Tempat itu tidak pernah berubah. Ketika mentari menggantung, sekitar pukul 10.00 pagi pada hari Sabtu, truk toko Supermarket Minamigoto selalu singgah di samping taman dekat ceruk. Truk itu menjual beraneka ragam belanjaan. Beragam sayur mayur, makanan siap saji, dan aneka barang dapur dapat ditemukan berjejal menghias rak. Biasanya, ibu rumah tangga yang malas berjalan jauh ke jantung kota, atau tidak memiliki waktu luang, akan membeli segala keperluan di sini.
Aku ingat dulu bersama Ayah dan Ibu sering pergi ke taman itu. Sementara Ayah dan Ibu berbelanja, aku bermain bersama anak-anak seumuranku di taman. Jiwa anak-anakku kegirangan, terlebih ketika truk Supermarket Minamigoto memutar lagu ikonik dari Disney yang berjudul "It's a Small World". Senandungnya merdu.
Lalu, tepat ketika pukul 11.00 tiba, selalu melintas sebuah kapal feri. Sinar kuningnya menyilaukan mata dan suara trompetnya menggemakan jiwa. Indah rasanya bila aku berada di atas dek kapal untuk memandangi kota kembar yang berada di pulau ini menjauh perlahan. Apalagi ketika festival kembang api. Beragam warna menghiasi langit di atas kota. Biru, oranye, merah, dan kuning.
Sudah lebih dari 10 tahun, aku sudah SMA sekarang dan tempat itu masih sama indahnya. Hanya saja bagiku, semua itu tinggal denging dan dunia berwarna abu-abu. Aku, kehilangan indra pendengaran dan mataku tak lagi bisa melihat warna selain warna abu-abu.
Duniaku berubah. Dunia tak Lagi sama. Batinku.
Selarik benda asing melintas di atas langit kota, tenggelam ke dalam cakrawala. Intuisiku mengatakan, kalau benda tersebut seharusnya indah dipandang kalau tidak berwarna abu-abu. Sebuah bintang jatuh ya? Warnanya seperti apa ya? pikirku dalam hati.
Seseorang mencuil bahuku, membuyarkan lamunan ini. Aku berbalik. Wajah wanita itu mengulas senyum lebar. Dia Ibu.
Ruri. Ayo kembali. Ibu mengatakannya lewat bahasa isyarat. Ibu sedikit mengangkat kantong plastik berisikan belanjaan hari ini.
Aku balas mengangguk.
Ibu membelikan makanan kesukaanmu. Katanya lagi menggunakan bahasa isyarat diiringi senyum menawan.
Aku kembali mengangguk, kini dengan seulas senyum kecil.
Kami melenggang menuju kompleks perumahan di lereng bukit.
Tadi. Ibu memulai percakapan lagi ketika kami sudah tiba di kompleks perumahan. Tukang pos tak sengaja berpapasan dengan Ibu. Beliau membawakan surat untukmu.
Pak Sanada? Surat untukku?
Ibu mengapit belanjaan, sementara tangan lainnya meraih sepucuk surat. Beasiswamu, mereka tetap memberikannya.
Langkahku terhenti. Beasiswaku? tanyaku lewat isyarat.
Benar. Selamat ya Ruri. Ibu tersenyum bahagia.
Meski aku, sudah berhenti bermain piano? tanyaku lagi ketika kami berdua sudah berada di depan rumah.
Benar, mereka tetap memberikannya. Tapi gantinya, kau harus mempertahankan prestasi akademikmu. Luar biasa baik bukan mereka? Mereka orang baik sekali. Ibu menaruh barang belanjaan di atas meja. Sementara aku masih berada di ambang pintu, memandang ke arah lain ruangan.
Ibu menengok ke arah dapur sejenak, lalu memandangku yang sedari tadi diam.
Tidak ada kok Ibu, aku senang juga. Aku akan belajar dengan giat. Ungkapku lewat bahasa isyarat.
Senyum kaku yang Ibu tunjukkan berubah menjadi senyum hangat.
Entah bagaimana aku harus mengutarakan perasaanku. Senang dan sedih seolah bercampur satu. Apa tidak masalah demikian? Mereka rela membayarkan biaya sekolahku dengan beasiswa yang aku sekarang ini tidak layak mendapatkannya. Apa aku layak mendapatkannya? Pertanyaan yang aku tidak bisa tanyakan pada Ibu.
Malam pun datang. Sinar mentari mulai berganti dengan cahaya rembulan. Aku duduk menyangga dagu, memandangi suasana malam kota kembar melalui jendela kamar.
Kota ini memang tidak pernah berubah ya? Mereka indah dan juga baik, tapi kejam juga dalam lain sisi.
Dalam kota ini, distrik perumahan dan distrik publik terpisah dalam dua kota kembar yang terhubung oleh jembatan. Kota sebelah selatan dipenuhi oleh rumah-rumah penduduk. Beberapa ada berjejal toko kelontong dan ruko dan sebuah kuil, tapi pada umumnya dari tepi jembatan, yang terlihat hanya rumah-rumah sampai lereng bukit. Sementara kota sebelah utara, lebih didominasi oleh fasilitas publik. Sekolah yang berada di atas tanjakan curam, rumah sakit di perempatan, pelabuhan dan lain seterusnya menguasai kota utara. Rumahku berada di kota selatan, sekitar satu kilometer dari jembatan.
Kenangan itu pun bergulir merasuki pikiran. Penampilan pertamaku ketika bermain piano di atas panggung dekat jembatan. Sorak penonton membahana, tepuk tangan meriah mengisi sewaktu nada terakhir berhenti. Lalu terdengar bunyi ledakan memekakkan telinga. Penonton seolah menyaksikan penampilan spektakuler. Aku menghentikan permainanku, berpaling ke arah jembatan. Bunga api warna-warni menghiasi langit senja. Lalu, bunga api itu lenyap. Lenyap digantikan cahaya abu-abu yang mengerjap dan denging yang berkepanjangan.
Kenangan indah yang perlahan menjadi pahit, batinku.
Aku mendengus. Kembali pada realita. Pandanganku beralih kepada tumpukan dus karton di samping lemari baju. Di sana teronggok barang-barang yang sudah lama tidak kusentuh. Semua disatukan dalam dus berdebu. Tak jauh dari situ, di dekat jendela lain, sebuah piano Steinsway & Sons tampak kian kesepian di bawah temaram rembulan.
Perasaan aneh menggebu di dalam hatiku, kemudian merambat ke seluruh tubuh seperti aliran listrik.
Bintang jatuh. Tadi pagi kusaksikan bintang jatuh. Bila aku memohon untuk indraku dikembalikan, apakah aku bisa menikmati musik lagi?
Aku menggeleng. Tidak... tidak... tidak boleh... Jangan beri aku Harapan. Aku tak bisa lagi melakukannya. Dokter sudah jelas mengatakan kalau aku sudah benar-benar kehilangan. Aku tidak lagi bisa.
Lanjut membaca buku. Kurasa ini yang bisa kulakukan sekarang. Membaca novel karya Rein-Sensei yang berjudul "Iblis Pencuri Indra".
Andai saja, andaikan saja aku dulu tidak melakukannya. Duniaku tidak akan seperti ini. Tanpa rasa, tanpa warna, dan tanpa suara.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Sesuatu menekan-nekan pundakku. Aku menoleh.