“Bersamamu, aku senang.”
****
Berberapa kali Nadila menutup bibirnya dengan kuat, berusaha menahan menguap. Tadi malam ia tiba dirumah tepat pukul satu pagi, setelah mengantar Dea yang rumahnya cukup jauh dari rumahnya. Pagi ini, Nadila terpaksa bangun cepat karena Arfid berberapa kali meneleponnya, menyuruhnya untuk segera bersiap-siap.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi dan Nadila sedang menunggu Arfid di teras rumah. Nadila sempat menelepon Feri untuk menitip absen. Beruntunglah Feri mau membantunya untuk bolos kali ini, biasanya Feri sangat tidak mau menitipi absen Nadila.
Nadila menyandarkan punggungnya ke kursi. Rasa kantuk yang melanda matanya sudah tidak bisa ia tahan. Saat Nadila hampir memejam matanya, suara mobil terdengar dari kejauhan. Mau tak mau, Nadila kembali membuka matanya lalu ia melihat mobil berwarna merah menuju kearah rumahnya.
“Arfid bukan nih?” batin Nadila.
Mobil berwarna merah itu berhenti tepat di depan rumah Nadila. Nadila menatap mobil itu dengan wajah kebingungan. Pelan-pelan, kaca jendela mobil itu terbuka dan terlihat Arfid sedang cengegesan.
Nadila menghembuskan nafasnya pelan kemudian berjalan mendekati mobil yang ternyata dikendarai oleh Arfid. Nadila membuka pintu mobil itu dengan kencang, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi depan.
Nadila hendak memicingkan matanya namun Arfid tiba-tiba berkata “Ngantuk banget lo?”
“Lo gak ada akhlak banget,” gerutu Nadila. “Ngapain juga pergi secepat ini.”
“Hehe, maaf. Soalnya nanti malem gue ada urusan, Nad.” tukas Arfid kemudian menginjak pedal gas mobilnya.
Nadila memejamkan matanya kembali. “Lo kapan balik ke Jakarta?”
DEG.
Jantung Arfid langsung berdetak cepat saat Nadila bertanya seperti itu. Tanpa berfikir panjang, Arfid spontan menjawab “Gak tau Nad, selama Mbak Metri belum nelepon gue, berarti gue belum balik.”
Arfid sengaja berbohong. Ia tak ingin memberitahu Nadila bahwa sebenarnya nanti malam ia sudah harus terbang ke Papua. Arfid melirik kearah Nadila yang terlihat begitu lelah.
“Lo masih lama disini berarti ya?” tanya Nadila.
“Iya.” Arfid meneguk ludahnya. “Kenapa?”
“Belum siap jauh dari lo,” jawab Nadila sambil menutup matanya dengan tangan.
Arfid menatap Nadila dengan nanar. Sebenarnya, Arfid memang belum siap untuk pergi dari Kota Pekanbaru, terutama dari Nadila. Tapi ia bisa apa?
“Udah, lo tidur aja. Ngantuk banget kelihatanya,” ucap Arfid pelan.
“Gak apa-apa? Lo tau jalan emangnya?” tanya Nadila.
“Taulah!” seru Arfid. “Semalam gue udah hapalin jalan.”
“Bagus deh. Gue tidur ya.”
Arfid tak menggubris ucapan Nadila. Ia membiarkan Nadila tertidur lelap disampingnya. Berkali-kali Arfid menghela nafasnya, kali ini ia merasa bingung. Disisi lain, ia memang harus memberitahu Nadila. Sementara, disisi lainnya lagi, ia takut Nadila tiba-tiba menangis hingga membuatnya merasa berat untuk meninggalkan Nadila.
****
Arfid mengendarai mobilnya sudah hampir selama tiga jam. Saat ini mereka sudah berada di Jalan Raya Buatan-Siak dan hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di Siak Sri Indrapura.
Sepanjang Jalan hanya ada perpohonan sawit dan tidak ada rumah warga sedikitpun. Jalanan juga sedikit padat dilalui oleh kendaraan lain hingga membuat Arfid menurunkan kecepatan mobil. Sementara, Nadila masih tertidur pulas, sama sekali tak berniat untuk bangun.
Arfid menoleh kearah Nadila yang masih memejamkan mata. Sebuah lengkungan terbit dibibir Arfid saat melihat Nadila yang sedang tidur. Berberapa helai rambut jatuh ke pelipis Nadila. Dengan hati-hati, tangan kiri Arfid menyingkirkan rambut itu dari pelipis Nadila.
Setelah melakukan itu, Arfid langsung menoleh ke depan dan terlihat mobilnya akan menghantam bagian belakang truk. Dengan cekatan, Arfid langsung menginjak pedal rem dengan kuat hingga membuat tubuh Nadila terbanting ke depan.
Sebelum menabrak dashboard mobil, tangan kiri Arfid berhasil menahan kepala Nadila. Nadila langsung terbangun kemudian menatap Arfid yang sedang terlihat fokus menghadap depan. “Kenapa?”
“Gak apa-apa, lanjut tidur aja,” jawab Arfid lalu melepaskan tangan kirinya dari kepala Nadila.
“Lo ngantuk?” Nadila bertanya lagi. “Biar gue aja yang setir.”
“Nggak. Tadi tuh hampir nabrak belakang truk. Gue lagi lihatin lo tadi,” ucap Arfid jujur.
“Ngapain lihat gue? Fokus Fid.”
Arfid menatap Nadila sekilas. “Lo juga kenapa gak pakai seat belt? Pakai sekarang!”
“Males banget, Fid.” Nadila mengalihkan pandangannya ke arah kiri. Terlihat tumbuhan sawit disepanjang jalan. “Ini jalan Buatan ya? Bentar lagi juga sampai.”
“Pakai, Nad. Jauh-dekat tetap harus dipakai!” perintah Arfid.
“Gak.”
“Pakai ya, sayang.”
Nadila menatap Arfid dengan melongo. Apa yang baru saja diucapkan oleh Arfid? Sayang?
“Bandel banget lo ya,” gerutu Arfid kemudian menepikan mobilnya ke tepi jalan. Setelah itu, Arfid langsung memakaikan seatbelt Nadila. “Gini kan aman jadinya. Nanti kepala lo terbentur dashboard.”
Nadila hanya bisa terdiam saat Arfid memakaikannya seat belt. Ada rasa senang dihatinya saat melihat laki-laki yang ada disampingnya kini begitu perhatian pada dirinya. Nadila tersenyum kecil kemudian berkata “Makasih, Fid.”
“Lain kali, kalau lo naik mobil, pakai seatbelt ya,” ucap Arfid.
Nadila mengangguk pelan. Mendengar perhatian Arfid tiba-tiba membuatnya teringat surat yang diberikan Arfid saat ia sedang dirawat di rumah sakit Palembang. Masih ada satu hal yang membuatnya penasaran hingga saat ini. “Gue boleh tanya?”
“Tanya apa?” Arfid membelokkan stir mobilnya kearah kiri saat melihat bundaran yang ada dihadapannya. Kini dihadapan mereka sudah ada pemadangan jembatan yang berwarna hijau bercampur kuning. Jembatan Tengku Agung Sultana Latifah, jembatan kebanggaan masyarakat Kabupaten Siak.
“Hm,” deham Nadila. Dia sedikit ragu untuk bertanya hal yang memenuhi benaknya. “Surat terakhir lo itu ada bahas tentang Bella. Bella itu siapa lo?”
“Kenapa tanya itu? Lo cemburu?” Arfid justru balik bertanya.
“Nggak!” seru Nadila. Sebenarnya Nadila memang cemburu kepada Bella. Tetapi Nadila sengaja berbohong, karena ia takut Arfid akan menjadi besar kepala.
“Bohong,” balas Arfid. “Kalau gak cemburu, pasti lo gak bakalan nangis kencang, apalagi sampai nampar gue.”
Nadila kalah telak. Ia tak tau harus mengeluarkan alasan yang bisa membungkam ucapan Arfid barusan. Nadila memilih membisu lalu mengalihkan pandangannya ke arah sungai yang terlihat tenang dibawah jembatan yang sedang mereka lewati.
“Gak usah cemburu dengan dia ya,” ucap Arfid terkekeh. “Dulu emang gue suka sama dia, tapi itu dulu.”
“Terus kenapa gak sama dia aja?” tanya Nadila tanpa menolehkan pandangannya.
“Lo tau Nad, pekerjaan kami berdua itu berbahaya. Lagian perasaan gue sama dia udah mudar, sejak gue bertemu dengan lo lagi.” jawab Arfid pelan.
Sejak gue bertemu dengan lo lagi.
Nadila langsung mengalihkan pandangannya ke arah Arfid yang sedang fokus menyetir mobil. Kalimat terakhir dari ucapan Arfid membuatnya sedikit bingung. Memangnya mereka pernah berjumpa sebelumnya?
“Kita emang pernah jumpa sebelum lo culik gue?” tanya Nadila.
“Ck,” decak Arfid gemas. “Lo gak sadar kita pernah bertemu? Asal lo tau, gue yang memberi lo nama Azalea. Karena dulu lo pernah dipanggil orang pakai nama Lea.”
“Hah? Gue gak pernah ketemu lo Fid. Lagian gak ada orang yang panggil gue pakai nama Lea,” tegas Nadila.
“Lo itu emang pelupa, Nad. Intinya kita pernah bertemu yah,” kelakar Arfid.
“Dimana emangnya?”
“Gak tahu, gue lupa. Pokoknya kita pernah bertemu.”
Nadila memukul lengan kiri Arfid dengan kencang, hingga membuat pemilik lengan itu sedikit mengerang kesakitan. “Jangan bohong!”
“Gue serius Nad.” Arfid terdiam sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. “Tau gak kalau gue punya penyesalan lain?”
“Apa?”
“Seandainya, gue berani ngajak lo kenalan lebih dahulu sewaktu itu, pasti kita tidak akan kesusahan seperti ini.”
****
Setelah memarkirkan mobil ditepi jalan depan Istana Siak, Arfid dan Nadila berjalan kearah Taman Maharatu yang terletak tepat ditepi Sungai Siak. Suasana jalanan juga tidak terlalu ramai, karena memang Kota Siak tidak terlalu ramai dihuni oleh penduduk.
Nadila berjalan lebih dahulu kearah air mancur kemudian diikuti oleh Arfid dari belakang. Berberapa kali Nadila merasa takjub saat melihat perubahan yang ada di Kota Siak, karena Nadila sudah hampir lima tahun tidak pergi ke sini.
“Mau gue foto?” tawar Arfid.
Begitu Arfid menawarkan untuk memfoto dirinya, Nadila menyerahkan kamera mirrorless yang sengaja ia bawa dari Pekanbaru. “Fotoin.”
Arfid menerima kamera mirrorless yang diserahkan Nadila. Setelah Nadila bergaya didepan air mancur itu, Arfid langsung memotretnya.