“You promised,
You’ll never leave.
But.
Without saying goodbye,
You disappeared.”
****
Sinar matahari sudah menembus celah-celah dinding kamar Nadila. Berberapa kali suara ayam jantan berkokok terdengar, pertanda bahwa sudah pagi. Nadila terjaga semalaman dan tak memilih untuk tidur hingga sebuah lengkungan hitam muncul dibawah matanya. Nadila menatap kosong ke ponsel yang ada dihadapannya. Terlihat berberapa log panggilan nomor ponsel Arfid. Sudah berberapa kali Nadila menelepon ponsel Arfid, berusaha meminta penjelasan. Tetapi nihil, nomor ponsel Arfid tak pernah aktif sejak Nadila menerima pesan itu.
Nadila menolehkan pandangannya ke arah boneka beruang yang berada disampingnya. Sejak membaca pesan dari Arfid, Nadila tak pernah menyentuh boneka itu lagi. Nadila menyenggol lengan boneka itu hingga membuat boneka itu jatuh ke samping.
“Ck,” decak Nadila. Bukannya merasa tenang saat Arfid mengiriminya boneka sebagai teman tidur, Nadila justru merasa dadanya menyempit, sama seperti saat Arfid meninggalkannya di rumah sakit Kota Palembang.
Air mata kembali mengalir dari mata Nadila yang sudah membengkak. Dengan suara serak, Nadila berkata “Dasar bodoh. Gue janji gak bakal nangis lagi, asal lo pamit.”
Sebuah notifikasi muncul di ponsel Nadila. Meskipun matanya membengkak seperti terpejam, Nadila masih bisa melihat siapa yang memenuhi notifikasi ponselnya pada pagi ini. Feri meneleponnya.
“Apa?” tanya Nadila dengan suara serak. Tidak biasanya Feri meneleponnya pagi hari seperti ini. Nadila melirik ke arah jam weker yang terletak di samping nakas dan terlihat sudah pukul setengah delapan pagi. Seharusnya Nadila sudah bersiap-siap untuk pergi kuliah, namun Nadila memilih untuk bolos.
“Mau bolos bareng aku, Alfin?” tawar Feri.
Nadila langsung sadar bahwa Feri dan Alfin mengetahui kondisinya saat ini. Biasanya, Alfin dan Feri tidak pernah bolos bersama meskipun ada berberapa mata kuliah yang membosankan. “Gak usah. Kalian berdua masuk aja. Aku gak mau masuk hari ini. Terserah kalian mau titipin absen aku, alfa pun juga gak apa-apa. Udah ya.”
Tut.
Nadila langsung mematikan telepon itu secara sepihak, tanpa menunggu respon dari Feri. Nadila juga mematikan ponselnya, ia tak ingin diganggu saat ini. Nadila merebahkan tubuhnya ke ranjang, berusaha untuk tidur. Setidaknya kesedihannya harus diistirahatkan.
****
Tepat pada waktu yang sama, Arfid baru saja selesai mengenakan seragam tentara yang berwarna hijau tua. Setelah terbang selama hampir delapan jam dan harus transit di Jakarta, akhirnya Arfid menapaki kakinya di Bandara Udara Internasional Mozes Kilangin yang terletak di Timika.
Arfid mematut dirinya di kaca cermin yang ada di toilet bandara. Seragam tentara itu memang melekat pas pada tubuhnya. Awalnya, Arfid sempat terkejut saat melihat Bella yang ditugaskan untuk menjemputnya ternyata menggunakan seragam tentara. Arfid juga semakin terkejut ketika Bella menyerahkan totte bag yang ternyata berisi seragam yang sama kepada Arfid.
Arfid menghembuskan nafasnya pelan, sebagian ingatannya masih terisi oleh Nadila. Arfid bertanya-tanya didalam batin, apakah Nadila menangis saat ia meninggalkannya? Apakah Nadila sudah mulai pergi kuliah hari ini atau memilih bolos?
“Wuah,” Bella tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya saat melihat Arfid keluar dari toilet bandara. “Keren banget.”
“Aku emang keren,” ucap Arfid sambil menepuk dadanya, berusaha menyombongkan diri.
Bella hanya tersenyum saat melihat Arfid bertingkah seperti itu. Bella mengeluarkan suatu kartu dari saku seragamnya lalu menyerahkannya kepada Arfid. Arfid sempat kebingungan saat menerima kartu itu.