A Missing Part

Rara Rahmadani
Chapter #25

Bagian Dua Puluh Empat

“You and I,

We're like fireworks and symphonies exploding in the sky.

With you, I'm alive

Like all the missing pieces of my heart, they finally collide.

So stop time right here in the moonlight,

Cause I don't ever wanna close my eyes.”

Sad Song - We The Kings feat. Elena Coats

****

Bulan menyinari Kota Pekanbaru dengan cahayanya yang sedikit terang dan diikuti oleh bintang yang menghiasi langit dengan cahayanya yang gemerlap. Pada malam ini, langit terlihat begitu indah, apalagi jika dilihat dari bangunan yang menjulang tinggi. Beruntunglah tidak ada ramalan cuaca yang memberitahu bahwa akan ada hujan, jadi Nadila bisa menikmati pemandangan malam ini dengan puas.

Nadila duduk dikursi yang terletak di teras rumahnya sambil menunggu kedatangan Arfid. Malam ini mereka berjanji akan pergi ke salah satu tempat nongkrong yang sering dikunjungi remaja yang ada di Kota Pekanbaru.

Tak butuh waktu lama, terdengar suara motor dari kejauhan menuju ke rumah Nadila. Nadila langsung bangkit kemudian meraih helm yang terletak diatas meja.

Motor yang bermerk Satria Fu itu berhenti tepat didepan rumah Nadila. Laki-laki yang mengendarai motor itu terlihat begitu keren. Laki-laki itu melepaskan helm full face dengan gerakan slow motion, “Gimana? Keren gak gue?”

Laki-laki itu, Arfid, terlihat memakai kaos polos berwarna merah kemudian dibalut oleh jaket levis kaku yang berwarna hitam. Perempuan mana pun yang melihat fashion Arfid pada malam ini, tentu mereka akan berkata bahwa Arfid memang terlihat keren.

“Nggak,” Nadila menggelengkan kepalanya. Sejujurnya, Arfid memang terlihat keren pada malam itu dan Nadila mengakuinya. Namun karena takut Arfid menjadi besar kepala, Nadila memilih untuk berbohong.

“Apaan! Jelas gue begini keren!” Arfid terlihat dongkol.

“Bagi gue, enggak,” Nadila berjalan mendekati Arfid, “Lo pakai motor siapa?”

“Gak mau gue jawab. Lo gak bilang gue keren,” Arfid mengerucutkan bibirnya seperti laki-laki yang sedang merajuk.

“Iya-iya, lo keren,” balas Nadila sambil terkekeh. Lucu sekali melihat Arfid yang sedang merajuk, “Yaudah jawab pertanyaan gue.”

Bukannya menjawab pertanyaan Nadila, Arfid justru menstandarkan motornya kemudian meletakkan helmnya ke spion motor. Nadila menatap Arfid dengan heran, terlebih saat Arfid turun dari motor kemudian merentangan tangannya.

“Kenapa?” tanya Nadila.

“Peluk dulu, nanti gue jawab,” jawab Arfid.

Nadila tertawa kecil mendengar ucapan Arfid kemudian berjalan mendekati Arfid dan memeluknya. Ada rasa tenang yang muncul dihati Nadila saat memeluk laki-laki itu. Nadila menempelkan kepalanya kedada Arfid dan terdengar suara detak jantung Arfid. Nadila tak peduli jika tetangganya melihat kondisinya sekarang.

Arfid terkekeh kemudian mengelus rambut Nadila dengan pelan, “Mungil banget lo. Pengen karungin terus gue bawa kemanapun gue pergi.”

“Yaudah gak apa-apa. Bawa gue kemana pun lo pergi,” balas Nadila.

“Nggak,” Arfid menggelengkan kepalanya, “Berbahaya.”

“Puas-puasin peluk gue, Fid. Nanti lo gak bisa meluk gue lagi,” ucap Nadila pelan.

Arfid mengeratkan pelukannya dengan kuat kemudian berkata lirih, “Ya, lo benar.”

****

Bundaran Tugu Keris yang terletak di jalan Pattimura—tak terletak terlalu jauh dari kampus Nadila—memang menjadi destinasi favorit bagi kalangan anak muda. Bundaran Tugu Keris diisi oleh banyak anak muda yang berbisnis makanan dan minuman, dilihat dari banyaknya stand makanan dan minuman yang ada disepanjang jalan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Bundaran Tugu Keris semakin padat dikunjungi orang. Sebagian dari mereka adalah pasangan muda-mudi yang berpacaran. Terlambat sedikit saja, sudah dipastikan orang itu akan makan dan minum berdiri, karena hanya sedikit stand makanan dan minuman yang menyediakan kursi dan meja.

Setelah memakirkan motornya pada lokasi parkir yang sudah hampir penuh, Arfid berjalan mendekati Nadila yang menunggu di tepi jalan. Arfid mendengar suara musik dari kejauhan.

“Ada live musik ya?” tanya Arfid.

Nadila mengangguk mantap, “Iya. Biasanya gak ada yang kaya begini. Berarti kita beruntung datang kesini malam ini.”

“Tapi padet banget, Nad. Sepertinya kita gak kebagian tempat duduk,” Arfid berkata lirih sambil menatap kerumunan jalan yang memang terlihat begitu ramai.

Nadila meraih lengan Arfid kemudian menggandengnya, “Tenang aja, gue punya orang dalam.”

“Hah?” Arfid sedikit terkejut, “Di tempat beginian masih ada orang dalam?”

“Iya dong,” balas Nadila sambil menepuk dadanya dengan bangga.

“Seharusnya lo masuk jurusan orang dalam deh, Nad. Cocok banget!”

“Mana bisa! Lo juga harusnya!” Nadila mengerucutkan bibirnya.

Lihat selengkapnya