Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sudah hampir lima belas menit yang lalu mereka membubarkan diri dari Bundaran Tugu Keris. Awalnya, Dea berencana akan pulang dengan menggunakan ojek online, tetapi Nadila melarangnya.
“Pekanbaru itu bahaya! Kau pulang sama Feri aja,” jelas Nadila.
“Kok aku, Nad? Kau mau aku ditandai sama pacarnya?” balas Feri.
Nadila langsung menjentik dahi Feri dengan keras. “Gak bakalan lah! Kau tega dia pulang sendirian?!”
Meskipun awalnya bersikap ogah-ogahan, akhirnya Feri mau mengantarkan Dea pulang. Nadila tersenyum kecil saat melihat Feri bertengkar kecil dengan Dea sewaktu berada di parkiran. Nadila tahu bahwa sebenarnya Feri memiliki sisi baik meskipun tak pernah ditunjukkan.
Jalan Sudirman sudah begitu sepi. Pertokoan sudah hampir tutup semua. Hanya ada berberapa kendaraan yang berlalu lalang. Baru sekali ini Nadila pulang selarut ini di Pekanbaru. Ada sedikit rasa takut dihatinya, namun seharusnya ia tak merasa takut karena laki-laki yang sedang berada di depannya ini pasti akan melindunginya.
Nadila mengerutkan dahinya saat Arfid membelokkan motornya ke arah Jalan Arifin Ahmad. Nadila ingin bertanya tetapi ia langsung mengurungkan niatnya. Entah kenapa sejak Arfid menerima telepon dari seseorang, suasana langsung berubah menjadi canggung.
“Kenapa diam aja, Nad? Lo gak mau tanya kenapa gue bawa ke Jalan ini?” tanya Arfid memecahkan kesunyian.
“Emang kenapa? Kemana pun lo bawa gue, gue senang,” jawab Nadila pelan.
Arfid mengulumkan bibirnya begitu mendengar jawaban Nadila. Arfid merasa senang. “Masa sih? Kalau senang kok gak peluk gue?”
“Astaga!” Nadila refleks memukul punggung Arfid. “Kenapa mau peluk terus sih?”
“Hehe.” Arfid cengegesan. “Gak apa kan kalau lo pulang agak malam? Gue mau ajak lo ke suatu tempat.”
“Gak apa-apa.” Dengan ragu, Nadila meletakkan kedua tangannya ke paha Arfid. Setelah itu, Nadila menyandarkan kepalanya ke punggung Arfid. “Bawa aja gue kemana pun.”
****
Setelah memasuki gang yang ada di Jalan Arifin Ahmad, motor yang dikendarai oleh Arfid berhenti tepat disebuah bangunan tingkat dua yang sudah tak dihuni lagi. Berberapa semak belukar menjalar ke tiang bangunan itu. Meskipun terlihat menyeramkan, Nadila sama sekali tidak merasa takut.
“Kenapa kesini? Mau uji nyali?” tanya Nadila.
“Gak lah,” jawab Arfid kemudian menggengam tangan Nadila. Arfid mengajak Nadila memasuki perkarangan bangunan itu.
Bangunan itu masih terlihat kokoh meskipun berberapa kacanya terlihat sudah pecah. Arfid menarik tangan Nadila menuju tangga yang ada disamping bangunan itu. Nadila mendongakkan kepalanya keatas, dan terlihat bahwa tangga itu menghubungkan lantai satu menuju ke atap bangunan itu.
“Ayo, Nad. Ke atas,” ajak Arfid.
Nadila menatap anak tangga yang sudah terlihat sedikit berlumut. Meskipun tangga itu terbuat dari semen, Nadila takut terpeleset. “Gue didepan?”
“Iya.” Arfid mengangguk. “Gak usah takut jatuh, nanti gue tangkap.”
Dengan hati-hati, Nadila menginjakkan kakinya ke satu anak tangga. Baru menaiki satu anak tangga, Nadila sudah merasa akan terpeleset. Dengan cekatan, Nadila langsung meraih tangan Arfid. “Takut kepeleset nih.”
“Pelan- pelan. Gue pegangin nih,” balas Arfid.
Jika bisa, Nadila ingin mengesot dari satu anak tangga ke anak tangga lain. Lumut yang berada di anak tangga memang begitu licin. Tak terasa sudah hampir tujuh menit, akhirnya Nadila dan Arfid sudah berada di atap bangunan itu.
“Woah.” Nadila tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya saat sudah berada di atap. Pemandangan Kota Pekanbaru terlihat begitu jelas pada malam ini. Cahaya dari pertokoan terlihat kelap-kelip. “Keren banget. Lo tau darimana tempat beginian?”
“Pengen tahu banget lo ya,” jawab Arfid terkekeh.
Nadila berjalan cepat kearah depan supaya pemadangan Kota Pekanbaru pada malam ini terlihat lebih jelas. Arfid langsung berkata saat Nadila berada diujung atap “Jangan dekat-dekat! Nanti jatuh.”
“Gak bakalan lah.” Nadila mendudukkan tubuhnya ke lantai atap itu kemudian memeluk kedua lututnya.
Arfid tersenyum kecil saat melihat Nadila begitu menikmati pemandangan malam ini. Arfid langsung menyusul ke arah Nadila kemudian duduk disampingnya. “Gimana? Lo senang gak?”
Nadila menoleh kearah Arfid kemudian mengangguk. “Senang banget. Makasih ya.”
“Terharu gue kalau lo senang, Nad,” jujur Arfid.
“Gini nih, enaknya merenungi nasib,” kata Nadila.
Meskipun langit terlihat terang pada malam ini, namun tetap saja angin yang berhembus terasa dingin. Nadila sedikit menggigil kemudian ia memeluk lututnya lebih erat. Arfid tahu bahwa Nadila merasa kedinginan. Arfid langsung melepaskan jaket levisnya kemudian meletakkannya pada kedua bahu Nadila.
“Gak usah Fid, nanti lo kedinginan,” tolak Nadila.
“Gak apa-apa. Segini mah biasa bagi gue,” ujar Arfid.
Nadila hanya mengangguk pelan. Kali ini angin berhembus semakin kencang hingga membuat gigi Nadila bergemelatuk karena kedinginan.
“Mau gue peluk? Kedinginan banget lo,” tawar Arfid sambil terkekeh.
“Modus banget lo!” balas Nadila sambil menatap Arfid. “Eh Fid, lo pernah gak saat keluar rumah atau ke kamar mandi itu kejedot atas pintu?”
Arfid menjentik dahi Nadila dengan pelan. “Pertanyaan lo gak ada yang lebih berbobot kah?”
“Hehehe.” Nadila cengegesan. “Lo tuh tinggi banget. Pasti pernah kejedot kan?”
“Pernah lah. Sakit banget,” jawab Arfid.
“Eh Fid, gue mau tanya lagi boleh?” tanya Nadila.
“Apa?”
“Lo serius bisa buat Alfin masuk Akademi Militer?”
“Bisa lah! Apa yang gak bisa bagi gue?”
Nadila langsung memukul lengan Arfid dengan keras saat melihat Arfid yang sudah besar kepala seperti itu. “Gimana bisa? Kok lo mau bantu dia?”
“Gue pernah diposisi dia, Nad,” jawab Arfid lirih.
“Lo pernah daftar Akmil?” Nadila kembali bertanya.
Arfid mengangguk pelan. Matanya mendongak keatas, menatap bulan. “Gue kalah Nad sama anak perwira. Sama kaya Alfin, gue dimintai 300 juta biar bisa nendang anak perwira.”
Nadila terdiam saat Arfid menceritakan hal itu kepadanya. Nadila tidak tahu harus merespon apa, karena kekalahan itu memang menyakitkan dan dirinya pernah merasakannya sebelum akhirnya memutuskan kuliah keperawatan.
“Gue gak mau lah bayar 300 juta. Jadi gue putuskan buat menyerah. Karena gue udah latihan fisik, gue putuskan buat daftar STIN atau STMKG. Awalnya gue bingung mau pilih STIN atau STMKG. Awalnya gue gak nyesal milih STIN, tapi sekarang...” Arfid menghentikan ucapannya.
“Lo nyesal Fid?” tanya Nadila.
Arfid menolehkan pandangannya ke arah mata Nadila. Nadila sedikit terkejut saat melihat sorot mata Arfid. Sorot mata Arfid terlihat begitu menyedihkan. Arfid menghembuskan nafasnya pelan, karena jika ia menjawab pertanyaan Nadila, ia sudah pasti menunjukkan sisi yang tak pernah ia lihatkan kepada orang lain. “Setelah bertemu lo, Nad. Gue nyesal.”
Tepat mengatakan itu, satu air mata turun dari mata Arfid. Nadila terkejut saat melihat itu. Meskipun cahaya sedang tidak terlalu terang, namun Nadila masih bisa melihat air mata yang turun dari mata tegas Arfid.
Nadila hendak mengatakan sesuatu tetapi Arfid langsung berkata “Gue nyesal Nad. Andaikata gue milih STMKG, tentu kita gak bakalan begini Nad. Terlalu sulit saat gue selalu pergi tiba-tiba. Gue gak pernah bisa lihat lo nangis saat kita bakal berpisah. Karena itu gue selalu pergi tanpa pamit, meski gue tahu itu juga menyiksa.”
Air mata langsung meluncur dari mata Nadila kemudian membasahi pipinya. Dada Nadila mendadak menyempit saat ia tahu alasan mengapa Arfid selalu saja pergi tanpa pamit.