Didedikasikan untuk pahlawan revolusi kita, Kapten Pierre Tendean. Semoga beliau tenang di alam sana.
****
“Berhasil tak dipuji.
Gagal dicaci maki.
Hilang tak dicari.
Mati tak diakui.”
-Badan Intelijen Negara
****
Suasana barak tentara kini terlihat begitu ramai, padahal matahari belum terbit. Sebagian banyak tentara sudah memakai perlengkapan lengkap, termasuk rompi anti peluru dan helm militer. Berberapa dari mereka juga terlihat memengang senjata laras panjang, termasuk Arfid yang kini sedang berjalan ke arah barak perempuan.
“Loh?!” Bella yang sedang mencuci tangan di wastafel yang ada disamping baraknya, merasa terkejut saat melihat Arfid yang berpakaian lengkap seperti akan perang. “Sekarang operasinya?”
“Hooh, kamu disini aja, Bel. Bahaya kalau kamu ikut, nanti kalau ada yang terluka bisa barabe. Kamu kan gak belajar kedokteran,” bisik Arfid sambil menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar ucapan mereka.
“Udah ketahuan posisi kelompok separatisnya?” tanya Bella.
“Sudah, posisi mereka lagi di sungai yang ada di dekat kita.” Arfid terdiam sebentar, sementara tangan kanannya merogoh saku celananya. Ia merasa sedikit ragu saat merasakan secarik kertas yang ada didalam saku celananya. Dengan pelan-pelan, Arfid mengeluarkan secarik kertas itu kemudian menyerahkannya ke Bella.
“Apa ini?” tanya Bella kebingungan.
“Tadi malam selesai briefing, aku lihat banyak tentara lagi nulis surat. Aku tanya ke Bagus, ternyata memang itu kebiasaan yang mereka lakukan saat menghadapi operasi militer. Takut kalau mati didalam tugas,” jawab Arfid lirih. “Nanti kalau aku gak bisa pulang dari operasi ini, tolong kasih itu ke Nadila.”
Bella melototkan matanya. Setelah berteman dengan Arfid selama lima tahun, baru sekali ini Bella mendengar jawaban Arfid seperti akan mati. “Hah, kamu harus hati-hati, Fid! Jangan terluka.”
“Umur gak ada yang tahu, Bel. Aku juga sadar kalau tugas ini lebih berbahaya dibandingkan tugas yang pernah aku selesaikan.”
Bella hendak mengucapkan suatu hal tetapi batal karena ia melihat Danny dan Wildan yang sedang berjalan menuju ke arah mereka. “Danny? Wildan? Ngapain kesini?”
Wildan langsung merangkul bahu Arfid dengan kuat hingga membuat Arfid sedikit tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Wildan menepuk bahu Arfid dengan pelan sambil berkata, “Adik asuh, ada yang mau pamitan sama calon istrinya nih, hehe.”
“Apaan sih Wildan!” gerutu Bella saat mendengar Wildan yang sedang menggodanya. Bella mengalihkan pandangannya ke Danny yang menggunakan perlengkapan persis seperti Arfid. “Ngapain kesini? Kalian harus siap-siap kan.”
“Bel, kamu disini aja, gak usah ikut. Kamu masih shock sama kejadian kemarin kan. Biar dokter Winda dan dokter Fany aja yang ikut,” ucap Danny.
“Oke,” jawab Bella lirih. Entah kenapa ia merasa khawatir. “Jaga diri baik-baik ya, jangan terluka.”
Danny mengangguk pelan. “Yaudah, yuk adik asuh, kita harus briefing singkat lagi. Harus bergerak cepat sebelum matahari terbit.”
****
Setelah melakukan briefing singkat, puluhan tentara yang memiliki jiwa nasionalisme itu bergerak cepat ke arah bukit yang berjarak tak cukup jauh dari barak. Setelah membagi strategi, akhirnya puluhan tentara itu terpecah menjadi berbagai bagian. Sebagian menuju ke utara, selatan, timur dan barat.
Arfid kedapatan bagian bersama Danny, Bagus, dan lima tentara lainnya menuju ke arah barat bukit itu. Suasana sedikit gelap dan begitu mencekam hingga membuat mereka sedikit kesusahan untuk menerobos semak-semak dan pepohonan.
“Posisinya dimana, Bang?” tanya Arfid pelan kepada Danny yang berada disampingnya.
“Di hulu sungai. Tapi belum pasti dibagian mananya,”jawab Danny.
Arfid mengangguk pelan dan kini ia memfokuskan matanya kembali kepada semak-semak yang ada dihadapannya. Suara jangkrik terdengar cukup keras hingga membuat mereka sedikit bersyukur karena suara tersebut mampu menutupi suara langkah kaki.
Tak butuh waktu lama, mereka berhasil menemukan sungai kecil yang diperkirakan kedalamannya hanya setinggi lutut orang dewasa. Arfid dan Danny mengangkat senjata laras panjang lalu mengintip suasana sungai itu menggunakan scope.
“Aman kayanya ya?” tanya Arfid.
“Iya, tapi harus nyebrang sungai dulu.” Danny menurunkan senjata dari hadapannya. “Cek suasana sungai dulu, Arfid dan Bagus ikut gue. Yang lainnya, tunggu disini. Jangan mendekat sebelum ada perintah dari gue!”
“Siap Laksanakan!” ucap lima tentara itu dengan serentak.
Danny mengangguk seraya memberi kode kepada Arfid dan Bagus untuk segera mengecek suasana sungai yang terletak tak cukup jauh dari posisi mereka kini. Dengan hati-hati, Danny berjalan terlebih dahulu sambil mengarahkan senjatanya ke kanan dan kiri lalu diikuti Arfid dan Bagus dari belakang.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai ke sungai. Dengan penuh hati-hati, Arfid menyamakan langkahnya dengan Danny sambil berkata “Kayanya, aman-aman aja, bang. Gue udah cek lewat scope, gak ada apa-apa.”
“Iya.” Danny menurunkan senjatanya. Kini, matanya melirik kearah aliran sungai yang terlihat tenang. “Ini dalem gak sungainya? Masih bisa kita lewati gak ya?”
Arfid meletakkan senjatanya ke tanah lalu berjalan mendekati sungai. Dengan hati-hati, Arfid menyeburkan satu persatu kakinya ke sungai dan ternyata sungai itu kedalamannya hanya selututnya saja.
“Selutut aja kan? Berarti bisa dilewati dong,” ucap Bagus.