A Missing Piece of Harmony

Ripley
Chapter #15

[四季の歌] Shikika/Lagu Empat Musim

Jarum panjang sudah menunjuk ke angka sembilan. Kemudian terus bergerak memutar dalam kecepatan angular konstan. Yang, lambat-lambat sekali bergeraknya sehingga membuat atmosfer di meja ini seolah membeku.

Di seberangku, Ayah hanya duduk diam menekuri halaman buku. Aku tidak tahu buku apa yang dibacanya karena sampulnya tidak memiliki judul. Aku rasa yang Ayah baca kemungkinan sesuatu yang terkait dengan pekerjaan. Ayah memang selalu membawa pekerjaannya ke mana-mana.

Tanganku terasa membeku. Entah disebabkan oleh AC di atas kepalaku atau karena isi kepalaku begitu ramai sehingga kedua tanganku kena imbasnya.

Aku harus mengatakan sesuatu.

Dan tentunya, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku bisu, dan tuli. Sementara Ayah, kelihatannya dia tidak bisa bahasa isyarat.

Lembar kertas dibalik. Bola mata Ayah berputar mengikuti rangkaian kata pada halaman baru buku itu. Mengabaikanku dengan wajah netral tanpa emosi itu.

Kenapa baru datang sekarang? Kenapa Ayah meninggalkan Ibu? Apakah Ayah membenciku? Apakah Ayah membenci Ibu?

Beragam kalimat bermunculan. Sementara, yang keluar adalah

Selamat pagi.

Tulisku di lembar buku bergaris. Menunjukkannya pada Ayah.

Dunia pun berdengung dalam air. Ramai namun lemah.

Perhatian pria setengah baya itu kemudian tertuju padaku. Dia mengeluarkan nota kecil dari jasnya. Kami berkomunikasi lewat lembaran kertas.

Selamat pagi... Tapi apakah sekarang cocok disebut selamat pagi?

Ucapan selamat pagi bagiku cocok dikatakan kepada seseorang untuk memulai hari bahkan jika saat itu sudah tidak pagi lagi.

Benar. Kertas itu dia balik. Lalu tulisan berikutnya. Ruri mengingatnya, ya?

Kata-kata ‘selamat pagi’ itu sebetulnya berasal dari Ayah. Ayah biasa mengucapkan pada Ibu selamat pagi dengan nada ceria ketika beberapa hari lembur hingga tidak mampu bertemu. Bukannya berucap ‘saya pulang’, ‘saya kembali’ atau sejenisnya ketika lama tidak berjumpa. Ayah mengatakan ‘selamat pagi’. Karena, baginya ucapan selamat pagi memiliki arti baik untuk memulai lembaran hari baru.

Kedengarannya memang aneh, tapi itu tidak aneh di keluarga kami. Ibu dan aku pun ketularan ucapan ‘selamat paginya’. Hal ini membuatku teringat tentang hari-hari menyenangkan itu.

Secara tidak sengaja, sudut bibirku terangkat walau sedikit. Aku pun mulai menuliskan sesuatu. Lama-lama kubaca ulang karena aku tidak tahu apakah boleh menyampaikannya.

Apakah Ayah membenciku?

Duniaku masih berdengung. Kali ini intensitasnya meningkat drastis. Seolah ada mesin pesawat di telingaku.

Kertas itu hendak aku putar kemudian aku tunjukkan pada Ayah, ketikanya pria bernama Hiro-kun tiba-tiba muncul di meja kami. Juga Ibu yang ada di sampingnya.

Perhatian Ayah terbelah. Dia berbicara pada Ibu. Dan Hiro. Tentang sesuatu yang tidak mungkin aku bisa tahu.

Sementara Ibu dan Hiro-kun tampak berterima kasih padanya, wajah Ayah agak masam. Air mukanya berubah. Dia mendesah lalu memasukkan bukunya ke dalam saku. Kemudian bangkit. Meninggalkan meja ini hingga punggungnya hilang di balik pintu.

Pria bernama Hiro itu berpaling padaku.

Maaf membuatmu menunggu. Katanya lewat isyarat.

Tidak perlu minta maaf, karena aku tidak menunggumu kok.

Kata-kata itu terbesit dalam benakku. Tapi juga kemudian, kata-kata lanjutannya muncul. Sebuah kata-kata yang tidak pernah ingin aku biarkan dalam kepalaku bersinggah berlama-lama. Jangankan dibiarkan berlama-lama, aku tidak pernah mau kata-kata itu muncul dalam benakku.

Tapi kalau terpaksa, aku bakalan menunggumu.

Hatiku mencelus. Bulu kudukku meremang. Tanganku mengepal di atas pangkuan. Aku sadar. Setelah menyaksikan kejadian ini. Kalausanya, kondisi keluargaku tidak mungkin kembali seperti dulu lagi. Aku benci mengakuinya. Bukan lagi Ibu dan Ayah yang harus kutunggu sekarang. Tapi, Ibu dan pria asing ini.

Ruang kosong yang ditinggalkan oleh potongan puzzle yang hilang, sekarang diisikan paksa dengan potongan yang salah. Bentuk, maupun corak gambarnya, tidak sesuai sama sekali.

🌸🌸🌸🌸🌸

Suhu udara mulai merangkak turun perlahan hari demi harinya. Beberapa pohon maple sudah menguning. Dan siswa-siswi mulai mengenakan blazer di atas lapisan kemeja atau blus mereka. Udara yang cocok untuk berkegiatan di luar ruangan.

Sudah memasuki bulan Oktober, semua orang tampak antusias menantikan taikusaii. Semua orang berbondong-bondong ingin ikut serta dalam festival olahraga. Mengikuti keahlian mereka masing-masing di bidang olahraga dalam rangka mendukung kelas. Iya, kecuali aku tentunya. Kepalaku terlalu sibuk memikirkan kejadian di Nagasaki beberapa hari lalu.

Kepingan memori ketika aku mengobrol dengan Ayah menggunakan kertas itu masih terus mengganggu hari-hariku. Dia tidak mau lepas. Bergelantungan dalam tali kenangan, menyahut-nyahut.

Kenapa Ayah datang menemuiku? Apa yang sebenarnya ingin Ayah coba katakan padaku waktu itu?

Ketikanya, pandanganku menerawang lapisan langit di luar jendela hendak mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, sesuatu mencuil bahuku. Aku menoleh.

Jawab saja, ya atau tidak. Kata Okuda lewat isyarat.

Apa ini maksudnya?

Pilih saja, ya, atau tidak?

Okuda mencondongkan badannya ke depan. Begitu pula Yuzuki dan Natsuki. Mata mereka berkilat, memantulkan cahaya harapan. Yang mana menunjukkan dengan gamblang kalau mereka menantikan jawaban dariku.

Kepalaku meneleng. Ya? Mungkin? Ucapku lewat isyarat.

Okuda bangkit berdiri. Gerakannya cepat sekali. Dia mengacungkan sebelah tangan tinggi-tinggi ke langit-langit. Bibirnya bergerak. Dia, mengatakan sesuatu tentang taiikusai. Sisanya aku tidak tahu. Aku masih belajar membaca gerak bibir.

Kemudian Okuda kembali duduk. Memberikanku sebuah senyum kemenangan. Berkata lewat isyarat.

Kita bakalan bertarung bersama. Yoroshikune.

Maksudnya?

Ketika kepalaku masih mencoba memahami maksud dari kalimat itu, teman-teman sekelasku menoleh pandang kemari. Menatapku lamat-lamat. Juga Maehara dan ketua kelas di depan papan tulis.

Dari sana aku tahu jawabannya. Rupanya, begitu. Okuda ingin aku mengikuti taiikusai. Lari estafet dan lari kaki tiga.

Kalau sudah seperti ini, aku tidak bisa menolak.

Maka dengan begitu, selepas istirahat makan siang, aku di sini, berlari-larian di lapang sepang bola. Dalam rangka latihan lari estafet bersama Maehara.

Stik terjatuh ke tanah. Menggelinding di depan kakiku.

Masih belum bisa ya?

Maehara mengambil stik itu dari atas tanah. Memberikannya padaku. Tidak apa-apa?

Aku mengangguk. Sebagai jawabanku.

Kita istirahat dulu bagaimana?

Jeda sebentar. Lalu aku mengangguk singkat.

Kami duduk di tepi lapangan. Berteduh, sambil menyaksikan pasangan lain yang masih latihan memberikan stik ke pelari berikutnya. Pasangan lain tampaknya serasi. Mereka tidak kesulitan seperti kami. Terutama si kembar, mereka kompak.

Maehara memberikan sebotol minuman padaku. Aku menerimanya. Karena kehausan, jadi aku habiskan semuanya.

Kamu hebat. Larimu cukup kencang.

Tidak kok, mana mungkin.

Aku serius. Larimu kencang untuk ukuran seorang gadis. Kamu bisa mengimbangi lariku. Dan hebatnya, kamu tampak tidak kelelahan sama sekali.

Aku menggeleng beberapa kali sebagai penolakanku. Wajah Maehara tetap cerah. Dan matanya terkesan serius. Mungkin, iya, aku cepat. Tapi masalahnya aku belum bisa menyerahkan stik itu padamu. Tambahku.

Iya juga. Menjadi yang tercepat masih belum cukup di lari estafet. Karena perlu juga menyampaikan stik ke pelari berikutnya.

Ya ‘kan?

Mungkin karena larimu tiba-tiba makin cepat atau makin lambat ketika stiknya hampir menyentuh tanganku. Jadi tidak pernah sampai padaku.

Memang benar. Kakiku entah kenapa sewaktu aku sudah dekat Maehara, tiba-tiba bergerak lambat. Kadang bergerak terlalu cepat sampai menjatuhkan stiknya. Apa sebutannya yang cocok ini? Refleks motorik?

Maehara tersenyum. Sangat kecil senyumnya. Kemiringan sudut bibirnya sangat rendah. Seolah kau berusaha menghindariku. Ada apa?

Kata-katanya terdengar ada benarnya. Tapi aku tidak tahu di mana benarnya itu.

Pasangan pelari pertama dan kedua sudah selesai berlatih. Yuzuki dan Natsuki sudah selesai berlatih. Mereka ikut duduk di sebelah kami. Beristirahat. Mengipas leher.

Aku merasa seolah, dunia selalu saja memberikanku kejutan baru. Masalah demi masalah selalu berdatangan. Satu masalah usai, muncul masalah baru entah dari mana. Tidak pernah ada usainya.

Aku pernah berpikir kalau setelah Ibu sembuh, masalah akan berhenti berdatangan. Tapi rupanya malah datang masalah baru. Pertama tentang puzzle yang tidak mau menyesuaikan diri, hilang entah kemana—tentang hubungan Hiro-kun dengan Ibu. Berikutnya, muncul lagi, Ayah. Hatiku tidak tenang setelah pertemuan kami beberapa hari lalu.

Napasku tertahan. Aku melanjutkan kalimatku. Di sini, aku belum memasukkan perihal UAS dan kontes songmaker itu. Aku belum memulai persiapan sama sekali, sementara waktu terus berlalu tanpa ampun.

Jeda denging beberapa saat. Maehara memandangku penuh perhatian. Penuh kekaguman mungkin lebih tepatnya. Kau benar. Kedengarannya seperti dewa tidak ingin hidup manusia baik-baik saja.

Aku mengangguk-angguk, sangat setuju pendapatnya.

Aku beberapa hari ini sering (terpaksa) menonton berita. Ada satu yang kuketahui sekarang, dunia sedang tidak baik-baik saja. Tentang negara ini yang mau tamat, tentang politik dunia yang memanas, tentang ekonomi dunia yang stagnan, AI dan robot yang mulai mengambil alih pekerjaan, dan masih banyak lagi. Tidak ada usainya. Hal ini membuatku bertanya-tanya, mengapa hidup manusia tidak pernah dibuat sederhana oleh dewa? Mengapa setiap perjalanan ini harus mengalami masalah demi masalah? Apakah dewa senang menyaksikan kemelaratan manusia di dunia? Kalau memang sengaja dewa melakukannya, kenapa aku baru merasakan kalau dunia ini makin berantakan mulai ketika aku duduk di SMP. Seingatku semua baik-baik saja ketika aku belum bisa membaca dengan benar. Kenapa baru sekarang-sekarang ini?

Mungkin karena itu. Pikiranku jadi tidak berada di sini. Makanya aku sulit memberikan stik itu. Terangku lewat isyarat.

Jeda denging lagi sejenak. Maehara tetiba tertawa tanpa suara. Matanya menyipit sempurna. Ujung telunjuknya menyeka bulir air mata di sudut matanya. Kau orang yang sangat lucu.

Mendengar diriku disebut ‘lucu’, entah mengapa sesuatu dalam dadaku seperti ingin meledak-ledak. Kemudian, sesuatu ini meleleh dari dalam. Menyebarkan sensasi aneh ke seluruh tubuh. Mujurnya, sebelum sensasi aneh ini menggerogoti jiwaku, Maehara menggerakkan tangannya. Berkata lewat isyarat.

Tentang ayahmu, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Aku rasa hal ini, sangat penting bagimu sekarang.

Memang, belakangan ini pikiran tentang kejadian itu terus menggangguku. ‘Apa yang ingin dia ucapkan padaku?’ ‘Apa yang membawa Ayah kemari?’ ‘Kenapa dia mengunjungiku ke rumah sakit?’ Tanyaku, yang mana lebih kepada diriku sendiri alih-alih pada Maehara.

Maehara membisu beberapa saat. Menengadah kepada langit sejenak sebelum kemudian berkata padaku lewat isyarat.

Kenapa tidak kamu tanyakan saja langsung padanya?

Aku tidak bisa.

Kenapa?

Kami tidak mungkin bertemu lagi.

Kenapa tidak bisa bertemu lagi?

Ayah sudah berhenti menghubungi kami. Nomornya juga sudah diganti. Dan aku…

Pasangan pelari ketiga dan keempat sudah selesai berlatih. Okuda dan seorang cowok yang kalau tidak salah namanya Katsuraoka. Mereka menepi, menyapa Maehara. Dan aku. Kemudian duduk beristirahat bersama yang lain.

Maehara menoleh padaku.

Aku berniat melupakannya.

Melupakannya?

Lihat selengkapnya