Tanganku meraba dinding, mencari-cari tombol lampu yang entah kenapa sulit dicari. Cahaya putih pun mengerjap bersinar di atas kepala, menerangi ruang keluarga yang besarnya tidak seberapa. Di bawah cahaya lampu bohlam tidak stabil itu, tujuh buah kaleng minuman berenergi teronggok tersebar pada lantai dan meja di dekat sofa. Sementara di atas sofa itu sendiri, sesosok wanita paruh baya terbaring lesu. Matanya memejam, tersembunyi setengah di balik punggung tangan kanannya.
Aku melangkah pelan menghampiri wanita itu, melepaskan blazer seragam sekolahku untuk mengubahnya menjadi selimut. Membentangkannya, menghangatkan tubuh Ibu yang begitu kelelahan agar tidak demam. Tangan Ibu bergerak lemah. Dada wanita itu turun laun.
Aku duduk di lantai, menepikan pipiku ke sofa. Menatap wajah Ibu yang tidak berdaya.
Sebuah rasa aneh bergejolak di dalam hatiku. Rasa yang bila dideskripsikan seperti terdapat api kecil di sana, hatiku. Yang bila berlama-lama dibiarkan, akan menyebarkan api serupa ke seluruh tubuh lewat aliran darah. Hingga api itu berakhir di mata. Dan entah mengapa, mataku jadi terasa panas. Pandanganku berkilauan oleh berlian. Aku mengerjap, menggosok mata untuk melepaskan energi negatif ini. Memang pandanganku sudah kembali semula, sudah sama. Namun terasa tidak sama.
Karena aku semua jadi seperti ini, gumamku dalam benak.
Ketika menempelkan tanganku pada dahinya yang sedikit terdapat kerutan, bola mata berwarna hazel itu mengerjap. Wanita itu terbangun dengan matanya yang masih setengah sadar. Pandangan kami tak sengaja saling bertaut.
Setengah badan wanita itu terbangkit seketika. Blazer yang kugunakan untuk menyelimutinya menggelosor turun.
Aku menggerakkan tanganku di udara. Selamat pagi Ibu.
Mata nanar setengah sadar itu berubah. Menjadi hangat lagi setelah tangannya menggosok mata itu yang kedua kalinya. Apakah jam segini cocok disebut pagi, ya? Katanya lewat isyarat. Bergegas Ibu bangkit berdiri mengumpulkan kesadarannya yang masih terpecah.
Ucapan selamat pagi menurutku bagus untuk memulai hari. Kalau cocok untuk memulai hari, maka cocok juga kalau menjadi kalimat pertama pembuka hari baru ketika pertama bertemu meski saat itu sudah bukan pagi lagi.
Beberapa saat Ibu berdiri diam memandang langit-langit. Lalu terkikik kecil. Mungkin ada benarnya juga, ya.
Hari ini makan malamnya apa?
Ruri maunya makan apa? Kita masak bersama saja bagaimana?
Aku mengangguk singkat.
Ibu pun beranjak menuju dapur. Memasakkan sesuatu untuk kami makan malam. Aku di sisinya, bantu membersihkan bahan-bahan masakan. Cuman itu yang bisa kulakukan, aku tidak bisa memasak.
Hari itu pun kami makan malam agak cepat. Terlalu cepat. Pukul 18.00. Karena pagi dan malam sebelumnya kami tidak bertemu. Jadi seperti inilah yang dilakukan untuk melepas rindu.
Tidak terjadi percakapan di atas meja ini selama beberapa waktu. Tahu-tahu sepasang piring tergeletak kosong di atas meja. Juga dua gelas kaca di sampingnya. Meski saling diam, aku paham Ibu ingin mengatakan sesuatu padaku. Tatapannya walau ada kehangantan di sana, tapi terkesan serius. Yang mana membuatku sedikit gugup.
Tangannya bergerak di udara. Dalam ritmis berantakan. Aku tidak paham apa yang ingin Ibu katakan.
Ibu menggeleng, memperbaiki gerak tangannya di udara. Bagaimana sekolahnya, Ruri? Tanya Ibu, tatapannya tiba-tiba berubah hangat seperti tatapan Ibu yang kukenal.
Aku berencana mendaftar Klub Filmaker. Selasa depan aku resmi menjadi anggota. Tanganku berhenti bergerak sesaat di udara. Aku menambahkan senyuman dalam kalimat berikutnya. Nilai akademikku aku rasa akan cukup untuk masuk rangking tiga paralel. Dengan begitu beasiswanya akan aman.
Benarkah? Bagus kalau begitu. Selamat ya, Ruri.
Ya.
Dialog terhenti sebentar. Kami saling menebar senyum kepada satu sama lain. Saling mengertikan lewat jendela jiwa.
Kami berdua paham. Benar-benar paham kondisi ekonomi sekarang ini. Kami sedang tidak baik-baik saja, ditambah dunia sedang tidak baik-baik saja. Diperparah oleh hutang yang Ayah tinggalkan dulu, membuat kondisi makin rumit. Beruntung kami bisa makan dua hari sekali ini berkat uang saku dari beasiswa yang seharusnya digunakan untukku sekolah di Tokyo.
Ibu menangkupkan tangan depan piring, bangkit. Pergi kembali ke ruang belakang, mencuci piring. Sementaranya aku duduk diam, mengalihkan pandang ke arah lain. Dari hati kecilku terdalam, terdapat kegelisahan yang tidak mampu aku deskripsikan. Aku punya firasat aneh, kalau ada sesuatu yang disembunyikan Ibu.
🌸🌸🌸🌸🌸
Siang itu terjadi sedikit kehebohan di ruang Klub Filmaker.
"Selamat Datang Ruriko!"
Begitu sahut semua orang. Yang mana diikuti dengan suara ledakan dari coffetti popper. Berguguran meliuk turun butiran-butiran kertas warna di udara. Memeriahkan ruangan yang semula sudah meriah oleh tempelan kertas origami yang dibentuk lucu nan imut dan balon warna membentuk nama 'Ruriko'.
Tidak tahu bagaimana harus bereaksi, aku hanya diam saja, mengerjap-ngerjapkan mata. Untungnya ada salah satu dari mereka yang menjelaskan kondisi ini. Seorang cowok kacamata rambut acak-acakan.
"Kami selalu menyambut kedatangan anggota baru dengan pesta kecil semacam ini. Maaf bila membuatmu tidak nyaman," Tampang laki-laki itu agak konyol berkat topi kerucut warna merah yang menempel di atas kepalanya itu. "Oh, ya, kau boleh memanggilku Tatsuya. Dan selamat datang di Klub Filmaker. Aku yang menulis artikel itu."
"Habisnya tiap tahun jarang sekali ada yang mau bergabung." Tambah gadis yang aku rasa adalah ketua klub itu karena terlihat paling berwibawa itu. Nada sebal suaranya.
Jepit rambut kupu-kupu biru meliuk turun. Hyūga muncul tiba-tiba di samping, "Apakah kalian melupakanku? Aku bergabung tahun lalu, loh!"
"Untuk Akari adalah pengecualian."
"Apa sih maksudmu, Yume!"
Hyūga merasa tidak terima diperlakukan begitu, mencoba adu argumen dengan gadis bernama Yume, berkata bahwasanya Hyūga sangat berjasa pada klub. Berkat dialah Klub Filmaker masih berdiri. Berkat dia pula film pendek tahun lalu bisa selesai. Sementaranya, Yume malah mengungkit keburukan Hyūga di klub. Soal ketidakhadiran Hyūga. Bagaimana Hyūga hanya datang sebulan sekali. Dan bagaimana Hyūga menyeret Klub Filmaker dalam masalahnya hingga harus membereskan kolam renang akibat ulah usilnya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Sebuah perdebatan yang tiada ujung.
Apa-apaan mereka ini?
Aku menoleh ke arah lain. Mendapati, seorang gadis pendek rambut bob menghampiriku.
"Mereka sudah biasa seperti ini dari dulu, abaikan saja mereka. Beberapa menit kemudian pasti berbaikan lagi kok." Gadis pendek rambut bob dengan blazer kebesaran menempel di tubuhnya itu berucap. "Kita belum berkenalan secara resmi, ya. Aku Miyako Kaori, kelas sebelas dua. Salam kenal. Aku tahu tentangmu dari Hyūga-san. Dia menceritakan semuanya padaku. Tentang mimpimu, juga duniamu ketika dekat Hyūga."
"Akari adalah matahari dalam sistem tata surya. Pusat gravitasi alam semesta. Tapi, yang ditarik oleh gravitasi milik Akari bukanlah massa melainkan masalah," kata suara kelima di ruangan itu, menimpali Kaori. "Watanabe Asami. Kelas tiga, tiga." Tambahnya dengan wajah datar tanpa ekspresi sambil menekan-nekan balon hijau hingga meletus.
Tatsuya mendesah di sampingnya. "Seperti biasa, orang itu selalu menyeret-nyeret kami ke masalahnya." Memperbaiki kacamatanya yang menyerong. "Namun kali ini, gadis problematik nama Hyūga Akari ini membawa masalah yang kami ingin ikut serta menyelesaikannya. Akari sudah menceritakan pada kami terkait masalahmu. Aku bisa turut senang kalau aku ikut serta membantu Takasaki-san si Bintang Minamigoto agar bisa main musik lagi."
"Meski hanya lewat artikel."
Kaori ikut menambahkan.
Jadi salah satu dari orang-orang ini adalah teman Hyūga yang menulis artikel itu.
Aku mengangguk cepat. Aku paham bagaimana rasanya ketika Hyūga mendesak kehendaknya padaku.
Tatsuya mengerjap-ngerjap, mengusap punggung kepala. "Umm, ya, kurasa."
Oh, ya, tadi Tatsuya-senpai bilang Takasaki-san si Bintang Minamigoto, kau pernah tahu aku?
Tatsuya, Kaori, dan juga Asami diam saja. Saling lirik-lirik dalam diam di balik suara bising latar belakang yang berupa sahutan Hyūga dan Yume beradu argumen. Rupanya mereka tidak tahu bahasa isyarat.
"Ano, bukannya ketika dekat Hyūga-lah indra Ruri kembali, kalau benar begitu harusnya Ruri bisa bicara, bukan? Maaf aku tidak bisa bahasa isyarat. Belum bisa lebih tepatnya." Tatsuya berdeham dibuat-buat, pura-pura memperbaiki kacamatanya.
Ketika aku hendak menanggapi, Yume si ketua lebih dahulu memulai rapat hari itu dengan tiga tepukan tangan yang terdengar keras. Hyūga sudah duduk diam di kursi sebelah, duduk manis dengan posisi sebelah tangan menopang dagu. Wajahnya cemberut. Tampaknya perang dunia sudah usai dengan kekalahan Hyūga.
Kami pun duduk berkumpul di meja besar di tengah ruangan.
"Baiklah. Aku akan memulai diskusi kali ini. Sebagaimana yang kalian tahu, anggaran ekskul kita dipangkas habis oleh OSIS. Memang sialan mereka. Oleh karena itu khusus untuk tahun ini, kita harus membuat karya besar demi keberlangsungan hidup klub. Jadi pahami baik-baik agenda yang sudah aku tuliskan pada lembar kegiatan. Rasanya agak telat untuk memulai kegiatan di awal bulan Juni sementara UAS sebentar lagi, tapi ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali."
"Harusnya dimulai dua minggu lalu." Hyūga menyeletuk di seberang. "Tapi agenda diundur terus karena anggota baru yang serba plin-plan," sudut matanya mengarah padaku.
Yume menyentil dahi Hyūga. "Anggota gaib tidak berhak berkomentar." Melipat tangan di depan dada. "Seperti tahun lalu, kita akan membuat film pendek. Namun sementara ini karena naskah masih belum selesai dituliskan oleh cowok kacamata di sana (Tatsuya terbatuk, kertas catatan di mejanya mendadak terbang bertebaran), kita akan fokus ke kegiatan klub masing-masing seperti biasa. Sastra hari selasa, dan hortikultura hari kamis."
Hortikultura dan sastra?
"Benar, sastra dan hortikultura," ucap Hyūga di sampingku seakan bisa membaca pikiranku. "Ini klub buangan."
Yume menepuk kepala gadis itu menggunakan kertas. Kemudian menjelaskan kelanjutannya, dan ini terkhusus padaku. Dia menjelaskan kalau Klub Filmaker sesungguhnya klub buangan. Merupakan klub gabungan dari Klub Sastra, Klub Hortikultura, dan Klub Filmaker itu sendiri. Dikarenakan anggota klub-klub itu yang kurang, penggabungan klub kecil ini terjadi. Penggabungan ini dimulai trisemester pertama tahun lalu.
"Kalau ada pendapat silahkan diutarakan," tambah Yume pada semua orang. "Kalau ingin mendebat, silahkan."
Aku menghabiskan hariku bersama Klub Filmaker. Kebanyakan membahas mengenai karya-karya Natsume Sotsuki dan Antologi Seratus. Meski tidak seseru yang kubayangkan, tapi setidaknya cukup untuk membuat pikiranku sibuk. Karena, jiwaku berkali-kali keluar sebab memikirkan soal 'warna' Hyūga itu.