BRAK.
“Mana bisa kalian lepas tangan begitu saja!” Arfid mendobrak meja dan berteriak didepan Pak Yanto, Pak Bayu dan Mbak Metri.
Setelah Arfid menelepon Ilham untuk menjaga Azalea, Arfid langsung berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat terbang. Tak lupa juga, Arfid berpesan kepada Ilham bahwa jika Azalea sudah sadar, jangan memberitahukan keberadaan Arfid kepada Azalea.
Arfid sudah tiba di Jakarta tepat pukul delapan malam dan langsung pergi ke gedung Badan Intelijen Negara. Pada malam itu, Arfid beserta petinggi BIN melakukan rapat mendadak. Arfid juga memberitahu kondisi Azalea yang diborgol oleh polisi karena ketahuan memiliki senjata api.
“Mau bagaimana lagi, Fid? Nanti nama kita tercoreng kalau kita memberikan misi kepada warga sipil yang tak tahu apa-apa,” jelas Pak Bayu.
“Bapak tahu konsekuensi ini kan? Terus kenapa bapak menyeret Nadila ke misi ini jika bapak takut nama BIN tercoreng? Bapak gak tau kalau Nadila udah hampir terbunuh 3 kali karena misi ini!” suara Arfid meninggi. Baru sekali ini Arfid kecewa kepada instansi yang selalu ia banggakan.
Melihat emosi Arfid yang tak terkontrol, Mbak Metri bangkit kemudian duduk disamping Arfid, “Sabar, Fid. Nanti kita cari jalan keluar ya.”
“Baru sekali ini Arfid kecewa, Mbak! Kenapa Pak Bayu seakan-akan lepas tangan begitu aja,” balas Arfid.
“Bapak bukan lepas tangan Arfid, tapi....” belum sempat Pak Bayu melanjutkan ucapannya, Arfid langsung memotong “Apa Pak? Sebelum Nadila sadar, kita harus sudah meyakinkan polisi kalau itu bukan salah Nadila. Sempat saja berita Nadila tersebar hingga ke telinga panitia Akpol, percuma saja kalian memberinya reward!”
Nafas Arfid memburu saat ia menumpahkan semua emosinya. Mbak Metri berkali-kali mengelus bahu Arfid, berusaha menenangkan Arfid. Sementara, Pak Yanto mengusap wajahnya dengan kasar. Pak Yanto memang setuju dengan ucapan Arfid, tapi kini ia bingung harus menjelaskan apa kepada polisi yang menetapkan Nadila sebagai tersangka.
****
Ilham masih setia menunggu Azalea yang masih enggan bangun dari tidurnya. Sudah hampir enam jam Arfid pergi dari rumah sakit, meninggalkan ia dan Azalea. Ilham melirik ke arah jam tangannya. Jam sudah menunjukkan tepat pukul satu malam namun matanya tidak sedikit pun mengantuk.
Ilham menatap wajah Azalea dengan sedih. Ia merasa bersalah karena Azalea melindungi dirinya dari tembakan peluru Septiawan. Apalagi ia melihat tangan Azalea yang diborgol karena menembak Septiawan. Ilham berfikir bahwa Septiawan memang tidak bermain-main dengan ucapannya. Septiawan hampir saja membunuhnya karena ia memberitahukan lokasi Septiawan kepada Arfid.
Ilham sempat mendengarkan berita di televisi bahwa Septiawan tewas karena dua peluru yang ditembakkan Azalea menembus jantungnya. Ilham lega saat mendengar berita itu namun disisi lain, ia khawatir Azalea akan dipenjara karena itu. Setelah Azalea bangun, Ilham berencana akan meminta bantuan Ayahnya agar Azalea tidak dipenjara.
Ilham melihat jari Azalea sedikit bergerak. Ilham menoleh ke wajah Azalea dan terlihat Azalea sedang membuka matanya perlahan. Ilham merasa lega karena Azalea hanya butuh waktu delapan jam untuk tidur setelah operasi. Ilham langsung berlari keluar kemudian memanggil dokter.
****
Azalea sudah merasa sadar total dari obat bius yang berada didalam tubuhnya. Berberapa dokter sedang memeriksa Azalea, sementara Azalea berusaha mencari keberadaan Arfid dari kerumunan dokter dan perawat itu.
“Syukurlah, tidak ada komplikasi. Pasiennya sudah bisa dipindahkan ke ruang inap,” ucap dokter kemudian keluar dari ruangan itu.
Berberapa perawat melepaskan kabel-kabel yang melilit ditubuh Azalea. Setelah memastikan tidak ada kabel yang berada ditubuh Azalea, berberapa perawat mendorong ranjang tidur Azalea menuju keluar. Azalea mengedarkan pandangannya, ia hanya menemukan keberadaan Ilham.
****
“Mana Arfid?” tanya Azalea kepada Ilham yang sedang duduk di sofa. Azalea sudah berada diruang inap. Sebelum menuju ke ruang inap yang terletak dilantai lima, berkali-kali Azalea mencari Arfid diantara kerumunan perawat dan setelah perawat meninggalkan Azalea, tetap juga tidak ada sosok Arfid.
Ilham bangkit kemudian mendekati Azalea yang menatapnya dengan tatapan tajam. Ilham ingin mengatakan hal jujur kepada Azalea, namun karena permintaan Arfid, ia mengurungkannya.
“Jawab pertanyaan aku, Ham,” ucap Azalea. Azalea hendak memegang tangan Ilham namun tidak bisa karena sesuatu menahan tangannya.
Azalea melihat pergelangan tangannya diborgol. “Kenapa tanganku diborgol Ham? Mana Arfid?”
“Tangan kamu diborgol karena kamu jadi tersangka, Le.” Ilham terdiam sebentar, “Sementara, Arfid dari tadi udah berangkat ke Jakarta. Dia gak kembali ke sini lagi.”
Air mata Azalea langsung tumpah saat mendengar ucapan Ilham terutama saat Ilham memberitahunya bahwa Arfid sudah pergi dan tidak akan kembali lagi. Azalea memberontakkan kedua tangannya sehingga suara besi beradu terdengar cukup keras. Ia ingin memukul dadanya yang selalu merasa sesak. Azalea tak menyangka bahwa Arfid tega meninggalkan dirinya yang sedang dalam kondisi tidak sadar.
Ilham hanya bisa melihat Azalea yang menangis terisak-isak. Ilham ingin menenangkan tangisan Azalea yang terdengar semakin keras, namun ia tak tahu harus berbuat apa. Ia juga tak bisa berbohong mengenai Arfid, karena suatu saat Azalea pasti akan mengetahui itu juga.
Azalea ingin kabur dari kamar itu tapi tidak akan bisa karena kedua tangannya diborgol. Air mata Azalea turun semakin deras hingga membasahi baju tidurnya. Azalea belum sempat mengucapkan salam perpisahan kepada Arfid, tetapi Arfid sudah pergi dahulu meninggalkannya.
****
“Sudah dapat kabar kalau Azalea sudah sadar?” tanya Mbak Metri kepada Arfid yang sedang menatap pemandangan gedung-gedung tinggi Jakarta.
Arfid mengangguk. Jam tujuh pagi tadi Ilham meneleponnya. Ilham memberi tahu dirinya bahwa Azalea sudah sadar dan kondisi Azalea yang menangis terisak-isak karena ia meninggalkan Azalea tanpa salam perpisahan. Saat mendengar kondisi Azalea yang seperti itu, Arfid berusaha menahan keinginan untuk terbang ke Palembang dan menemui Azalea. Arfid takut jika ia menemui Azalea lagi, ia tak akan bisa pergi dari sisi perempuan itu.