Yume
[Bagaimana persiapan tesnya?]
Hyūga
[Tidak perlu belajar, aku sudah pintar kok]
Kaori
[Aku cukup percaya diri, aku bisa mencapai nilai minimum]
Asami
[Seru, sekali, Ketua]
Yume
[Bagus, itu yang ingin kudengar. Karena aku punya pengumuman penting.]
[Seharusnya aku katakan ini pada pertemuan terakhir sebelum ekskul diliburkan tapi banyak orang tidak datang hari itu. Maka akan kukatakan secara singkat saja sekarang. Si cowok tercinta klub kita sudah menyelesaikan naskahnya. Jadi aku berencana mengadakan camp musim panas khusus Klub Filmaker dalam rangka mempersiapkan film pendek untuk bunkasai nanti. Oleh karena itu kalian semua, wajib lulus ujian. Supaya bisa mengikuti kegiatan dengan optimal.]
[@Hyūga Teruntuk Bakaari Tersayang: Jangan mentang-mentang merasa tidak punya masa depan jadi bisa bertingkah seenaknya! Belajarlah dengan benar! Jangan merepotkan orang lain!]
Hyūga
[Okeeeeeee.... Nenek lampir!]
Yume
[(Stiker menendang)]
[Satu hal lagi, Ruriko tidak pernah membalas pesanku, jadi siapa saja tolong sampaikan padanya untuk melatih tenggorokkannya. Dia harus bersuara karena memiliki peran—]
Aku seketika menangkupkan ponselku di atas meja. Lalu menurunkan pundak, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tanganku di atas meja. Memandangi cahaya mengerjap samar berasal dari layar ponselku yang menelungkup.
Wajahmu imut mirip emotikon...
Lagi-lagi kertas bergaris itu menghalangi pandanganku. Aku menegakkan punggung, bangkit duduk. Melihat sosok Okuda duduk di bangku kosong depanku.
Kemarin-kemarin, wajahmu terasa dingin. Lalu beberapa hari berikutnya, sering tersenyum pada langit. Esok hari setelahnya, kau tertawa tanpa suara. Kemudian beberapa hari setelah hari itu, wajahmu lebih kelam dari masa depan dunia.
Masa depan dunia lebih seram dariku.
Okuda menarik kertas bergaris tadi, menuliskan sesuatu di sana lalu menunjukkannya padaku.
Ada apa Ruri?
Aku merebut kertas itu darinya, ikut menuliskan jawabanku di bawah pertanyaan Okuda. Tidak apa.
Begitu seterusnya, percakapan lewat kertas ini saling bertumpuk dalam baris vertikal.
Maaf soal ibumu. Tulis Okuda.
Tidak apa. Bukan salahmu.
Bagaimana kondisinya sekarang?
Dokter bilang, Ibu bisa keluar rumah sakit satu minggu lagi.
Benarkah? Syukurlah...
Benar kan aku bilang, tidak apa-apa. Tidak perlu memikirkanku. Tulisku yang mana di akhir kalimatnya aku sisipkan emotikon tersenyum.
Masa? Padahal sebelumnya Ruri sudah bisa menjadi seperti gadis pada umumnya. Sekarang malah kembali membuat dinding. Aku tidak tahu apa yang orang jenius sepertimu pikirkan.
Kertas hampir habis. Aku pun membalikkan selembar kertas itu, supaya bisa menulis di ruang kosong di belakang.
Tidak, apa, apa...
Apakah karena ujian sudah dekat?
Tidak... Apa...apa... kok...
Kebanyakan orang yang bilang tidak apa, justru memiliki masalah.
Sungguh
Ruri bisa katakan padaku apa yang Ruri pikirkan. Aku mungkin bisa membantu Ruri.
Tidak ada apa-apa kok. SUNGGUH OKUDA.
Yakin? Kalau begitu senyumlah yang benar dan tunjukkan padaku.
Okuda menantikan reaksi wajahku. Dia tampaknya menantikan senyumku. Aku yakin dia menantikanku menaikkan paksa sudut bibir dengan jari telunjuk dan tengah seperti yang lalu. Setelahnya, dia pasti berkata kalau senyum yang sesungguhnya bukanlah yang seperti itu lalu memperbaiki senyumku.
Aku pun menuliskan jawabanku menyamping karena lembaran kertas hampir penuh. Lalu mengangsurkan kertas itu pada Okuda.
Sungguh, Okuda. Hitung saja sendiri seberapa banyak jawaban serupa sudah kutulis.
Okuda memutar kertasnya, mendesah. Membaca cukup lama, baru mulai menulis lagi. Kali ini pada lembar kertas baru yang dia sobek dari buku catatannya.
Kertas catatan itu kembali padaku.
Kalau sulit diungkapkan lewat kata-kata, bagaimana kalau diungkapkan lewat lagu? Sebagaimana yang dulu Ruri lakukan. Lagumu itu yang membuat kita lebih dekat.
Aku diam, mengatupkan mulut. Membaca kalimat terakhirnya berulang-ulang dalam benak.
Memang benar, dulu aku pernah membuat lagu original untuk Okuda. Hubunganku dulu dengan Okuda tidak seperti ini. Dia pernah marah besar padaku karena mengambil bagiannya bermain biola di grup orkestra prefektur. Apa kamu menghinaku? Padahal kamu mainnya piano, mengapa mengambil jatah pemain biola? Begitu katanya padaku sambil melemparkan biolanya ke lantai. Dia tidak terima ketika seorang pianis malah mengisi posisi pemain biola. Karenanya kami sempat tidak berbicara satu sama lain. Yang membuat kami berbaikan adalah lagu yang kubuat.
Tiba-tiba, sesuatu terbersit dalam benakku.
Sementaranya, kertas itu bergeser lagi kepada Okuda. Wajah Okuda tampak lebih cerah ketika menarik kertas itu. Dia tersenyum jumawa. Rasanya, seakan-akan dia baru memenangkan sebuah pertarungan.
Kertas itu kembali padaku.
Orang jenius, punya cara unik tersendiri untuk mengungkapkan perasaan mereka. Benar 'kan, Ruri?
Okuda tersenyum penuh kemenangan. Mendapatiku berdiam diri saja selama beberapa saat.
Aku menantikan lagu-lagumu yang baru. Ucapnya lewat isyarat. Tersenyum padaku.
Lagu. Ya... lagu. Mungkin aku sangat tidak berguna dalam hidup ini hingga segala sesuatu tidak bisa kulakukan sendiri. Rasanya seolah aku adalah beban masyarakat. Dan peran semacam itu yang harus aku lakukan. Namun, aku rupanya bisa melakukan sesuatu. Meskipun nada-nada yang kumainkan pada akhirnya akan merusak juga. Tapi lewat nada-nada inilah aku bisa melakukan sesuatu.
Jam pelajaran terakhir telah usai, aku tidak mau membuang waktuku di sekolah, aku lekas pulang untuk menghindari orang-orang. Ketikanya, Hyūga sudah mengantisipasi tindakanku ini dengan menungguku di depan loker. Lengkap dengan tas gitar menggantung di punggungnya.
"Ruri, lama tidak berjumpa, tampilanmu sedikit berbeda tanpa blazer itu."
Aku membuka loker, mengganti sepatu dalam ruangan dengan sepatu luar ruangan. Baru tiga hari berlalu.
"Tiga hari namun terasa amat lama," ucap Hyuya, membuntutiku dari belakang. "Hari ini main musik yuk?"
Ujian sebentar lagi. Aku harus belajar. Kau juga harus belajar. Maaf lain kali. Aku membungkuk, lalu melenggang pergi.
"Aku sudah belajar kok, tenang saja." Gadis itu memberi cengir aneh.
Kualihkan tatapanku darinya kemudian lanjut berjalan.
Hyūga dengan gesit berdiri di depanku lagi. Menghalangiku keluar kompleks sekolah.
"Ada apa Ruri?"
"Tidak ada."
"Rupanya, Ruri membaca pesan dari Yume. Kau berbicara sekarang."
Pandanganku beralih. Aku menggerakkan kakiku lebih cepat menuruni tanjakan curam. Tugu sekolah menengah atas Minamigoto jauh tertinggal di belakangku sekarang. Namun Hyūga masih keras kepala mengikutiku.
"Tentang cowok itu, apa jawabanmu?" ucap Hyūga sambil terengah.. Beberapa siswa yang kebetulan lewat, menoleh pada kami berdua. Berbisik sesuatu. Tapi mereka segera lanjut berlalu. "Maaf, aku tidak sengaja membacanya, karena surat itu tergeletak di lantai ketika aku hendak menyapamu."
Langkahku terdengar bergaung. Lemah dan mulai terasa seperti berada dalam air. Rambat gelombang suaranya berbeda. Suara yang dihasilkan Hyūga tadi terasa berbeda.
Aku menoleh ke balik bahu. Hyūga tampak kelelahan. Dalam posisi badan atasnya setengah bertumpu pada kedua lutut.
"Kau...tidaaak....apppaa....apa? (Kau tidak apa-apa?)"
"Tidak, tidak apa-apa." Sebelah tangannya bertumpu pada lutut. Sebelah tangannya lagi mencengkram erat dadanya. "Aku hanya perlu bernapas dengan benar, sulit menyamai irama langkahmu yang tergesa-gesa."
Aku melangkah menghampirinya. Membantunya bangkit.
"Kita bicara di tempat yang sejuk, yuk!" katanya, senyum lebar-lebar dengan mata menyipit sempurna. "Aku akan ceritakan semuanya."
🌸🌸🌸🌸🌸