Festival olahraga sudah tiba. Hiruk piruk suara orang-orang bersorak bergaung di udara. Laki perempuan, semua menyoraki tim masing-masing. Ekskul masing-masing. Begitu peluit ditiupkan; Terdengar letupan, asap kelabu membumbung tinggi di langit; lima pasangan pelari lomba kaki tiga itu bergerak menerabas angin. Melangkah ringan dan cepat. Berhembus bersama angin. Ikut, komentator tidak henti-hentinya menyemangati lewat pengeras suara.
Atau, kurang lebih begitu yang orang-orang rasakan. Padaku, hanya sebatas dengung dalam air yang dihiasi gema tidak beraturan.
Cabang lari estafet sudah selesai. Kelas kami memenangkannya. Begitu juga dengan lari kaki tiga. Terbayar sudah keringat di hari kemarin, latihan hingga petang.
Okuda melambai, aku menghampirinya. Duduk bareng anak kelasku yang lain. Di sini kami menonton pertandingan selanjutnya. Tarik tambang, yang kemudian diikuti lari halang rintang.
Tugasmu di klub filmaker sudah selesai?
Si kacamata yang menggantikanku sebentar.
Kerja bagus, dan tadi larimu kencang sekali. Kata Okuda.
Si kembar juga larinya cepat, bisa mengalahkan anak dari klub basket.
Okuda mengangguk.
Lambat laun, keseruan itu makin bertambah. Gemanya makin banyak. Permukaan air dibuatnya naik turun. Menyebabkan, gaung bunyi dengung yang fluktuatif. Beriringan dengan itu, di sisi lain pengunjung bertambah banyak. Memenuhi tepi lapangan. Duduk berteduh di bawah kanopi.
Festival olahraga di sekolahku terbuka untuk umum. Orang tua dan kerabat, atau bahkan penduduk pulau yang sedang memiliki waktu luang, mereka sering mampir kemari untuk memberi semangat sekaligus menambah keseruan. Bukan hal yang aneh kalau sekolah jadi lebih penuh. Dan, lagipula di pulau ini tidak banyak hiburan, maka kegiatan festival olahraga seperti ini sudah cukup menyenangkan bagi kebanyakan orang.
Langkah kaki bergaung di atas permukaan air. Bergema halus dalam sebuah denging tidak berkesudahan. Di kejauhan, dari arah jam empat, pria itu berdiri dan berhenti. Menatap kemari. Bola mata di balik kaca mata itu, setengah sayu. Bajunya tidak biasa. Setelan kerja. Jas dan kemeja putih. Lengkap dengan dasi.
Ayah?
Aku bangkit berdiri. Menaruh seluruh perhatianku pada titik imajiner di arah jam empat. Yang, seharusnya di sana terdapat sesosok pria berkacamata. Sosok itu sadar, dia tahu aku melihatnya. Karena itulah dia segera meninggalkan bangku penonton.
Okuda menatapku heran. Begitu juga anak-anak kelasku yang lain. Tidak memedulikan itu, aku meninggalkan tenda kelasku. Berlari menerabas kerumunan. Hanya untuk tiba di tempat kosong. Tempat kosong. Di situ, Ayah sudah tidak ada.
Ayah? Ayah? Di mana? Ke mana? Aku di sini, Ayah!
Jeritku dalam benak. Berusaha disuarakan pun, tetap tidak ada yang keluar dari mulutku.
Tidak mau menyerah, aku mencoba berlari keluar kompleks sekolah. Menuruni tanjakan curam. Tiba di pertigaan. Melewati Supermarket Minamigoto. Kemudian... Suara langkah kaki itu muncul lagi. Terpantul di atas permukaan air. Di bawah semburan cahaya ultraviolet sang mentari musim gugur.
Aku menoleh ke balik bahu.
Sosok punggung itu bisa kukenali.
Pria itu berhenti melangkah. Aku menahan tangannya untuk tidak pergi lebih jauh lagi.
Dia memutar tubuh. Kami saling pandang mata ke mata.
🌸🌸🌸🌸🌸
Tidak ada yang terjadi. Di meja ini, hanya kekosongan yang mengisi. Seperti waktu itu, Ayah tidak melakukan apa-apa untuk memecah suasana canggung itu. Hanya, terfokus menekuri buku yang ia bawa.
Apa yang harus aku lakukan? Aku harus aku katakan?
Kenapa Ayah datang kemari? Tidak…
Kenapa Ayah meninggalkanku? Bukan…
Kenapa Ayah tidak tersenyum lagi seperti dulu? Bukan itu juga….
Apa yang harus aku katakan?
Aku hanya diam di seberang, memandangi bolpoin itu bergerak. Ayah masih diam saja di seberang.
Perasaanku terlalu campur aduk. Aku tidak bisa berpikir jernih. Apa sebenarnya yang ingin aku katakan? Benci? Rindu? Marah? Sedih?
Seorang pegawai restoran mendatangi meja kami. Membawakan tiga piring castella.
Ruri suka manis, jadi saya belikan dua untuk Ruri. Tulis Ayah di buku catatannya. Dia memberikan dua piring castella itu padaku dan menyisakan sepiring untuknya.
Sekarang dia menggunakan kata ganti ‘saya’ bukan ‘Ayah’.
Karena aku masih berdiam mematung sedari tadi, Ayah yang baru saja mencicipi satu sendok castella itu mulai menulis lagi.
Bagaimana kata dokter mengenai kondisimu?
Aku menuliskan jawabanku di baris bawah pertanyaannya.
Dokter berkata ada peluang indraku yang hilang kembali.
Artinya, Ruri bakalan main piano lagi?
Ya. Tulisku, yang juga diikuti anggukan kecil.
Begitu.
Hanya itu tanggapan Ayah. Dia juga tidak menunjukkan apapun di wajahnya. Kelegaan tidak ada. Kekesalan juga tidak ada. Seolah tidak peduli pada jawabanku.
Halaman buku dibalik. Bolpoin bergerak lagi di halaman baru. Menggoreskan tinta.
Ayah berencana menikah lagi di Tokyo.
Suara dengung di telingaku pun berhenti. Suaranya melemah dan lenyap.
Setelah membaca kalimat itu, kini aku paham sekarang. Yang ingin aku sampaikan sejak hari itu dan terus mengganjal dalam benakku hingga tadi adalah seberapa besar kemungkinan Ayah kembali lagi bersama Ibu. Apakah Ayah mau kembali lagi bersama Ibu atau tidak? Sesuatu yang tidak mampu aku ungkapkan dalam kata-kata, apalagi dalam sebuah suara.
Aku menarik kemari buku catatan Ayah, lalu menuliskan sesuatu di sana.
Apakah aku boleh menemui Ayah lagi?
Percuma saja, seberapa keras aku memikirkannya, malah itu yang kutuliskan. Aku tetap tidak bisa mengungkapkan isi hatiku.
Tentu saja. Jawabnya lewat tulisan lagi.