azalea secara diam-diam dengan ponselnya. Setelah memotret Azalea, Arfid memberi kode kepada Azalea bahwa ia akan pergi sebentar.

Azalea menolehkan kepalanya kearah kiri dan ia melihat Arfid sedang berbincang kepada seorang Bapak tua didekat dermaga. Bapak tua itu telihat mengangguk kemudian menyerahkan sesuatu. Azalea kembali menatap sungai yang ada dihadapannya, berusaha mengabaikan Arfid yang sedang entah melakukan apa.

Belum hampir semenit Azalea tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Arfid menarik tangannya. Arfid memaksa Azalea untuk mengikuti langkah kakinya menuju Dermaga itu lagi.

Setelah sampai di dermaga, Arfid langsung menunjuk sebuah perahu kayu yang berwarna merah dan putih, “Naik!”

“Apa?” Azalea kaget, “Gue takut jatuh. Gue udah lupa cara berenang, Fid.”

Arfid mengabaikan ucapan Azalea. Ia berjalan kearah perahu itu kemudian menaikinya. Arfid memberikan tangan kanannya kepada Azalea. Azalea terlihat ragu. Azalea menatap mata Arfid dan terlihat sorot mata yang mengatakan bahwa Azalea akan baik-baik saja.

Dengan ragu, Azalea meraih tangan kanan Arfid kemudian berjalan menaiki perahu kayu itu. Begitu Azalea sudah berada di perahu kayu, Arfid langsung mendudukkan Azalea pada ujung perahu itu.

Berberapa keringat mengalir pipi Azalea hingga membuat Arfid ingin tertawa. Begitu penakutkah perempuan yang ada dihadapannya?

Arfid langsung menghidupkan mesin perahu itu kemudian berjalan menuju tengah sungai. Azalea berusaha menahan rasa takut dihatinya. Kedua tangannya memegang sisi kanan dan kiri perahu itu.

Disaat Azalea menoleh kebelakang, terlihat Jembatan Ampera yang begitu indah. Tak ingin kesempatan ini sia-sia, Arfid langsung mengambil ponselnya yang berada disaku kemejanya kemudian memotret Azalea secara diam-diam.

Arfid mematikan mesin perahu itu tepat setelah mereka berada di tengah Sungai Musi. Pemandangan Jembatan Ampera dibelakang Azalea terlihat semakin indah. Azalea menolehkan pandangannya ke Arfid, Arfid langsung berkata, “Senyum, Le. Biar gue foto.”

Lihat selengkapnya