A Missing Piece of Harmony

Ripley
Chapter #10

[笑う] Warau/Ingin Tertawa

"Aku tahu alasan penglihatan Ruri soal warna bisa kembali!"

Saat itu Klub Filmaker tengah melakukan agenda rutin di hari kamis. Berkebun. Kami mengelilingi sekolah untuk merawat setiap petak tanaman yang ada. Petak terakhir yang diurus oleh Klub Filmaker pada hari itu adalah petak tanaman di ujung sisi lain lapangan sepak bola.

"Hah, yang benar?"

Semua orang terkejut mendengar deklarasi Hyūga. Tatsuya yang tengah membaca ulang naskahnya itu sampai menjatuhkan kertas-kertas naskahnya di udara. Kacamata pink Yume meluncur jatuh dari hidung. Dan Kaori menurunkan gembornya secara kasar.

Yume memungut kacamatanya yang tergolek di atas tanah. "Jadi maksudmu, kau sudah tahu alasan penglihatan Takasaki-san kembali?"

"Benar. Dan jawabannya sangat sederhana. Yokai yang mencuri indra Ruri bukan makhluk yang jahat. Dia tidak sepenuhnya mencuri indra milik Ruri. Indra milik Ruri bakal kembali kalau Ruri telah melewati syarat-syarat tertentu." Pandangan Hyūga beralih padaku, kemudian pada penontonnya lagi. "Mengenai penglihatan tentang warna, akan kembali pada Ruri ketika Ruri melihat dunia sebagaimana mestinya."

Mendengar namaku berulang kali disebut, aku menoleh ke balik bahu. Lalu kembali pada menyirami petak tanah di hadapanku ini, seolah tidak tertarik. Walau sebetulnya aku diam-diam memasang telinga.

Yume mengeluarkan suara gemuruh yang aneh. Sesaat. Lalu berkata, "Jadi maksudmu Ruri sebelumnya tidak melihat?"

"A, a, a, Yume-ku, dengar baik-baik ya," Hyūga menggoyangkan telunjuknya di Udara sambil memenjam seolah-olah mengejek, "warna bukanlah sesuatu yang nyata dari sebuah objek, warna hanyalah bagaimana mata kita menerima gelombang cahaya yang dipantulkan objek tersebut, bola berwarna merah bukan berarti warna bolanya merah, bola tersebut hanya menolak warna merah dari cahaya tampak dan warna merah yang dipantulkan ini yang mata kita tangkap. Sampai sini paham?"

Mataku melirik-lirik sekilas pada mereka. Yume, masih terbengong kencang dengan dahi mengerucut dan mulut monyong.

Tatsuya mendorong kacamatanya naik ke pangkal hidung, berujar. "Maksudnya, Takasaki-san sekarang membuka pintu itu pada dunia." Tatsuya ikut menjawab, tampaknya dia paham perkataan Hyūga. "Ibarat seseorang hikikomori yang mengurung diri di dalam kamarnya. Seberapa pun dia mencoba untuk melihat sekelilingnya, warna dunianya pasti gulita karena di ruangan itu tidak ada cahaya. Yang dibutuhkan oleh orang itu adalah membiarkan cahaya masuk lewat jendela atau pintu. Dengan begitu, cahaya ini akan diserap dan dipantulkan objek sekitar orang itu. Yang mana, menyebabkan dunianya menjadi memiliki warna selain hitam." Tatsuya menarik napas dalam. "Dalam kasus Takasaki-san, dia sudah membuka pintu itu. Mungkin begitu maksud Akari."

Terdengar lamat-lamat sahutan anak-anak laki-laki di sisi lain kawat. Di lapangan sepak bola, dekat gawang, tujuh siswa tampak berseru gembira setelah mencetak gol. Asami mengambil langkah ke kiri. Berjongkok sedikit untuk menyirami tomat ceri di ujung dekat wastafel. Sementaranya, Kaori mengambil ruang kosong yang ditinggalkan Asami di sebelahku. Melipat roknya agar kakinya tidak terlihat, kemudian berjongkok dekatku.

"Kalau begini, artinya setiap indra Takasaki-san yang hilang, harus ada pemicu tertentu untuk bisa membawa indra itu kembali," ucap Kaori. "Kita tahu kalau penglihatan soal warna kembali ketika membuka pandangan. Pandangan berkaitan dengan mata. Kalau indra perasa, mungkin sesuatu yang berkaitan dengan sebuah rasa?"

Hyūga mengangguk setuju. Matanya terlihat seolah sudah selesai menerawang setiap kemungkinan pemicu indraku kembali. Entah sudah menemukannya atau belum di antara semua kemungkinan itu, Hyūga, gadis itu melamun cukup kencang.

"Misalnya, rasa asin pedas? Begitu maksudmu?" tanya Yume agak dongkol. Punggung tangannya menyeka kening yang berpeluh. "Ahhh, panasnya. Musim panas kali ini kelewatan panas! Aku tidak bisa berpikir jernih!"

"Misalnya saja rasa senang ketika melihat tanaman yang kita tanam tumbuh ceria," timpal Kaori, tersenyum tipis pada tomat ceri di tangannya.

"Atau rasa takut dimarahi guru karena menjatuhkan kuisioner karir masa depan di kolam renang," celetuk Hyūga tiba-tiba.

"Kalau itu dirimu saja Akari," ujar Yume kasar. Menimpuk pelan kepala Hyūga dengan bokong gembor.

Gadis itu mengusap kepala, berujar. "Kelihatannya, Ruri tidak senang mendengarnya," Hyūga, nada suaranya turun setengah oktaf. Dia sepertinya memerhatikanku sedari tadi.

Kini semua orang menatap ke arahku.

Senang kok. Aku senang.

"Bohongmu payah sekali. Orang macam mana yang ketika senang malah cemberut mampir di wajahnya?" Hyūga makin mencondongkan tubuhnya padaku.

Aku memang senang mendengarnya. Ada harapan indera pendengaranku kembaliTapi.

Dia mendekatkan wajahnya itu. "Tapi?"

Ibuku. Aku memikirkan Ibuku. Belakangan ini Ibu makin jarang pulang. Sekalinya pulang pun, dia tampak begitu tersiksa. Aku ingin membantunya, tapi tidak tahu harus bagaimana. Ketika aku coba menyisihkan uang jajanku untuknya, Ibu menolak. Dia malah bekerja lebih keras hingga mengambil tiga pekerjaan berbeda.

Tentu saja kata-kata itu tidak mungkin keluar. Dibicarakan lewat kata-kata saja mustahil, lebih mustahil lagi bila dibicarakan lewat isyarat. Aku tidak mampu.

Di bawah langit hampir tidak ada awan ini, lima orang itu berpikir keras mengenai jawabanku yang tidak kunjung muncul. Ketika tiba-tiba dengan kencang sebuah kelebat putih mengarah lurus. Lalu BRAK!!! Terdengar keras suara bola sepak yang membentur kawat pembatas lapangan di hadapanku.

Aku terlonjak kaget. Meski bola itu tidak mengenaiku, hanya mengenai kawat pembatas, aku tetap terkejut karena bola itu melenting cepat lurus ke arahku. Seperti hendak mengenai mataku.

"Hey, hati-hati dong!" seru Yume sebal pada anak laki-laki yang berlari kecil kemari.

Rupanya laki-laki itu Maehara. Dengan setelan seragam musim panasnya.

Maehara membungkuk. Meminta maaf pada Yume. Lalu dia menatapku. Pandangan kami bertemu.

Maaf, aku tidak berniat melakukannya. Ucapnya lewat isyarat.

Aku menggeleng. Dan berkata bahwa aku baik-baik saja. Maehara pun membalas dengan kata.

Syukurlah.

Aku mengangguk singkat.

Kemudian cowok itu membungkuk lagi lalu bergegas pergi kembali pada teman-temannya.

Sosoknya berkelebat cepat berbaur dengan bayangan sosok anak laki-laki lain. Ketika itu, aku berjongkok, hendak kembali pada tugas berkebun ini. Namun, Hyūga, dan anggota lain Klub Filmaker melihatku dengan tatapan aneh.

Ada apa? Tanganku bergerak di udara. "A..pa?" Ulangku lewat suara, menegaskan maksudku pada mereka.

Kilau cahaya mengerjap menyeka mataku. Asami bangkit. Bergumam pada kamera di tangannya. "Sebuah, rasa," kata gadis kucir kuda tanpa ekspresi itu. "Sebuah rasa tertentu, yang, bisa, membuka hati, seorang Takasaki-san, kira-kira, apa?" katanya pada langit dengan ritmis agak laun unik khas yang hanya dimiliki Watanabe Asami. Gadis kucir kuda tanpa ekspresi itu.

Pertanyaan Asami tadi mengheningkan suasana.

Ajaibnya, anggota lain mengangguk bersamaan mendengar ucapan Asami.

Aku barulah paham maksud dari tatapan mereka. Tepat pada siang hari keesokan harinya. Pada jeda istirahat kedua, Hyūga menuntunku menuju lapangan sepak bola. Dia mendorongku turun ke lapangan. Dengan setengah enggan, aku terpaksa berdiri di tepi lapang.

"Dengar, ya, rencananya Ruri harus bicara dengan Maehara." Telunjuknya berada tepat di depan hidungku. "Ingat, ini bukan sekedar saling tukar pertanyaan dan jawaban atau sejenisnya. Ruri harus benar-benar mengingat setiap rasa yang muncul di dalam hati Ruri ketika berbicara dengannya. Cobalah pahami tiap perasaan yang muncul itu. Mengerti?"

"Pertanyaan tidak diperbolehkan," tambah Yume di samping.

Meski banyak pertanyaan dalam benakku, aku mengangguk saja.

"Bila perlu bantuan, tinggal lirik saja ke bangku penonton di situ, Hyūga-san akan memberikan kode-kode," ucap Kaori, menambahkan.

Kemudian lah, aku melangkah menuju bangku penonton. Di mana di sana banyak anak perempuan dari kelas sebelah sedang menonton tim Maehara bertanding. Aku mengambil posisi duduk paling menyendiri dekat pintu masuk lapangan sepak bola. Tujuannya supaya dapat melihat kode-kode yang dibuat oleh Hyūga dan kawan-kawannya.

Ini adalah rencana Hyūga dan Klub Filmaker untuk mengembalikan indraku yang hilang dengan cara memicu sebuah rasa dalam hatiku dalam upaya mampu membuat indraku kembali. Meski hanya hipotesa, namun rencana itu layak dicoba. Maka disinilah aku berada. Menunggu momen yang tepat untuk berbicara dengan Maehara.

Momen itu datang secepat lampu menyala mati ketika saklar dihubungkan dan diputuskan. Terlalu sekejap mata. Bola sepak menggelinding dekat mata kakiku.

Maehara mengambil bolanya. Tapi dia tidak kembali ke lapangan. Dia melemparkan bola itu ke lapangan, berseru sesuatu pada teman-temannya sesuatu, setelahnya duduk di sebelahku sembari mengistirahatkan kakinya.

Permainanmu keren. Kata-kata itu lah yang bisa kusampaikan. Entah kenapa aku tidak bisa memikirkan kata-kata lain.

Tidak sekeren itu kok.

Sungguh, itu keren kok, Maehara bisa melewati tiga pemain dengan mudah.

Lihat selengkapnya