Kau bukan hanya korban, tapi korban sekaligus pelaku.
Kata-kata dari Kurogami-sama terus berputar bagai piringan hitam usang sebuah gramofon tua. Berulang kali diputar pun, hasil suaranya selalu sama berderit merusak telinga hanya untuk mengulang sebuah kalimat yang sama. Kalimat yang berkata padaku seolah-olah aku yang salah. Tidak ada simpulan lain.
Mataku masih terpaut pada pasangan muda yang sedang berusaha berenang ke permukaan air sambil saling genggam tangan. Sebuah tajuk berada di atas kepala mereka "Elegy Sonata: Mimpi dan Keputusasaan" tertulis dalam romaji. Rangkaian penjelasan mengikuti di balik halaman brosur itu. "Klub Filmmaker Mempersembahkan Sebuah Film Pendek Original yang—"
Bacaanku terhenti. Sesuatu mencuil bahuku. Ketika aku menoleh, yang menyambut pandanganku adalah selembar kertas dengan kalimat itu.
Ada sesuatu di wajahmu...
Wajah Okuda menyembul dari samping kalimat itu. Alisnya menekuk.
Apa, Okuda? Kataku lewat isyarat, menelengkan kepala.
Ada sesuatu di bibirmu.
Aku pun mendorong sudut bibirku ke atas menggunakan telunjuk dan jari tengah. Seperti ini? Kataku kemudian dengan isyarat.
Arahnya terbalik
Hendak aku menanggapinya, ketika tiba-tiba muncul si kembar di belakang Okuda. Melingkarkan lengan mereka pada pundak Okuda yang kecil.
Aku hanya bisa menyaksikan mereka bercakap riang. Berharap saja apa yang mereka bicarakan bukanlah soal diriku.
Okuda menepis tangan Yuzuki. Dia keluar dari rangkulannya, menatapku.
Sehabis ini, mari kita lihat pameran ekskul bersama-sama.
Aku menjawabnya lewat senyum yang kupaksakan menggunakan bantuan kedua telunjukku.
Okuda dan si kembar saling tatap-tatap, kemudian terkekeh.
Kamu lucu sekali Ruri.
Lalu tur pameran ekskul itu dimulai setelah jeda istirahat kelas. Kami banyak melewati ruangan-ruangan menarik tata kelola dari masing-masing ekskul. Sebuah komik hitam putih mahakarya anak-anak klub penggemar anime dipajangkan memenuhi koridor di lantai dua. Foto menu masakan-masakan chinese dan western pula dideretkan di sebelah. Klub Memasak tidak mau kalah. Mereka memamerkan setiap kegiatan unik klub memasak satu tahun bersama. Namun yang paling memikat anak kelas satu di angkatanku adalah Ekskul Musik.
Cowok kacamata itu menjelaskan sesuatu pada anak-anak kelas satu. Dia kemudian tersenyum lalu berpaling dan duduk di sebuah kursi piano. Jarinya mulai menekan. Dan.... tidak ada yang terjadi.
Tidak ada suara apa-apa yang keluar. Tidak ada nada-nada yang memelesat dari rongga piano. Tidak ada partitur-partirtur melingkar dekat si cowok kacamata. Tempat itu tetap berdenging berpadu dengan suara dasar samudra. Gelap. Gulita. Dan dingin.
Sesuatu mencuil bahuku. Aku berbalik. Itu Okuda dan di sampingnya berdiri Natsuki.
Bagaimana menurutmu tadi Ekskul Kerajinan Tangan? Kegiatan mereka sepertinya seru sekali. Tapi aku sudah memutuskan bergabung Ekskul Memasak jadi– Tangan Okuda berhenti bergerak ketika Yuzuki berkata sesuatu padanya dengan tatapan serius. Mereka bercakap agak intens.
Kedua ekskulnya menarik kok. Kenapa tidak pilih keduanya? tanyaku lewat isyarat, memecah canggung antara mereka.
Okuda tersenyum hangat. Kalau Ruri bagaimana? Ekskul mana yang ingin Ruri lihat?
Tidak ada. Aku ikut saja kalian. Jawabku.
Meskipun berkata begitu, tatapanku seolah selalu ditarik menuju ruangan tadi. Sebelum naik ke lantai tiga, aku melirik sekali lagi ke balik bahu, memandang cowok kacamata itu bermain piano lewat jendela kaca dari kejauhan.
Aku berpaling. Lanjut mengekor Okuda dan si kembar.
Tidak ada yang terjadi. Semenjak hari itu pun tidak ada yang terjadi. Duniaku masih hitam putih. Lorong kelas ini sama gulitanya. Dan tawa semua orang hanya denging di telingaku. Aku tetap tidak bisa merasa. Malahan, dunia ini menjadi lebih menyakitkan. Ekspresi orang-orang semakin buram dalam kegelapan dasar samudra.
Kemarin lalu, kami menemukan tempat yang dinamai Lorong Harapan ini. Sebagaimana legendanya, tempatnya memang berada di jantung gunung.
Gerbang torii di mulut lorong berdiri membayangi matahari. Seperti namanya, 'kuro', tempat di hadapanku itu sangat hitam. Sama sekali tidak ada cahaya matahari yang mampu memasuki tempat itu.
"Kita sampai. Kau siap, Ruri?"
Aku mengangguk saja.
Lantas tanpa pikir panjang kami pun memasuki Lorong Harapan.
Meskipun tidak ada cahaya, di dalam sini kami masih bisa melihat. Sebab di ujung lain lorong ada hal yang 'menyenangkan', begitu kata Hyūga. Dan benar saja, setelah kilauan cahaya itu, di ujung sana adalah tempat yang 'menyenangkan'. Sebuah dunia ajaib di dalam jantung gunung. Perairan dangkal semata kaki membentang sepanjang mata bisa melihat. Permukaan airnya bening sebening udara. Itu semua, makin elok oleh kilauan bunga-bunga dari pohon yukiyanagi.
Pohon itu menjulang di pusat, di atas gundukan tanah. Di hadapan sebuah hokora dan piano Steinsway & Sons yang kakinya tenggelam beberapa senti dalam air.
Piano?
Aku masih bisa mengertikan kenapa di tempat ini terdapat hokora dan pohon yukiyanagi atau permukaan air ajaib yang dapat kami menjejak di atas permukaannya. Namun piano? Aku tidak mampu memikirkan alasan mengapa benda semacam itu bisa ada di sini.
Sebuah cahaya mengerjap dari arah lain gua. Menyilaukan mata. Lalu, di balik cahaya sana, muncul sesuatu yang tidak ingin aku lihat. Sesuatu yang 'buruk'. Sesuatu itu muncul.
Kau bukan korban, tapi korban sekaligus pelaku.
Pelaku? Memangnya apa yang membuat dewa pulau marah sehingga aku pantas hidup seperti ini? Bila dia adalah Tuhan, maka artinya Tuhan terlalu sensitif. Dia hanya bisa marah dan melemparkan kutukan semena-mena alih-alih memberikan kebaikan. Sesuatu yang wajar bila orang-orang menjadi berpaling dari Tuhan untuk pergi ke sesuatu yang lebih bercahaya.
Kembali ke Minamigoto. Langkahku terhenti setiba di lantai tiga gedung timur. Koridor di sini berbeda. Di tengah dunia hitam putih dan berdenging yang tiada hentinya, koridor dekat ruang seni tampak bersinar. Pasangan kekasih dalam poster itu kontras dengan dunia sekelilingnya. Memiliki warna. Memiliki gradasi. Memiliki pencahayaan. Dan hidup. Tersenyum pada pengunjung. Padaku.
Sebuah tangan menggupai dalam pandanganku. Aku menoleh ke samping.
Bagaimana dengan klub itu? Mau lihat? Sepertinya menarik dan— Okuda memberhentikan tangannya di udara. Gerakan tangannya berubah lebih lambat. Cocok untuk Ruri
Aku menolehkan pandang pada poster itu lagi. Namun, alih-alih berwarna, kedua pasangan malah jadi pudar. Ekspresinya buram dan abu-abu.
Jawabanku atas pertanyaan Okuda hanya anggukan kecil.
Lalu kami berempat pun menghampiri kakak kelas yang mana adalah anggota Klub Filmaker. Gadis pendek rambut bob dengan blazer kebesaran menempel di tubuhnya. Dia memberikan lembar kertas daftar nama pengunjung untuk kami menuliskan nama kami di sana.
Beruntungnya kami datang tepat waktu. Screening film sebentar lagi dimulai jadi kami tidak perlu duduk menunggu.
Ketua klub itu pun muncul di hadapan semua orang. Dia menjelaskan sesuatu. Kemungkinan besar isinya terkait film pendek yang sebentar lagi ditampilkan. Aku hanya menebak-nebak saja. Karena bagaimana pun juga, aku tidak bisa mendengar, dan sampai sekarang aku masih belum bisa membaca gerak bibir.
Elegy Sonata: Mimpi dan Keputusasaan.
Judul film pendek itu cukup romantis. Aku bisa membayangkan bagaimana isi film hanya lewat judulnya saja. Dan memang benar sesuai dengan perkiraanku. Film itu mengenai seorang siswa yang kehilangan mimpinya menjadi seorang atlet lari akrobat sebab cedera berat. Sesuatu, yang bisa kurasakan secara langsung. Meski tanpa mendengar dialog tokoh, aku bisa merasa. Rasa yang membuat tanganku mengepal di pangkuan.
Tapi, yang membuatku benar-benar kehilangan kata-kata adalah adegan berikutnya ketika tokoh utama hanya bisa memandang kejauhan langit melalui jendela rumah sakit. Di ruangan itu, tampak berwarna. Kamar abu-abu itu perlahan memancarkan pancarona. Sebuah spektrum cahaya tampak. Dan semuanya berasal dari gadis di seberang tokoh utama.
Dia adalah Hyūga. Rupanya Hyūga mendapat peran kecil dalam film pendek ini.
"Lagi-lagi memandang kejauhan, ya?" ucap Hyūga pada tokoh utama. "Apa tidak bosan soalnya langitnya begitu-begitu saja?"
Tokoh utama berpaling padanya. "Aku ingin tahu apa yang ada di seberang sana. Apakah sesuatu yang bahagia atau sebaliknya? Apa yang akan menantiku sekarang di kemudian hari?"
"Pasti sesuatu yang baik kok! Soalnya kamu sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada yang sia-sia bahkan sesuatu yang kecil sekalipun. Dan juga karena," Ucapan Hyūga itu membuat tokoh utama terkejut. Maka, Hyūga melanjutkan kata-katanya. "Hatimu sangat tulus. Tuhan pasti mendengarnya. Tapi jika kau percaya akan kehadiran-Nya."
🌸🌸🌸🌸🌸
Suara langkah kaki ringan terdengar mendekat, memecahkan dunia heningku.
"Jadi di sini kau rupanya." Hyūga muncul tiba-tiba dari rak buku di depan sambil membawa dunia intraspasialnya. "Teman-temanku mencarimu loh!" serunya padaku.
Aku membalikkan halaman buku. Abai saja dengan kehadiran Hyūga.
Merasa diabaikan, Hyūga menarik kursi di seberang. Duduk di sana. "Sedang baca apa? Serius sekali. Oh, rupanya novel Rein-sensei lagi, ya."
Dia bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri. Aku melirik sebentar, mengangguk kecil. Lalu kembali pada buku yang kubaca.
Gadis itu mengistirahatkan punggungnya pada sandaran kursi, menatap langit. "Rein sensei memang pandai dalam merangkai cerita. Kalau aku lebih menyukai puisi buatannya, terutama yang judulnya "Berlayar". Itu kisah seorang nahkoda kapal yang tersesat di samudra. Dia dan krunya harus melawan lautan dan seisi makhluk kejamnya. Tapi, cara tokoh utama selamat hanya dengan mengikuti intuisi seorang kapten kapal. Hingga pada akhirnya mereka tiba di tujuan. Yang mana tujuannya adalah tempat awal mereka sebelum berlayar. Seperti hidup. Semua kembali pada diri sendiri. Kalau Ruri senang karya sensei yang mana? Hello? Takasaki Ruriko? Ruri? Lapis Lazuli? Hey, Ruri, kalau seseorang tengah berbicara itu pandang matanya."
Aku membalikkan halaman buku. Tetap abai. Hyūga hari ini lumayan banyak bicara. Sesuatu yang luar biasa aku bisa mendengar semua omongannya sambil membaca.
Karena telah berbuat gaduh di perpustakaan, maka konsekuensinya adalah petugas perpustakaan datang tiba-tiba sambil berdesis panjang pada Hyūga. Hyūga menangkupkan tangan, merasa bersalah.
Pria berkacamata kotak itu melenggang kembali ke balik meja konter. Seperginya cowok itu, aku pun menutup buku Rein-sensei. Meletakan buku "Iblis Pencuri Indra" nya di atas meja.
Aku cukup menyukai judul yang ini. Sudah berkali-kali aku baca. Ini salah satu yang paling aku suka setelah buku-buku hitsnya.
Hyūga duduk menopang dagu. Menatapku.
"Begitu kah? Bagiku yang itu agak membuatku bingung. Bukan agak, tapi memang membuatku bingung. Endingnya terutama. Kenapa kisahnya berhenti begitu saja. Sangatlah nanggung sampai-sampai orang-orang berdebat akhir cerita yang sesungguhnya seperti apa. Terdapat tiga teori soal ending cerita ini, tergantung bagaimana seseorang menginterpretasikannya. Sedih. Marah. Atau bahagia. Semua bagaimana kamu mempercayainya."