Karena kejadian di meja makan itu, Ibu jadi mengetahui kondisiku yang sesungguhnya. Bahwasanya aku bukan hanya tidak bisa mendengar, melainkan juga tidak bisa merasakan makanan, tidak bisa berbicara, dan mataku tak bisa melihat warna. Ibu mendengarkan ceritaku tanpa mengedip sekalipun. Mirip patung. Benar-benar mirip patung. Beliau mendengarkan semuanya, termasuk tentang gadis bernama Hyūga Akari.
Selang beberapa saat hening berdengung itu, Ibu merangkul pundakku dengan tangan hangatnya. Erat sekali mendekapku. Pasti beliau sedang bercucuran air mata sambil berkata padaku dengan lirih, "Maafkan Ibu, Ibu tidak menyadarinya."
Pada hari penutupan caturwulan pertama, Ibu sengaja mengambil cuti lagi. Dia bersikeras ingin menemaniku. Dan sekarang kami di sini, di salah satu rumah sakit terbesar di Kota Nagasaki.
Penjelasan dokter selesai. Pria sepuh itu berhenti menggores pulpennya pada catatan kesehatanku sambil menunjukkan raut wajah cerah.
Ibu pun menatapku penuh perhatian, berkata lewat isyarat.
Berita baik Ruri. Kata dokter, bagian otak yang mengalami kerusakan bisa disembuhkan. Secara ajaib bagian-bagian sel yang terputus terhubung kembali. Dokter bilang ada kemungkinan semua indra milik Ruri kembali. Sebuah keajaiban yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Begitu kata Ibu sambil tersenyum bahagia.
Tanganku bergerak di udara. Aku senang.
Alasan pasti mengapa indraku bisa kembali, dokter tidak bisa menjelaskan. Dia hanya bisa bilang sesuatu sedang terjadi di dalam sistem saraf yang menyebabkan neuron yang mati kembali hidup. Sesuatu apanya, dokter ini tidak tahu menahu.