A Missing Piece of Harmony

Ripley
Chapter #11

[驚く] Odoroku/Ketakutan

Pintu geser menutup di belakangku. Aku melangkah menghampiri wanita yang tersenyum hangat padahal dia sedang terkulai lemah di atas ranjang. Aku tidak mampu berpikir jernih, detak jantungku berdebar kencang dan peluh masih membasahi kening dan pelipisku, yang bisa kulakukan hanya tersenyum paksa.

Selamat pagi. Kataku tanpa suara. Menebar senyum lalu menempelkan pipi di tepi ranjang.

Selamat pagi. Bagaimana sekolahmu? Klub Filmakernya bagaimana? Apakah seru?

Punggungku bangkit. Aku berucap lewat isyarat. Judulnya Klub Filmaker, tapi isinya berkebun dan membaca buku. Agak membosankan, tapi aku menikmatinya.

Ibu bisa melihatnya di wajahmu. Senyum biasa tapi berbeda rasa. Kata Ibu lewat isyarat, yang mana diikuti batuk-batuk.

Ibu harus istirahat. Jangan memaksakan diri.

Tidak perlu khawatir, Ibu akan baik-baik saja. Tidak perlu waktu lama kok. Ibu bisa kembali bekerja lagi dan memasakkan sarapan untuk Ruri. Katanya menggunakan isyarat.

Aku menggeleng. Tidak perlu memikirkanku. Pikirkan dirimu dulu. Tanganku bergerak cepat di udara. Dan aku tidak tahu lagi ekspresi wajahku seperti apa sekarang, memberesut aneh atau muram kelam. Jantungku masih berdebar agak kencang.

Iya, Ruri sayang. Wanita itu hanya tersenyum. Dan mengusap pipiku; debar jantungku melemah. Ibu menolehkan pandang ke arah lain. "Kau temannya Ruri?"

"Hyūga Akari, rekan Ruri di Klub Filmaker. Ya aku temannya Ruri."

"Syukurlah," lirih Ibu memejam. Dengan nada yang entah mengapa menunjukkan kelegaan di dalamnya.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Hanya mampu berdiam diri. Memandang wajah hangat itu dan merasakan belaian tangannya di pipiku. Kehangatan yang sama seperti waktu itu.

Sebuah kehangatan yang ada saat-saat kami masih bertiga. Aku, Ibu, dan Ayah. Di tempat yang kusebut sebagai rumah. Sesuatu, yang sekarang tidak mungkin ada.

Terdengar derak suara pintu geser yang terbuka. Membuat jiwaku kembali ke rumah sakit. Bertepatan dengannya, seorang pria memasuki kamar. Parasnya sangat asing. Baju rapih dengan jas gelap di atas kemeja putih berdasi, rambut cepak, ditambah di tangannya terdapat bungkusan besar.

Pria itu melirik ke arahku. Alisnya bertaut. Lalu, tangannya bergerak lambat di udara, membentuk sebuah kalimat terpatah dalam isyarat.

Boleh aku bicara dengan ibumu sebentar? Kata pria itu lagi dengan isyarat.

Beberapa saat kekosongan mengisi. Aku diam saja. Berpikir. Sambil melirik, pria itu dan Ibu secara bergantian. Kemudian mengangguk lagi.

Aku pun bangkit. Membungkuk kecil lalu melangkah pergi. Hyūga mengikutiku dari belakang.

Pintu geser menutup di belakang kami. Berderak halus. Kami pun melenggang pergi. Tapi, aku sempat mendengar samar suara di balik pintu geser ini. Suara Ibu dan suara seorang pria tengah berbicara. Samar seperti suara dalam air

"Kau ingin aku dekat dengannya?"

"Dia sudah terlalu banyak menderita di dunia ini. Aku ikut serta dalam kesedihannya. Jadi aku ingin Ruri bisa menikmati masa SMA-nya. Jaga Ruri, ya, Hiro-kun."

🌸🌸🌸🌸🌸

Terdengar suara denting piano bergaung di atas permukaan air. Nada-nada yang dihasilkan sang pianis terasa hidup. Namun, hidup bukan berarti baik. Nada-nadanya ini hidup untuk memberikan sebuah kesedihan yang dibalut kesenangan. Aneh, tapi nyata. Merabai jiwaku dalam balutan kisah duka lara penuh kepalsuan. Keajaiban kunci mayor yang dimainkan sedemikian rupa sehingga terdengar sedih.

Aku pun bangkit, menoleh ke arah sumber suara.

"Apa aku bilang? Kau hanya orang bodoh. Mengikuti sesuatu yang hanya menyakitimu. Daripada buang-buang waktu main piano, kau seharusnya bisa membantu Ibu." Dia menghela napas, kemudian melanjutkan kata-katanya sambil bermain piano. "Selain untuk menekan tuts piano, kedua tanganmu payah dan tidak berguna sama sekali."

Bayangan rembulan bersinar putih di permukaan air tempat kedua kakiku menapak. Permukaan air ini menggema laun mengikuti irama lagu. Menyebabkan wajahku di permukaan membuyar bergelombang.

"Kau benar, aku seharusnya mendengarkanmu."

Gadis itu mengabaikanku. Sibuk berpiano.

"Sekarang aku harus apa?"

Gadis itu tiba-tiba mengobrak-obrak nada rendah dan tinggi kencang bersamaan. Terkekeh. Tercipta efek suara menegangkan sesaat. Berpianonya selesai. Dia menoleh.

"Di dalam dunia, masing-masing orang memiliki peran sendiri. Tidak mungkin semua orang bisa menjadi arsitek karena kita juga membutuhkan pedangang dan petani untuk menompang roda kehidupan. Maka dari itu, sebagai orang yang tidak bisa mendengar, lakukanlah peranmu sebagai orang yang tidak bisa mendengar."

"Peran orang yang tidak mampu mendengar?"

"Berhenti main piano. Piano tidak ada gunanya lagi bagimu yang tuli. Piano tidak pernah berbohong. Dia tidak membutuhkanmu lagi, begitu pula dirimu. Lebih baik gunakan waktumu itu untuk bisa berguna pada yang lain."

Berguna pada yang lain, ya?

Benar juga, sejak kapan aku pernah berguna? Ayah, Ibu, tidak pernah tersenyum lagi saat itu karena aku. Mereka bahkan berpisah. Karena aku.

Sesuatu menimpa kepalaku. Mimpi itu terputus. Aku terlonjak bangun. Lagi-lagi, aku terbangun di dalam kelas. Dimarahi oleh guru baru itu lagi. Reiko-sensei.

Setelah pelajaran, tolong temui saya di ruang konseling.

Aku pun meminta maaf dengan benar. Lalu, duduk kembali di bangkuku.

Kelas dimulai lagi. Kali ini aku memusatkan perhatian pada catatan Okuda yang sengaja dia tuliskan untukku paham apa yang dibicarakan Reiko-sensei dan pada Reiko-sensei yang menulis di papan tulis. Meski aku lebih serius untuk belajar sekarang, namun pikiranku tidak mau terpusat ke dalam kelas ini.

Kata-kata gadis pianis itu sangatlah jahat. Tapi, aku tahu kata-katanya mengandung kebenaran. Paling tidak separuhnya. Yang artinya, aku harus hidup dalam peranku yang seharusnya. Sebagai orang cacat.

Aku benci ini.

Okuda berhenti menggoret pena di kertas. Mengangsurkan bukunya.

Kamu tidak apa-apa?

Tertulis miring di pojok bawah halaman buku.

Tidak apa-apa. Jawabku di pojok seberangnya.

Seusai kelas, aku terpaksa berjumpa lagi dengan guru baru itu di ruang konseling. Dia sudah menungguku sambil meminum teh. Aku menghampirinya.

Dia tersenyum padaku, menaruh cangkir kosongnya di meja. Punggungnya berdiri.

Kamu kelihatan kesulitan fokus di kelas.

Aku menangguk.

Lihat selengkapnya