Sesuai dengan perjanjian kemarin, pada malam ini anggota barisan belakang memutuskan untuk berkumpul di rumah Feri. Beruntunglah malam ini cuaca masih bersahabat dengan mereka, tidak ada pertanda akan turunnya hujan. Awalnya Arfid tak merasa keberatan untuk menjemput mereka di rumah masing-masing, namun tiba-tiba Alfin dan Vandy menolak untuk dijemput karena tak ingin merepotkan Arfid.
Setelah memarkirkan mobilnya di tepi jalan, Arfid berjalan menuju perkarangan rumah Feri yang terlihat luas dan diikuti Nadila dari belakang. Dari jauh saja sudah hampir terlihat semua anggota barisan belakang berkumpul di teras rumah Feri, kecuali Alfin dan Dea.
“Mana Alfin dan Dea?” tanya Nadila.
Feri yang sedari tadi memainkan gitar, meletakkan gitar tersebut ke meja yang ada disampingnya. “Tadi sih Alfin mau jemput Dea, kok lama banget yah.”
Tak lama setelah Feri menjawab pertanyaan Nadila, terdengar suara motor yang mendekat kearah rumah Feri. Nadila melirik kearah tepi jalan dan tiba-tiba masuk sebuah motor Vario ke perkarangan rumah.
“Ck! Lama banget kau,” gerutu Ahmad.
Alfin memarkirkan motornya tepat berada di hadapan Nadila dan Arfid. “Tau nih, Putri kerajaan lama banget dandannya.”
“Ck...” Feri berdecak gemas saat melihat Dea sedang terkekeh dan tak merasa bersalah sedikitpun. “De, kenapa lama banget dandan kau? Ingat ya, kita itu bakal social experiment, bukan nganterin kau kesana.”
Arfid tertawa keras saat mendengar ucapan Feri dan diikuti oleh gelak tawa Alfin, Vandy dan Ahmad. Sementara Nadila dan Dea hanya menampilkan raut wajah datar. Apa salahnya sih menunggu perempuan berdandan? Padahal tidak sampai membuat mereka jadi naik haji.
“Eh kamu.” Arfid menepuk bahu Nadila sambil tertawa. “Nanti jangan minta turun kalau disana yah, parah nanti aku dikira mucikari.”
“Apaan sih Fid, kenapa lo jadi ketularan penyakit Feri?!” gerutu Nadila.
“Buset, Arfid manggil Nadila pakai aku-kamu,” goda Vandy.
“Lah kenapa emangnya bro? Kan udah resmi hehe,” kekeh Arfid sambil mengusap dahinya pelan.
“Resmi apaan?” tanya Feri.
“Pacaran lah! Apa lagi?” tandas Arfid.
“Lah?” Dea terkejut. “Jadi kemarin itu kalian gak pacaran?!”
Arfid menggeleng pelan, sementara Nadila hanya menampilkan raut wajah datar. Feri bangkit dari duduknya kemudian menyenggol lengan Nadila. “Hem... gak ada pajak jadian kah?”
“Mau makan dimana?” tawar Arfid. “Terserah dimana aja, dompet gue masih muat kok buat nampung perut kalian.”
“Sebenarnya makan kami gak banyak banget kok. Makan di Bundaran Tugu Keris aja lagi.” usul Ahmad.
“Gimana yang lain?” tanya Arfid.
Nadila melongo saat Arfid bertanya seperti itu. Artinya Arfid memang tak bercanda dengan ucapannya sendiri. Nadila berjalan mendekati Arfid kemudian berbisik “Lo serius?”
“Serius ah,” balas Arfid pelan.
“Aku mah dimana aja bisa. Tenang, lambung aku gak pemilih kok,” balas Feri kemudian diikuti anggukan Vandy, Alfin dan Dea.
“Lagian kita sebenarnya juga kecepatan kalau pergi ke Jundul. Mereka keluarnya mah sekitaran jam 10 sampai subuh,” jelas Alfin.
“Oke. Yaudah ke bundaran aja dulu, yuk,” ajak Arfid kemudian berjalan ke arah tepi jalan raya kemudian diikuti oleh Alfin, Vandy, Dea, Nadila dan Feri dari belakang.
****
Pada malam ini Bundaran Tugu Keris tidak terlalu ramai, beda dengan kemarin. Arfid tak perlu bersusah payah untuk mencari parkiran mobil karena parkiran yang dekat dengan stand makanan tidak terisi kendaraan. Arfid sedikit bersyukur karena malam ini tidak ada pertunjukkan live musik, karena ia tak terlalu suka dengan kebisingan.
Mereka memutuskan untuk duduk kembali di tempat ‘orang dalam’nya Vandy. Pemilik stand makanan dan minuman yang sedang mereka duduki adalah teman Vandy. Teman Vandy yang bernama Bima itu sedang berkuliah di Fakultas Teknik Universitas Islam Riau.
Saat berada didalam mobil, Vandy sempat menceritakan Bima. Ternyata Bima adalah laki-laki pekerja keras dan memiliki suatu kafe di Bangkinang. Setiap berjualan di Bundaran Tugu Keris, Bima sering dibantu pacarnya yang sedang berkuliah di Fakultas Keguruan Universitas yang sama dengannya. Dalam hati, Nadila merasa salut dengan pasangan itu.
Kini dihadapan mereka sudah terletak berberapa piring nasi goreng dan bakso serta berberapa makanan penutup seperti roti john, bakso bakar dan berberapa risol. Sementara, disisi kanan meja itu berjejer minuman boba. Sepertinya malam ini Arfid bakal mengeluarkan uang yang cukup banyak.
“Fid, nanti lo totalin aja semuanya ya. Bagi dua dengan gue,” bisik Nadila.
“Gak. Lo kan pengangguran, ngapain bagi dua. Gapapa kali Nad, gue kan juga udah kerja,” tangkas Arfid.
Nadila langsung mengusap wajahnya dengan kasar saat mendengar respon Arfid seperti itu. Terlebih saat suara Arfid begitu besar. Setelah ini, pasti Feri akan menggodanya habis-habisan.
“Aduh!” Feri memukul dahinya sendiri. “Udah pacaran kok panggil lo-gue.”
Tuh kan.
Nadila langsung menatap Feri dengan tajam. Feri sama sekali tak merasa takut ditatap seperti itu, ia justru mengeluarkan lidahnya, bermaksud untuk mengejek Nadila.
“Siapa yang pacaran?” celetuk Bima yang duduk dibelakang mereka.
“Ada yang baru pacaran loh Bim, biasa lah!” ledek Feri sambil memanasi keadaan.
Nadila mengalihkan pandangannya ke arah wajah Arfid. Arfid terlihat cengengesan, sama seperti Feri. Rasanya Nadila ingin melarang Arfid untuk tidak berteman lagi dengan Feri, karena sejak mereka berdua saling bertemu, Arfid langsung ketularan penyakit recehnya Feri.
“Udah bro, nanti ada yang marah.” Arfid menyenggol lengan Nadila pelan. “Makan aja nih, kalau kurang, tambah aja.”
“Nah Dea, makan banyak-banyak. Setelah ini kau bakal diantarin ke Jundul kan,” ledek Feri.
Semua yang ada disana sontak tertawa, termasuk Bima dan pacarnya yang bernama Mita. Nadila yang sama sekali tak ingin ikut menggoda Dea, justru ikut tertawa saat mendengar ledekan Feri.
“Apa sih Fer,” balas Dea sambil mendecakkan bibirnya.
“Udah-udah,” Alfin masih berusaha menahan tawanya. “Makan nih, nanti keburu dingin. Yang gak habisin, bakal diturunin disana!”
“Eh! Mana bisa gitu haha!” tawa Ahmad sambil memukul meja dengan pelan.
“Udah woi haha.” Feri tertawa kencang.
****
“Berapa?” tanya Arfid sambil mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celana.
“Nih,” jawab Bima sambil menyerahkan sebuah kalkulator kepada Arfid.
Begitu melihat tiga angka yang berada di kalkulator itu, Arfid segera mengelurkan 4 lembar uang seratus ribu dari dompetnya kemudian menyerahkannya kepada Bima. “Sisanya ambil aja bro.”
“Loh? Kenapa?” tanya Bima kebingungan. Baru sekali ini pelanggannya menyuruhnya untuk mengambil kembalian.
“Gak apa-apa. Gue juga gak tahu bakal kapan kesini lagi,” lirih Arfid.
“Mau kemana emangnya?”
“Kerja bro, jauh.”
“Ok. Good luck ya. Makasih banget bro, soalnya banyak banget kembalian lo.”
Arfid menggangguk pelan kemudian menyimpan dompetnya ke saku belakang celana. Setelah itu, Arfid berjalan menuju kearah Nadila dan teman-temannya yang masih berada dimeja.
“Berapa?” tanya Nadila saat Arfid sudah duduk kembali disampingnya.
“Rahasia dong,” jawab Arfid pelan.
“Iya, berapa bro? Soalnya Feri banyak banget makannya, lambung karet emang,” tanya Alfin.
“Santai, gak apa-apa kok. Dikit malahan,” jawab Arfid sambil tersenyum. Arfid tak merasa terbebani, karena setelah ini ia bakalan minta tolong kepada sahabat Nadila itu.
“Udah jam setengah sebelas nih.” Alfin melirik kearah jam tangannya.
“Gimana? Mulai sekarang?” tanya Arfid.
“Yaudah, sekarang aja. Biasanya jam segini udah mulai tuh,” tukas Feri sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Nadila dan yang lainnya langsung berdiri tegak kemudian merapikan kursi yang telah mereka duduki selama hampir 4 jam. Setelah berpamitan kepada Bima dan Mita, mereka langsung berjalan ke mobil Arfid yang terparkir tak jauh dari tempat yang mereka duduki.
Begitu semua telah berada didalam mobil Arfid, Arfid langsung menekan pedal gas lalu meninggalkan Bundaran Tugu Keris yang sudah mulai terlihat sepi.
****
Mobil yang dikemudikan oleh Arfid melintasi Jalan Sudirman yang sudah terlihat begitu sepi. Hanya ada berberapa kendaraan yang melintasi jalan itu. Pertokoan juga sudah terlihat tutup semua, kecuali minimarket yang memang buka selama 24 jam.
Arfid tiba-tiba memberhentikan mobil tepat di depan Indomaret yang berada di ujung Jalan Sudirman. Nadila yang memang duduk di depan, menoleh ke Arfid yang sedang mengambil dompet yang ada disaku belakang celananya. “Kenapa?”
Tanpa memedulikan pertanyaan Nadila, Arfid justru mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu kemudian menyerahkannya kepada Feri yang duduk di kursi tengah.
“Lah kenapa?” Feri kebingungan.
“Kalian jajan deh di Indomaret,” jawab Arfid. “dua ratus ribu cukup gak? Kalau gak cukup, gue tambah lagi nih.”
“Buset, sultan. Kalah kau Fer!” ledek Vandy yang duduk dikursi bagian belakang.
Feri langsung mengambil dua lembar uang seratus ribu itu dari tangan Arfid. “Segini mah cukup, bro.”
Feri langsung keluar dari mobil itu kemudian diikuti oleh Dea, Ahmad, Vandy dan Alfin. Kini didalam mobil itu hanya ada Nadila dan Arfid. Nadila yang sedari tadi melongo saat Arfid memberikan uang dua ratus ribu kepada Feri, membuka dompetnya kemudian menyerahkan uang tiga ratus ribu kepada Arfid.
“Apa?” Arfid merasa keheranan.