Nadila mematut dirinya pada cermin besar yang ada dikamarnya. Hari ini Nadila terlihat begitu bersemangat pergi kuliah. Tak biasanya Nadila bersemangat seperti ini. Jam masuk kuliah adalah pukul 9 pagi, sedangkan saat ini masih menunjukkan pukul 8 pagi dan Nadila sudah menyandang tas berwarna merah jambu yang menjadi favoritnya.
Nadila hendak membuka pintu rumahnya dan ia terkejut saat melihat Arfid yang berdiri tepat didepan pintu. Arfid terlihat begitu rapi, seperti mahasiswa yang hendak pergi kuliah. Nadila langsung menutup pintu rumahnya kemudian memegang lengan Arfid.
“Ngapain pagi-pagi kesini?” tanya Nadila dengan pelan.
“Aku mau ikut kuliah. Kamu lagi gak ada praktikum kan?” jawab Arfid dengan mudahnya.
Nadila langsung menggelengkan kepalanya. Ia tak bisa membayangkan reaksi para penghuni barisan belakang saat tahu Arfid ikut kuliah. “Gak bisa! Nanti apa kata temen gue? Temen gue tahu pekerjaan lo,Fid.”
“Ya terus emang kenapa?” Arfid justru balik bertanya.
“Ck,” Nadila berdecak. Ia merasa gemas saat mendengar pertanyaan Arfid. “Bahaya tahu! Mereka tahu pekerjaan lo.”
“Gak apa-apa,” Arfid merampas kunci motor dari genggaman Nadila kemudian berjalan kearah motor Nadila yang sudah terletak diluar pagar rumahnya.
Nadila mengusap wajahnya dengan kuat. Ia tak tahu bagaimana respon penghuni barisan belakang saat tahu Arfid ikut kuliah dengan mereka, terutama Feri. Nadila takut Feri akan bertanya-tanya tentang hal aneh kepada Arfid, mengingat kelakuan Feri yang kadang tak sesuai nalar.
****
“Jauh banget kelas lo, Nad! Dipojokan pula lagi,” gerutu Arfid.
Nadila langsung memukul lengan Arfid dengan kuat. “Gak ada yang minta lo buat ikut kuliah!”
“Tapi, keren juga kampus lo ya,” ucap Arfid sambil memandang ruang kelas yang berada di lantai dua.
“Gak usah norak, Fid. Lo juga pernah kuliah kan,” balas Nadila, menyindir kelakuan norak Arfid.
Nadila dan Arfid berbelok kearah lorong yang ada disebelah kanan. Nadila langsung melotot saat matanya melihat Feri dan Alfin yang sedang duduk didepan kelasnya. Feri dan Alfin pun tak kalah terkejut saat melihat laki-laki yang ada disamping Nadila. Wajah laki-laki itu sama persis dengan wajah yang ada di foto Nadila berberapa bulan yang lalu.
“Tuhkan, lihat temen gue,Fid! Mereka kaget,”Nadila menyikut lengan Arfid.
Feri melihat Nadila yang sedang menyikut lengan Arfid. Feri langsung bangkit dari duduknya kemudian berjalan mendekati Nadila dan Arfid.
“Astagfirullah, Nadila!” Feri menepuk dahinya sendiri. “Katanya kau gak bakalan ketemu dia lagi.”
Sebelum tiba di kampus, Nadila sempat menceritakan berberapa teman akrabnya yang ada dikelas. Melihat tingkah laki-laki yang dihadapannya, Arfid langsung tahu bahwa laki-laki itu adalah Feri Helminton, Laki-laki yang menjadi teman dekat Nadila.
Nadila hendak menyanggah ucapan Feri tapi batal karena Arfid mendadak menyerahkan tangan kanannya ke Feri, kemudian berkata “Kenalin bro, Arfid. Lo Feri kan? Teman Nadila?”
Feri membekap mulutnya saat Arfid mengetahui namanya. Feri mendadak sedikit takut karena Arfid mengenalinya, apalagi laki-laki yang sedang berada disamping Nadila itu adalah intel.
Feri meraih tangan Arfid dengan ragu. “Iya, aku Feri.”
“Gak usah takut, bro. Santai aja. Gue gak bawa pistol kok,” ucap Arfid sambil tertawa kecil saat melihat Feri sedikit ketakutan.
Feri langsung melepaskan tangannya kemudian berdeham kecil. Feri melirik ke arah Nadila yang terlihat sedang berusaha menahan tawa. Feri sedikit merasa jengkel. Hancur image yang susah payah Feri pertahankan hanya karena ini.
Alfin yang sedari tadi mengamati mereka, bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Feri yang terlihat kikuk. Alfin merangkul bahu Feri dengan kencang, supaya temannya tidak terlalu kikuk.
“Lo gak mau daftar tentara? Akademi Militer?” tanya Arfid tiba-tiba. Pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Arfid, saat ia melihat postur tubuh Alfin.