A Missing Piece of Harmony

Ripley
Chapter #14

[この場所の響き] Kono Basho no Hibiki/Gema Kota Ini

Semilir angin menyibak rambut sang gadis ke arah samping. Berkibar indah rambutnya itu mengikut irama angin. Damai dan tenang mengiasi wajah sang gadis di hadapanku itu, menghiasi wajah yang cantiknya bagaikan seorang dewi. Dia tersenyum kepada sang bumi, mengulurkan tangan keluar jendela untuk menyambut aliran angin yang menuju tenggara itu.

“Anginnya bergerak tergesa-gesa, kira-kira apa yang membuatnya seperti itu ya?” ucap Ayase pada mereka, menoleh. “Hei, Miyuki, menurutmu apakah angin ini pertanda dunia sebentar lagi tamat?”

“Ini cumanlah angin biasa. Musiman, bulan September selalu berangin,” kataku datar pada buku catatan. Pena berhenti menggoret, halaman buku membalik.

“Umm, ya, kah?” Ayase mengambil jeda, memperbaiki ikatan kepang Perancis nya yang agak kendur. “Kalau memang angin ini karena bulan September, aku berharap yang dibawa oleh mereka adalah sesuatu yang besar. Sesuatu, yang baik untuk dunia di masa depan. Miyuki, apa yang kau dari dirimu di masa depan nanti?”

Halaman buku kembali dibalik. Ujung pena menyorong ke baris pertama. “Cuman pekerja kantoran biasa, seseorang salarywoman yang tinggal di apartemen kecil berukuran 4x4 di Tokyo. Sendirian menjelang akhir hayat. Tidak ada lagi diriku yang lain di masa depan selain dia.”

“Benar-benar tidak ada?”

“Benar-benar tidak ada,” jawabku cepat.

“Kenapa?”

“Kenapa?” Pena berhenti di hadapan Mr. X dan Mr. Y, mengetuk-ngetuk. “Kita sedang berada di atas geladak kapal Titanic yang mau karam. Apa yang engkau harapkan dari kapal yang sebentar lagi tenggelam? Memangnya Apa yang kamu harapkan dari negara yang sebentar lagi tamat seperti kapal Titanic ini?”

“Sesuatu yang romantis, sesuatu yang lucu, atau akhir yang bahagia untuk semua orang seperti kapal yang tidak jadi tenggelam.”

“Itu mustahil. Tidak ada harapan bagi penumpang kapal Titanic maupun penduduk negara ini.” 

Aku mengetuk-ngetukkan ujung pena ke halaman buku. Berpikir. Dalam jeda beberapa saat. Ketika itulah, buku catatan itu meluncur dari mejaku, mengudara.

“Hiyap!!!” Gadis itu menarik buku catatan itu ke udara. “Tentu saja tidak memiliki harapan, karena orang-orang sepertimu terlalu percaya pada angka di atas kertas.” Tersenyum, gadis bernama Ayase itu tersenyum.

“Ayase-san! Berhentilah menggangguku!” Tanganku mencoba meraih buku itu, tapi buku itu menjauhkan diri dari tanganku. Seolah ingin menghindariku. 

“Kau mau ini kembali? Rebut dari tanganku kalau begitu, Miyuki-chan!”

“Kau selalu curang, Ayase-san.”

Kami berdiri berhadap-hadapan. Mata ke mata. Berusaha menerobos jendela jiwa yang saling tertutup satu sama lain. Jendela jiwa gadis itu, benar-benar aneh. Berkilau. Berbinar. Bersinar. Sungguh menyilaukan pandanganku. Gadis itu pun menyembunyikan buku itu ke balik punggung, menyeringai licik seolah baru mengetahui sesuatu yang tidak mampu aku ketahui.

“Benarkah?” kilahnya, menebarkan senyuman yang tidak mampu aku lupakan. Senyuman usil penuh harapan.

“CUT!CUT!”

Lantang terdengar sahutan seorang anak laki-laki di sampingku. Diikuti suara desah lega dari Hyūga

“Akhirnya selesai juga. ” Hyūga berketus di depanku.

Langkah kaki berdetap kemari. Kaori datang membawakan sebotol minuman. “Kerja bagus, Akari, Takasaki-san.” menyodorkan botol minuman itu, “silahkan.”

Aku mengangguk, merebut botol minum itu. “Terima kasih,” menghabiskan isinya dengan beringas dalam satu kali tegak.

Hyūga memandangku penuh perhatian. Alisnya menekuk. “Ruri, kau menghabiskannya.”

Maaf, tenggorokkanku benar-benar panas, kataku lewat isyarat. Ditanggappi oleh Hyūga dengan tatapan sebal. Untungnya Kaori datang lagi membawakan sebotol minuman lain untuk Hyūga.

Shooting film pendek hari ini selesai setelah. Cukup lama dibandingkan hari-hari kemarin lalu. Tujuh adegan. Lihat, tenggorokkanku seperti mau terbakar karenanya. Terasa seperti ada lahar berapi-api tinggal di sana. Melelehkan tenggorokkanku dari dalam.

Memang, selama camp pelatihan musim panas lalu aku sudah melatih tenggorokkanku supaya bisa berbicara dengan benar seperti orang normal. Pelatihan ekstra itu berhasil. Aku berhasil melakukannya. Suaraku sudah kembali seperti semula ketika berada dekat Hyūga. Namun tetap saja, ketika terlalu dipaksakan untuk bersuara, hasilnya akan seperti dulu. Suaraku. Patah-patah. Serak dan tenggorokkanku menjadi panas. Beruntungnya, tinggal bersisa beberapa adegan lagi untuk film pendek ini masuk ke tahap penyuntingan.

Film pendek yang klub kami garap ini berjudul “Ayase dan Miyuki.”. Film pendek yang mengisahkan persahabatan yang berbeda kehidupan. Terdapat dua tokoh utama. Gadis bernama Miyuki yang diperankan olehku, seorang gadis dari keluarga kaya raya tapi keluarganya terlalu ketat hingga membuat Miyuki kehilangan masa kecilnya. Miyuki harus rela tidak melihat matahari hanya untuk mendekam di dalam kamar demi belajar. Sementara gadis kedua bernama Ayase, gadis yang periang dan ceria. Gadis ini bertolak belakang dengan Miyuki. Ayase tidak memiliki masa depan cerah, nilai akademiknya terlalu anjlok dan dia berada dari ekonomi kelas bawah. Namun Ayase hidup bahagia dan bebas menjadi apa yang dia inginkan. Kemewahan yang tidak dimiliki Miyuki.

Kedua sahabat ini saling berbagi kisah dunia masing-masing. Tentang, bagaimana dunia di mata mereka berdua. Mereka saling melengkapi satu sama lain dari sudut pandang berbeda. Hingga satu waktu, kursi Ayase di kelas kosong. Ayase dirawat ke rumah sakit. Rupanya Ayase sejak kecil mempunyai penyakit degeneratif langka yang membuat ototnya melemah hingga tidak bisa berjalan dan melakukan apa-apa. Dengan demikian sisa waktu Ayase tidak lama lagi. Ayase meninggal di usianya yang genap 18 tahun sebelum kelulusan SMA.

Miyuki sekarang sendirian. Namun dia mengerti arti dari kehidupan. Terimakasih berkat, dunia cerah yang ditinggalkan Ayase untuknya.

Ini kisah mengangkat tema kehidupan dan kematian. Bagaimana bila seorang yang ingin hidup dan seseorang yang ingin mati bertemu. Ayase dan Miyuki. Terang, dan gelap. Cahaya, dan bayangan. Harapan, dan keputusasaan.

Cerita ini membuat bulu kudukku berdiri. Aku bisa mengerti kesulitan tokoh utama. Karena aku merasakan apa yang Miyuki rasakan. Kehampaan. Kekosongan dalam raga karena terdapat sebuah lubang hitam dalam dada. Namun bagiku, kehampaan ini adalah kehampaan sesungguhnya bukan secara harfiah. Tanpa warna, tanpa rasa, dan tanpa suara.

Tatsuya memang hebat ya, bisa menulis cerita seperti ini.

Aku sedang mengemas barang-barangku ketika tiba-tiba Yume menyuarakan satu tepukan tangan keras menggelegar. Semua perhatian tertuju padanya seketika.

“Terima kasih atas kerja keras kalian. Dengan begini film pendeknya akan selesai tepat waktu untuk bunkasai nanti. Terima kasih.”

“Kalian harus mentraktirku kapan-kapan. Susah tahu melatih Ruri berbicara!” ketus Hyūga di sampingku.

Sedikit naik pitam, Yume membalas. “Kebalik dong! Seharusnya kaulah yang mentraktir kami!”

Tatsuya datang menyela, muncul di antara mereka. “Sudah, sudah, jaga energi kalian. Bukan cuman film pendek ini saja yang jadi kerjaan kita. Kita juga harus bertugas jadi dokumenter acara. Taiikusai sebentar lagi.”

Taiikusai, ya? Benar juga, sekarang bulan September. Waktu memang cepat berlalu, tidak peduli seberapa keras kalian mencoba menolaknya, dia tidak kenal ampun. Tanpa pandang bulu pula. Terhitung dengan hari ini, sudah setengah tahun berlalu sejak aku pertama kali bertemu Hyūga Akari. Setengah tahun yang penuh ‘keajaiban’. Terutama tiga bulan terakhir, dimulai sejak musim panas. Banyak ‘keajaiban’ yang telah terjadi di pulau ini.

Yang pertama adalah gadis itu. Hubungan kami kembali normal seperti biasa setelah konser solo pianoku. Sejak saat itu Hyūga memotong rambut panjangnya sampai tinggal sedada. Dia mengubah gaya rambutnya. Berat badannya menurun beberapa kilo. Pipinya jadi lebih kurus dan tirus. Dan warna kulitnya, makin terlihat putih pucat. Seperti artis. Bisa dikatakan kalau kakak kelasku ini makin cantik dengan penampilannya yang baru. Anggun, seperti Dewi Athena. Berdiri di hadapan umat manusia, memberikan kebaikan juga harapan.

Berikutnya adalah kota ini. Kota ini. Sama namun berbeda, berbeda namun sama. Kota ini memang masih bernama Minamigoto. Sebuah kota pelabuhan kecil di kepulauan Nagasaki. Penduduknya berjumlah 15.000 jiwa. Semua tidak ada bedanya dari tahun lalu. Tampak dari luar dalam, tempat ini sama persis. Yang membedakan adalah ‘suara’ kotanya. Tempat ini, memiliki ‘suara’ yang berbeda. Ungkapan selamat pagi para penduduk lebih kentara kebaikannya. Ragam percakapan lebih menguarkan makna kehidupan. Dengung motor bebek tukang pos tampak lebih bersenda gurau. Dan sinar mentari masih sama cerahnya, tapi radiasi kehidupan yang dia berikan lebih terasa menyenangkan. Aku merasa seolah tidak boleh menyia-nyiakan ‘keajaiban’ ini begitu saja.

Seekor burung gagak terbang di langit dengan sedikit awan. Mengepak laun, berbisik di atas langit.

“Hentikan sepedanya,” ucapku sambil menepuk-nepuk pundak Hyūga.

Hyūga menarik tuas rem kuat-kuat. Sepedanya berhenti di tepi jembatan penghubung. Kakiku menjejak trotoar. Aku buru-buru mengeluarkan buku catatan dari dalam tas. “Buku Catatan Bahasa Bunyi”.

“Ada apa, Ruri?” ujar Hyūga.

“Diam dulu.” 

Sementara burung gagak itu bertengger pada pembatas jembatan sambil mematuk besi, aku menghampirinya lambat-lambat. Sayangnya, suara koaknya seperti bergaung dalam air. Maka terpaksa aku menarik tangan Hyūga mendekat.

Hyūga dengan enggan berjongkok di sebelahku. Mendesah. “Lagi?” 

“Kamu sendiri yang membuat ide ini,” kataku sembari menuliskan bagaimana suara burung gagak berkoak di Buku Catatan Bahasa Bunyi.

Lihat selengkapnya