A Missing Piece of Harmony

Ripley
Chapter #17

[日向あかりの歌] Hyūga Akari no uta/Suara Hyūga Akari

Ruangan itu sekosong angkasa luar. Segala hitam, pun kedap udara dan suara. Seolah berada pada dimensi terpisah dari dunia luar.

Tercium aroma buah persik meguar dari rambutnya yang indah panjang sepunggung. Gadis itu mendekapku erat. Kami jatuh bersamaan ke atas sebuah ranjang. Saling menempelkan sebanyak mungkin tiap bagian kulit yang bisa dilakukan ke tubuh pasangan. Menggesekkan paha, lengan, bahu, dada, segalanya. Memang proporsi tubuh kami sama persis. Tapi, payudara gadis itu lebih besar sedikit dariku dan lebih padat. Alhasil dia lebih memenangkan dekapan itu. Mendorong tubuhku melesak masuk ke dalam pelukan kapuk. Gesekan puting kami selesai. Tubuh gadis itu melengkung. Dia menciumku. Aku balik menciumnya.

Bulu matanya yang lentik turun. Sang gadis melumat putingku yang mengeras. Sensasi aneh menyeruak dari dalam tubuh ini. Ketika itulah, sesuatu aneh memintaku untuk menyentuh mulut di sela pahaku. Gadis itu tahu apa yang kuinginkan, dia menyentuh bagian itu. Menggerakkan jemari telunjukknya naik turun, memutar dalam lingkaran sekitar titik kecil bibir bawahku. Sesuatu aneh ini memintaku lebih keras untuk memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Gadis itu lagi-lagi tahu apa yang kuinginkan. Dia menekan jarinya perlahan ke dalam tubuhku yang lapar. Perlahan. Dan tanganku menuntun jarinya untuk menyentuh bagian yang ‘sesuatu’ itu inginkan. Sambil melakukannya, sambil pula bibir kami bergulat. Bibir lainnya pun bergulat dengan pahaku. Hembusan napas kami bersatu. Jiwa dan raga kami menyatu dalam irama laun.

Pandanganku berkunang-kunang. Sesuatu aneh yang menyuruh-nyuruhku tadi mulai melemah. Tatkala, sensasi aneh muncul kemudian. Mula sebuah vibrasi kecil, yang mana vibrasi ini mulai merambat ke seluruh tubuh. Perlahan. Cepat. Dada naik turun kembang kempis dalam irama bertempo adagio. Dalam beberapa detik. Punggung dan kakiku melengkung. Seperti air mengalir, bergerak bagai ombak, merambat seperti arus listrik. ‘Aliran’ itu bergerak cepat naik ke otak, dan turun segera untuk menghilang. Menciptakan sensasi tenang dan bahagia bersamaan yang begitu hangat. Pun diikuti rasa letih dari dalam tubuh. Dari dalam jiwa.

Gadis itu merebah di sampingku. Kami saling berhadapan. Tangannya yang lembut dan hangat membelai pipiku. Akhirnya wajah sang gadis itu bisa kulihat dengan jelas. Dia tersenyum. Senyum yang tidak pernah kulihat sebelumnya dari gadis itu.

“Maaf Ruri, aku akan memanfaatkan tubuhmu sebentar lagi. Setelah waktunya selesai, aku akan pergi selamanya. Maafkan aku, ya, Ruri. Karena tidak pernah menjadi kakak kelas yang baik padamu.”

Napasku masih lemah. Aku mencoba memahami kata-katanya. Tapi aku tidak paham. “Aku tidak paham apa maksudmu.”

Bukan mata yang berbinar penuh harapan, namun mata sendu penuh kepedihan. Hyūga berucap lemah, sambil mengecup keningku. “Kita akan terus bersama. Aku menyayangimu, Ruri.”

Mataku mengerjap. Pandanganku nyala mati. Dan gadis itu hilang ditelan bumi. Aku terbangun di ruangan yang kukenal. Kamarku. Aku berbaring menyerong memandang piano Steinsway & Sons yang disinari cahaya rembulan. Buru-buru aku menyalakan ponselku. Melihat jam digital yang tertulis di layar. 03:21.

Apakah tadi itu? Mimpi? Rasanya terlalu nyata. Kenapa, Hyūga...

Dan saat itu pula, bulir air asin menyembul keluar dari sudut mataku. Membentang turun.

Kenapa aku menangis? Diriku kenapa?

Aku coba memikirkan arti dari mimpi tadi. Namun tidak kutemukan sama sekali seberapa keras aku mencoba. Dan seberapa keras aku mencoba mengingat pun, yang kusaksikan tetaplah gadis itu. Memang gadis bernama Hyūga Akari itu yang jadi lawanku. Dan dia, menangis.

Aku pun memutuskan membuka aplikasi Line.

Ruri

[Selamat pagi…]

[Kau masih terbangun?]

Hyūga                                                                                   

[Malam! Ini masih malam! Aku penganut kalau pukul 05.00 ke atas baru masuk pagi.]

Ruri

[Kau selalu memiliki banyak energi….]

Hyūga

[Karena aku Hyūga Akari. Dan Hyūga Akari yang kukenal memiliki banyak energi]

[Ada apa Ruri? Mengapa menghubungiku jam segini?]

Ruri

[Tidak ada. Aku mau tidur lagi]

Hyūga

[Bohongmu yang ini kentara banget deh]

Aku melepas napas lega. Sepertinya firasaku tadi tidak benar. Hyūga tampak baik-baik saja. Dari caranya dia membalas, dia tidak apa-apa. Masih Hyūga yang kukenal. Namun, karena sudah terlanjur menghubunginya tengah malam begini, aku pun mencoba membuka topik. Kontes songmaker yang akan diadakan di Tokyo nanti. Aku lolos tahap awal, yang artinya aku harus ke Tokyo nanti tanggal 18.

Ruri

[Begini… soal itu…]

[Soal lomba songmaker, apa aku perlu datang ke undangan mereka? Tempatnya jauh di Tokyo]

Hyūga

[Tentu saja pergi! Mereka sendiri bilang ingin mendengar lagumu langsung. Aku yakin di hari itu juga pasti mereka meminta album orisinal itu. Atau paling tidak demonya]

[Ruri sudah menyelesaikan album orisinilnya, kan? Jangan katakan padaku kalau belum?!]

Ruri

[Aku baru menyelesaikannya tidak lama ini. Ada empat lagu, temanya mengikuti empat musim karya vivaldi. Yang belum selesai tinggal bagian vokal....]

[Untuk bagian ini...]

[Kau yang mengisinya]

Hyūga

[Oke. Kirimkan saja padaku lembar musiknya dan bagian instrumennya nanti aku kirimkan rekaman suaraku padamu!]

Ruri

[Terima kasih]

Hyūga

[Oh ya, tentang pembicaraan kita di UKS waktu itu… apa yang Ruri mau katakan?]

Ruri

[Lupakan saja, itu tidak penting]

Hyūga

[Yakin?]

[Aku rasa itu sesuatu yang penting soalnya Ruri kelihatan serius waktu itu]

[Halo, Takasaki-san?]

[Halooooo... apa Takasaki-san sedang ada di rumah?]

[Takasaki Ruriko-san? Kamu membaca chatku kan?]

[Lapis lazuli, kamu membaca chatku kan?]

[Ruri, kau kejam sekali membiarkan gelembung chatku sampai berjer begitu T_T]

Ruri

[Apa kamu yakin, tentang itu?]

[Kau mau membantuku....?]

[Apa saja?]

Hyūga

[Tentu saja, katakan saja padaku. Aku bakalan mewujudkannya!]

[Hitung-hitung sebagai permohonan maafku karena menghilang tanpa jejak beberapa waktu kemarin]

Ruri

[Baiklah…]

[Yang aku ingin katakan padamu waktu itu adalah…. Aku mau, Ayah dan Ibu kembali bersama seperti dahulu…]

Hyūga

[?]

Ruri

[!] 

Hyūga

[Itu… permintaan yang cukup sulit…]

Ruri

[Lupakan saja kubilang, itu tidak bisa]

Hyūga

[Sulit bukan berarti mustahil.]

[Tenang saja. Harapan akan selalu ada di dunia ini. Aku yakin ini bisa dilakukan. Serahkan saja semua padaku. Yang harus Ruri lakukan adalah membawa cap nama ibumu. Nanti biar aku pikirkan caranya]

[Bagaimanapun, Ruri harus mengatakan keinginan itu langsung padanya. Aku akan membantumu]

Ruri

[Baik]

Hyūga

[Dengar. Bawa pakaian terbaikmu. Oke? Kita akan menemui ayahmu langsung di Tokyo]

[Oh, ya, jangan lupa bawa beberapa baju ganti!]

Percakapan selesai. Aku melemparkan ponselku. Dan mencoba untuk kembali terlelap. Namun tidak kunjung terlelap juga hingga fajar menyapa.

🌸🌸🌸🌸🌸

Suara terompet kapal bergema nyaring. Camar-camar ekor hitam bersenandung di atas langit sana. Mengeong seperti kucing. Bunyi lain yang menambah keseruan pada harmoni siang itu. Sebuah falsetto laut yang menenangkan untuk didengar.

“Kau yakin tentang ini?” tanyaku pada gadis yang tengah membentangkan peta negara Jepang di atas meja.

Jepit rambut kupu-kupunya turun. Hyūga melingkari Kota Fukuoka dan Nagasaki. Lalu menarik garis penghubung Nagasaki dan Fukuoka lewat jalur Nishi Kyūshū Shinkansen yang berhenti di Prefektur Saga, kemudian membuat garis baru mengikuti Jalur Sasebo.

“Kita bakalan menggunakan JR Relay Kamome. Berhenti di Stasiun Takeo-onsen sebentar untuk ganti ke relay menuju Fukuoka.”

“Tidakkah itu berlebihan? Pergi menggunakan kereta?”

“Tidak kok!”

Gadis itu menunjukkan cengirnya. Kedua tangan menyandang dagu di atas meja.

Sebagaimana percakapan kami di Line itu, Hyūga benar-benar berniat mempertemukanku langsung dengan Ayah. Rencananya kami bakalan menggunakan nama klub filmaker untuk tur fotografi yang mana sebetulnya yang kami lakukan adalah meliburkan diri dari sekolah untuk bertemu Ayah yang berada jauh di Tokyo.

Hyūga bilang kalau kami akan berangkat dari Nagasaki ke Tokyo menggunakan shinkansen. Menggunakan jalur kereta cepat yang baru dibuka, kami akan melakukan perjalanan panjang melewati kota-kota besar di Kyūshū dan Honshū. Kota pertama pemberhentian kami adalah Fukuoka. Lalu, perjalanan dilanjutkan dari Fukuoka ke Kita-Kyūshū. Kita-Kyūshū ke Hiroshima. Hiroshima ke Okayama. Lalu Osaka dan Kyoto ke Nagoya. Berikutnya dari Nagoya, memutar menggunakan Jalur Chuo untuk tiba di Nagano. Setelahnya, baru Nagano ke Tokyo. Itu perjalanan yang paling tidak membutuhkan waktu tujuh hari.

Aku tidak mengerti, mengapa orang ini memilih jalan yang berliku. Kenapa tidak menggunakan pesawat saja? Nagasaki ke Tokyo menggunakan pesawat akan lebih cepat. Lebih efisien. Tidak membuang uang dan hemat waktu perjalanan.

“Kau waktu itu bilang kita akan menemui Ayah di Tokyo. Menggunakan alasan klub filmaker untuk mencari Ayah.”

“Aku tidak bilang begitu, yang aku bilang adalah kita akan melakukan perjalanan tujuh hari ke Tokyo dan menemui ayahmu.”

Dia menipuku. “Lebih cepat lebih baik,” kataku dengan nada sedikit kesal.

Hyūga menegakkan punggungnya. Terbatuk dibuat-buat. Seolah bersiap untuk mengatakan sesuatu yang ajaib padaku. “Ruri, hidup itu bukan soal siapa yang paling cepat dan hebat. Percayalah padaku, dunia tidak bakalan hancur besok lusa, jadi bersabarlah dan nikmati perjalanan ini! Ayahmu juga tidak akan pergi ke mana-mana, aku jamin!” 

“Bukannya kata-kata semacam itu seringnya digunakan oleh orang malas? Orang malas tidak ada gunanya, mereka hanya beban bangsa dan negara.”

“Sepertinya Ruri bakalan suka kerja sebagai salarywoman di perusahaan. Bos besar pasti suka caramu.”

“Dunia itu kejam, jika kau lengah sedikit saja, kau akan tertinggal. Kau harus bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk bertahan hidup. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan dalam dunia yang kejam.”

“Memang dunia itu kejam. Tapi itu bila kau hanya melihat sisi buruknya dan mengabaikan kebaikannya. Untuk menikmati kebaikan ini kau harus tenang. Ingatlah orang malas dan orang yang tahu artinya hidup itu berbeda, Ruri!” Gadis itu mencondongkan badannya ke arahku. Menyebrang meja ini. Dengan tangannya menunjuk ke batang hidungku. “Berlari dan beristirahat. Bekerja dan bersenang-senang. Semua harus seimbang! Hidup itu tentang keseimbangan!”

“Ini bukan soal keseimbangan atau semacamnya, sebentar lagi UTS!”

“Tahu, kok!”

Orang ini sudah tidak ada harapan lagi. Dan aku dijebak olehnya.

Seakan tahu apa yang kupikirkan, Hyūga melipat tangan di depan dada. Tersenyum lebar dari telinga ke telinga.

Aku hanya duduk diam mendengarkan ceramahnya.

“Dulu, orang-orang berkata kalau pertumbuhan populasi manusia membludak, sangat membludak sampai-sampai pemerintah kebingungan apa yang musti mereka lakukan karena sumber daya di bumi ini terbatas. Tapi lihat kenyataannya, belakangan banyak berita mengatakan penurunan populasi yang terjadi di setiap negara makin mengkhawatirkan. Sekarang kau paham, maksudku, Ruri?”  

Aku mengangguk-angguk saja. Kemudian membuang muka. Perkataannya memang masuk akal. Namun aku masih tidak mau mempercayainya. Terkadang sesuatu yang masuk akal pun, bahkan terlihat seperti didukung data pun harus dicurigai, sebab kita hidup di era kebohongan.

Dia melanjutkan dengan nada sok bijak. “Kita punya psikopat, kita juga punya altruism, orang baik yang sangat baik. Dunia punya Hitler, dunia juga punya Mother Teresa. Karena itulah semua menjadi seperti ini. Seimbang!”

“Kau tau banyak soal dunia.”

“Begitulah. Habisnya masa laluku banyak berhadapan dengan internet.” Hyūga kembali duduk manis di kursinya.

Pembicaraan terhenti ketika seorang pelayan membawakan pesanan Hyūga. Spagetti bolognese, castella, dan secangkir minuman merah yang aku tidak tahu apa itu. Gadis seperti biasa, selalu banyak makan.

Aku menoleh ke arah lain. Burung-burung terbang terbang melingkar dan menukik lembut di atas dek kapal. Bernyanyi dalam frekuensi halus yang bisa didengar telinga. Mereka ikut menemani kapal feri yang kami gunakan bertolak membelah lautan. Kemudian terbang lurus menjauhi kapal ini. Itu adalah ucapan selamat tinggal dari Minamigoto pada kami.

Apakah akan baik-baik saja seperti ini? Aku pergi menemui Ayah langsung empat mata hanya untuk mengatakan kalau aku ingin dia dan Ibu kembali bersama, tidak kah itu tindakan yang egois? Tidak memikirkan perasaan Ayah? Apakah aku bisa mengatakannya? Bagaimana kalau aku tidak bisa mengatakannya? Aku harus apa? Apakah aku boleh mengutarakannya?

Sebuah perasaan hangat yang aneh mengalir melalui tangan kiriku yang sedang menyangga dagu. Menjalar menuju hatiku.

“Tidak apa-apa Ruri, semua akan baik-baik saja. Aku bersamamu!” ucap Hyūga lembut sembari memegang erat tangan kiriku. “Serahkan saja padaku!”

“Terima kasih.”

🌸🌸🌸🌸🌸

Lalu, sekitar pukul 12.00 lebih sedikit, kami tiba di Nagasaki. Yang kami lakukan pertama kali ketika tiba di Nagasaki adalah mencari toko baju. Benar toko baju. Ini ide Hyūga. Tentunya.

“Bagaimana dengan ini?” Gadis itu mencocokkan gaun itu di tubuhku. Dan mengangguk-angguk seolah memahami sesuatu.

“Tidak usah, aku tidak memerlukannya. Lagian bukannya kita berencana pergi pukul setengah satu siang? Sebentar lagi keretanya tiba.” 

“Hm. Rasanya kurang cocok kalau Ruri mengenakan gaun tanpa lengan.” Gadis itu mengabaikanku. Mengambil baju terusan dari rak baju lain. “Kalau ini bagaimana? Kelihatannya modis dan cocok untuk di musim panas.”

“Apakah kau mendengarku?” 

Dia tetap abai. Dan menawariku banyak model baju. Jumper. Blus biru. Dan banyak lagi. “Yang ini juga rasanya terlalu mencolok. Bagaimana dengan yang itu?”

“Hyūga-san, kenapa repot-repot membelikan aku baju baru?”

“Tentu saja harus repot-repot melakukannya, karena banyak yang salah darimu.”

“Memangnya apa yang salah?”

Hyūga muntab. “Lihatlah dirimu! Itu seragam sekolah Ruri, seragam sekolah! Se,ra,gam, se,ko,lah! Aku kan bilang padamu untuk mengenakan pakaian terbaikmu! Bukan seragam sekolah!”

Lihat selengkapnya