Langit mulai menggelap. Awan hitam berhembus menutupi sorot mentari sore hari ini. Duniaku yang semula sudah gulita, makin terlihat gulita ketika langit menumpah ruahkan air hujan mengguyur kota Minamigoto.
Telunjukku menekan-nekan C4 beberapa kali. Dan yang kudengar hanyalah denging halus yang berdenting-denting tak karuan. Selanjutnya tangan kiriku memainkan melodi pada akor G#minor. Aku mengharapkan suara yang sendu, tapi yang kudengar hanya berupa denging bergema di gendang telinga.
Hatiku memanas, tanganku bergemetar, setiap aku memainkan sebuah melodi atau kord. Hening yang kudapatkan setiap aku bermain sebuah lagu. Abrasque No.1 dan Moonlight Sonata tidak ada bedanya.
Tanganku berhenti bergerak.
"Kenapa berhenti bermain?" tanya Hyūga yang berdiri menyandar di jendela pintu. "Padahal bagus loh. Permainanmu sangat indah meski aku rasa ada yang kurang dari musikmu, lagu bahagia harusnya terasa bahagia bukannya terasa hampa." Dia melangkah masuk. "Lagu barusan, apa judulnya?"
Aku mengangkat kepalaku dari piano. Tanganku bergerak di udara. Itu lagu orisinal buatanku. Belum ada namanya.
"Hah? Benar 'kah? Jangan bohong, deh."
Aku menggeleng. Menegaskan kalimatku sebelumnya.
Suara rintik hujan terdengar samar. Hyūga berhenti di sampingku, menyapu tuts piano sebelum akhirnya berhenti dan memandangku dalam posisi setengah berdiri bertopang sebelah siku pada piano. Dia tampak elegan, dengan rambut panjang terurai ke bawah.
"Jadi begitu, ya, caramu bermain piano waktu tidak ada aku dekatmu. Menempelkan telinga ke piano," katanya diiringi tawa kecil. Jepit rambut kupu-kupu birunya bergemerlap, menghasilkan butiran warna biru yang berguguran indah di sekitar ruang intraspasialnya.
Hyūga, kau selalu bisa menemukanku.
"Yang lain menunggumu di restoran The Enclat dari tadi. Ada cheesecake strawbery juga loh menunggumu."
Aku tidak akan ke sana. Aku tahu apa siasatmu. Kalau aku datang ke sana, semua akan menyambutku. Kemudian saat itulah nanti kamu pasti memintaku bermain piano di depan mereka. Supaya aku bisa percaya omonganmu soal harapan kosong dan membuatku terus mengikuti perkataanmu.
"Ketauan, ya?"
Hyūga yang tampak keren dan anggun, berubah menjadi kekanakan ketika siasatnya diketahui. Mengusap punggung kepala sembari memberi senyuman dibuat-buatnya itu. Sementara rintik hujan di luar sana kian bertambah banyak. Butir-butiran air meniti jendela kelas.
Itu sifat burukmu. Terlalu terang-terangan. Aku berkata lewat isyarat.
"Sakit juga rasanya ketika ada seseorang yang membalikkan kata-kataku sendiri." Gadis itu pun berpaling, mengedar pandang ke sesuatu yang ada di belakang ruangan ini. "Bagaimana klub filmakernya, Ruri? Jadi gabung tidak?"
Pertanyaannya seperti ditujukan pada sisi belakang ruangan alih-alih padaku.
Hyūga berpijak di sisi seberang. Berdiri depan loker tepi belakang ruang musik. Dia menoleh, hendak berbicara. Namun aku lebih dahulu berkata lewat isyarat.
Aku akan bergabung dengan Klub Filmaker sebagaimana yang kamu inginkan. Tapi aku akan berhenti bermusik. Sudah seharusnya begitu. Aku menarik napas dalam. Mengepalkan tangan di pangkuan sebelum lanjut berkata lewat isyarat. Setelah itu jangan ganggu aku lagi. Jangan bawa-bawa harapanmu yang kosong lagi padaku.
Dahinya mengerucut, gadis itu memberiku sebuah tatapan tak biasa. "Ruri. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Sebuah perasaan kecewa dan marah besar. Aku pernah merasakannya. Rasa kecewa ketika aku harus berhenti karena keadaan memaksaku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa soal itu. Terlalu berat hingga aku merasa ingin menyerah."
Suaranya terasa sedikit berdenging dan lamat-lamat seperti diredam dalam air. Namun spektrum warna dan kontras gradasi dari dunia pijakannya terasa lebih hidup dari kejauhan yang tidak dapat kugapai.
Hyūga coba membuka loker nomor tujuh dari pintu. Terdengar samar sekali derit suara engsel berderak. "Aku tahu rasanya," ucapnya, berdenging halus.
Kau tidak tahu apa-apa tentangku.