“if life is a movie, you’re the best part.”
- Nadila.
****
Tak terasa sudah hampir sepuluh hari kepergian Arfid. Selama itu juga, Nadila dan Dea tak pernah menampakkan batang hidungnya di kampus. Mereka perlu waktu untuk mengobati luka masing-masing. Beruntung, penghuni barisan belakang mau menitipkan absen mereka, sehingga tidak ada seorang dosen pun yang curiga.
Bahkan, ibu Nina sampai menginap di Pekanbaru selama berberapa hari untuk menenangkan anak gadisnya yang masih terus menangis. Tapi, Ibu Nina baru saja pulang kemarin sore karena ia tak bisa berlama-lama di Pekanbaru. Sementara, Ilham masih terus datang ke rumah, hanya untuk memastikan bahwa Nadila tidak melakukan hal konyol lagi.
Pagi ini, Nadila baru saja terbangun dari tidurnya. Sejak kepergian Arfid, Nadila tak pernah tidur di kamarnya lagi, sehingga ia memilih untuk tidur di kamar sebelah. Nadila tak pernah sanggup melihat boneka beruang pemberian Arfid karena ia akan menjadi perempuan cengeng jika melihat boneka itu. Berberapa butir obat tidur juga berserakan di kasur, pertanda bahwa Nadila susah tidur sejak saat itu.
Nadila melirik ke arah ponselnya dan terlihat ada sebuah notifikasi baru dari Feri. Nadila menghembuskan nafasnya pelan lalu membuka notifikasi itu.
Keluar, aku sama Alfin di depan.
Dengan langkah malas, Nadila membuka pintu kamar lalu berjalan ke arah ruang tamu. Nadila membuka pintu rumah dan terlihat Feri berserta Alfin yang berpakaian rapi sedang menenteng sebuah plastik hitam yang berisi bubur ayam.
“Ngapain?” tanya Nadila pelan.
“Nad,” panggil Alfin pelan. Alfin menatap kondisi Nadila yang benar-benar kacau. Ternyata, kepergian Arfid memang berdampak besar pada hidup Nadila. “Kau kurang tidur?”
“Kelihatan banget yah?” tanya Nadila lirih. Ya, dia memang kurang tidur.
Feri meletakkan bungkusan hitam itu di meja yang ada di teras. “Makan, Nad. Ini bubur ayam. Kau kurus banget.”
“Kasih ke yang lain aja. Aku gak nafsu makan,” tolak Nadila.
Feri menghembuskan nafasnya keras. Dia tahu bahwa Nadila memang begitu keras kepala. “Arfid bakal marah kalau kau begini terus.”
“Biarin aja, Fer. Gak peduli,” ucap Nadila.
“Tau gak sih? Sebelum dia pergi ke Papua, dia nitipin kau sama kami,” lirih Feri. “Segitu sayangnya dia ke kau. Dia minta tolong ke kami buat menjaga kau kalau dia gak bisa pulang seperti yang seharusnya.”
Nadila terkejut saat mendengar ucapan Feri. Setitik air mata tiba-tiba jatuh ke pipi Nadila. Laki-laki yang membuat hidupnya menjadi kacau seperti ini ternyata menitipkan dirinya kepada teman-temannya. Nadila mengira Arfid hanya menitipkannya kepada Ilham saja, namun ia ternyata salah besar.
“Dia juga sempat memberitahu nama aslinya ke kami, hanya untuk jaga-jaga saja,” tambah Alfin.
“Nad,” Feri menatap mata Nadila yang sudah membengkak karena terus menangis sambil berharap bahwa sahabatnya kali ini mau mendengarkan omongannya. “Lanjutkan hidup kau yang tertunda karena ini. Jangan terlalu berlarut-larut, Nad. Jangan mencintai dia melebihi dirimu sendiri. Ingat, dia itu milik Allah. Seberapa pun kau menolak keadaan, ia tetap milik Allah dan Allah udah mengambilnya.”
Nadila tertegun mendengar ucapan Feri. Baru sekali ini Feri berkata hal yang berfaedah. Nadila menghembuskan nafasnya pelan, ia ingin menolak ucapan Feri tetapi ucapan itu memang benar. “Udah, kalian ke kampus aja. Aku mau tidur lagi.”
“Yaudah, kami ke kampus. Jangan lupa dimakan ini bubur, Nad,” pesan Alfin.
Nadila mengangguk pelan, tak ingin membantah ucapan Alfin. Alfin dan Feri langsung membalikkan tubuh mereka lalu berjalan ke motor yang terparkir di depan rumah Nadila. Setelah berpamitan, Feri dan Alfin langsung pergi meninggalkan Nadila.