“No one will win this time.
I just want you back.
I’m running to your side.
Flying my white flag, my white flag.”
Surrender- Natalie Taylor
****
Nadila memutuskan untuk tidak pulang kerumah karena ibu Arfid memintanya untuk menghadiri tahlilan Arfid yang pertama kalinya. Sejujurnya, Nadila tak bisa menahan kenyataan yang baru menimpanya kini. Rasanya, Nadila ingin kabur ke belahan bumi lain.
Kini, Nadila berada di kamar Arfid yang terletak di lantai dua. Air mata Nadila menggenang dipelupuk mata saat melihat sebuah foto besar yang ada di kamar. Didalam foto itu, Arfid menggunakan seragam taruna dan ia terlihat begitu bangga.
Nadila berjalan ke arah meja belajar dan terlihat banyak pigura foto kecil. Nadila tersenyum kecil sambil meneteskan air matanya saat mengambil sebuah foto yang ada didalam bingkai berwarna pink. Di dalam foto itu terlihat Nadila dan Arfid yang berada ditengah Sungai Musi.
Nadila kembali meletakkan bingkai foto itu ke tempatnya semula. Matanya kembali menelusuri bingkai foto yang lain. Nadila merasa tercekat saat melihat sebuah foto yang berbingkai doraemon.
“Loh, kenapa ada aku?” tanya Nadila kemudian mengambil foto berbingkai doraemon itu. Di dalam foto itu, terlihat Arfid beserta kakak kelasnya dahulu yang bernama Steven. Mereka menggunakan seragam paskibra. Sementara, Nadila dan Ayu yang merupakan teman SMA nya menggunakan seragam marching band dan diapit oleh Arfid dan Steven.
“Gak mungkin...” Nadila langsung menggelengkan kepalanya saat otaknya memberitahu bahwa Arfid adalah kakak kelasnya dahulu. Nadila sama sekali tak pernah melihat Arfid di SMAnya dahulu.
“Ngapain?” tanya Lintang mengagetkan Nadila.
Refleks, Nadila langsung meletakkan pigura foto itu kembali pada tempatnya. Nadila membalikkan tubuhnya dan ia melihat Lintang yang sedang memandanginya dari pintu kamar.
“Dulu, Agung SMA dimana?” tanya Nadila untuk memastikan.
“Kau gak kenal dia dahulu sewaktu SMA?” Lintang malah balik bertanya.
Nadila menggelengkan kepalanya. Jujur, Nadila memang tak pernah melihat keberadaan Arfid di SMAnya dahulu. Apalagi, Arfid adalah laki-laki yang mengikuti ekstrakurikuler Paskibraka, mana mungkin Nadila tak mengenalinya?
Lintang yang merupakan sepupu perempuan Arfid itu langsung berjalan mendekati Nadila. “Masa gak kenal sih, Nad. Dia itu dulu sekolah di SMA 2 Perawang cuma sekitar satu setengah tahun, setelah itu dia pindah ke SMA 8.”
“Bohong!” seru Nadila. Nadila berusaha menepis fakta yang baru saja diucapkan oleh Lintang. Nadila tak tahu harus bagaimana jika ternyata apa yang dikatakan Lintang barusan adalah kenyataan. “Aku gak pernah lihat dia!”
“Nad, jangan membohongi diri sendiri. Kalau kau gak pernah lihat dia, bagaimana bisa kalian berfoto bersama dengan yang lain?” ucap Lintang.
Nadila terdiam telak saat mendengar ucapan Lintang. Nadila mengacak-acak rambutnya dengan kencang hingga menjadi kusut. Air mata kembali turun saat otaknya mengingatkannya kembali ucapan Arfid pada saat mereka di Siak.
“Lo itu emang pelupa, Nad. Intinya kita pernah bertemu yah,” kelakar Arfid.
“Dimana emangnya?”
“Gak tahu, gue lupa. Pokoknya kita pernah bertemu.”
Nadila mengatupkan bibirnya dengan menggunakan kedua tangan. Air mata mengalir deras hingga membasahi pipinya. Nadila memukul dadanya menggunakan tangan kanannya, berusaha menghilangkan rasa sesak yang kembali mendera dadanya.
“Andai aja.... aku tahu dia sejak awal, aku gak bakalan biarkan dia masuk STIN,” isak Nadila.
Lintang menepuk bahu Nadila dengan pelan. “Udah, semua udah terjadi Nad. Gak ada gunanya kau menyesali semuanya.”