A Missing Piece of Harmony

Ripley
Chapter #18

[あたしの心が歌を] Atashi no Kokoro ga uta wo/Suara Hatiku

Aku tidak tahu mengapa, dan kenapa, hatiku berkata begitu. Kalausanya kebersamaan aku dengan Hyūga beberapa hari ini tidak boleh aku lupakan.

Pintu menutup di belakangku. Hyūga yang baru saja melepaskan sepatunya di genkan, langsung melompat ke ranjang dan menggerutu pada bantal.

“Melelahkannya. Kepalaku mau pecah,” katanya pada bantal.

“Itu salahmu sendiri Hyūga-senpai, mendebat setiap pendatang yang kau lihat,” ucapku sambil merebah di kasur seberang. Punggungku yang kebas secara ajaib kembali merasa ada oleh sebab kenyamanan yang diberi kasur ini.

“Tentu saja, karena aku benci mereka.” 

Aku memutar tubuh menghadapnya, “Kalau begitu, apakah kau juga membenciku?”

Hening sejenak. Dengung AC terdengar laun. Hyūga setengah bangkit. “Apa maksudmu Ruri? Kenapa aku harus membencimu?”

“Ibuku bilang kalau kakek darah campuran. Yang berarti aku setidaknya seperdelapan darah campuran.”

Gadis itu terkekeh hebat. Seolah aku baru saja melakukan stand up comedy

Hyūga kembali merebah tatkala sudah berpuas melepas tawa. Sebelah tangannya ditekuk dijadikan bantal.

“Pemikiranmu polos dan sederhana sekali Ruri. Kau salah paham tentangku. Aku cinta pendatang. Apalagi pendatang yang membawa banyak uang atau paling tidak pendatang yang memiliki etika. Yang kusebut sebagai mereka sebelumnya adalah pendatang yang tidak sopan, berisik di jalanan, dan semena-mena. Mereka bisanya merusak kedamaian. Tempat yang menurut mereka tempat estetik untuk berfoto adalah tempat ibadah bagi kami. Apakah budaya menghargai tidak pernah ada di tanah kelahiran mereka?”

“Kedengarannya, kau akan senang dengan Sanseitō.”

Dia malah mendesah pasrah mendengar ucapanku. “Justru mereka membosankan. Hal yang kuucapkan sebelumnya adalah pengetahuan umum. Maksudku, sudah sewajarnya orang-orang ingin melindungi tanah kelahiran mereka supaya tetap terasa sebagai tanah kelahiran yang mereka kenal dalam kenangan mereka, bukan sesuatu yang terasa asing atau sesuatu yang lebih buruk daripada asing. Oleh karena itu membosankan bila pemerintah baru menggaungkan hal itu sekarang, kenapa tidak sejak dahulu? Atau sebetulnya mereka sengaja membiarkannya supaya suatu saat bisa digunakan untuk menarik suara? Atau orang dewasa memang bego saja.”

“Kapan kau akan mencalonkan diri jadi wali kota? Kata-katamu sudah sangat mirip dengan politisi, panjang dan menghasut. Walau sedikit radikal.”

“Tidak boleh?” 

“Malah menurutku sesuatu yang radikal diperlukan untuk membuat perubahan pada sistem yang bobrok.”

Sebuah senyum culas terbit pada wajahnya. “Tumben Ruri tertarik sesuatu di luar musik.” 

Aku memutar tubuhku memunggungi Hyūga. “Lupakan. Aku hanya secara kebetulan melihat berita itu di internet dan TV.” Bersiap tidur.

“Tunggu dulu!” 

Mataku baru saja hendak memejam ketika tiba-tiba Hyūga bertolak bangkit dan mutar tubuhku. Pandangan kami saling berjumpa. Dalam beberapa detik. Ketikanya, Hyūga mendekatkan wajahnya padaku. Kalau ada orang lain di kamar ini melihat kami, mereka pasti mengira kami hendak berciuman. Terlalu dekat. Membuat jantungku sedikit berdebar, mengingat mimpiku waktu itu.

Lalu...

“Misteri terpecahkan!” seru Hyūga bangga. 

“Maaf?”

Tangannya membelai pipi kananku. “Kini aku tahu alasan mata Takasaki Ruriko ini berwarna biru.” Bergerak naik telunjuknya menuju mata. “Mungkin kakek buyutmu atau apalah itu, adalah anak tidak diinginkan dari hubungan gelap saudagar Belanda dengan gadis lokal di kota Nagasaki. Karena rasa takut, dia memutuskan tinggal di Minamigoto. Ia hidup dalam isolasi, lalu bertemu gadis desa yang peduli. Dengan begitu muncullah gadis Jepang seperdelapan darah Belanda keturunan beliau yang ada di depanku.”

“Teori yang terlalu dibesar-besarkan.”

“Justru itu serunya berteori. Kau bisa memikirkan semua hal gila dan berbagai kemungkinan lainnya.” Akhirnya Hyūga turun dari pangkuan. Merebah di sampingku. “Besok kita coba mengunjungi kastil Okayama sebelum perjalanan panjang berikutnya, bagaimana? Aku mau melihat Kōrakuen legendaris dari dekat.”

“Kau yang bayar.”

“Tenang saja, soal uang aku punya banyak!” dia tidak mengenal privasi, memelukku erat mendadak.

“Pergilah, tempat tidurmu ada di sana.”

“Eh? Kenapa kasar begitu? Ruri tidak mau dipeluk? Kau tidak mencintaiku?”

“Tidak.”

“Padahal Ruri sudah mau menyebutku senpai. Biasanya ‘anta’ atau ‘anata’ atau bahkan sama sekali tidak menyebut nama. Aku kira Ruri sudah mencintaiku.”

“Bukan itu, cara tidurmu kelewat heboh, aku tidak mau tengah malam terbangun karena tanganmu meninjuku!”

“Seheboh itukah aku?”

“Memang! Kau lupa?”

“Ruuuuriiiiii…”

“Menyingkir!”

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Terdengar derit pintu yang menutup. Diikuti suara helaan napas panjang dua orang gadis sekolahan. Dua orang gadis itu merebah di ranjangnya masing-masing sambil menatap langit-langit kamar. Salah satu gadis, gadis berambut kepang Perancis itu buka suara.

Pendatang, sangat menakutkan.”

“Ya. Aku setuju.”

Aku memutar tubuhku menghadap Hyūga. Hyūga pun melakukan hal serupa. 

“Mereka yang terburuk. Sengaja membuat kerusuhan di kereta untuk menarik perhatian di internet. Dasar manusia tukang cari sensasi. Tapi…”

“Orang mesumlah yang paling buruk.”

Kami mengatakan kalimat itu spontan. Seperti simfoni. Nada dan temponya sama persis. Membentuk superposisi gelombang suara yang menguar memenuhi udara. Berterbangan menuju penjuru kamar lalu lenyap dalam hening beberapa detik berikutnya. 

Hyūga bangkit duduk. “Benar. Mereka yang terburuk dari yang terburuk. Sungguh menakutkan ada pria aneh mengikutimu sepanjang hari. Lihat, rasa takut ini masih bersisa di tanganku.” Memang, tangan Hyūga masih terlihat tremor kecil.

“Apalagi om-om di kereta.”

Telunjuknya menuduhku, seakan aku yang salah. “Itu dia, om-om mesum di kereta!” Atau kata-kataku benar di pikirannya. “Meraba-raba bokongku seenaknya. Ingin rasanya aku sumpal mulutnya dengan petasan lalu meledakkannya biar mereka tahu rasa. Sungguh, mereka itu menjijikkan sekali!” serunya berapi-api. Lebih berapi daripada gunung api.

“Terima kasih Hyūga-senpai, sudah menolongku dari om-om mesum di Midosuji. Aku sangat takut sampai tidak bisa bereaksi apa-apa lagi seperti di pemberhentian sebelum-sebelumnya.”

Entah karena sihir apa, gadis itu mendadak tenang. Tidur merebah menghadapku. Suaranya lembut dan anggun. “Terima kasih kembali juga karena sudah menendang selangkangan pria kacamata yang meremas pantatku itu.”

“Lain kali akan aku tendang lebih keras.”

“Hati-hati, nanti kau yang malah dijadikan tersangka.”

“Tenang saja. Mereka tidak bakalan menemukanku.”

“Mengapa? Apalah karena sudah aman kembali di Minamigoto?”

“Atau sudah hidup sukses di Amerika.”

Hening. Hening. Dan hening. Masih hening. Dalam kekosongan semacam ini, dengung AC lah yang terdengar. 

Bulu mata lentik itu mengerjap. Hyūga menatapku lamat-lamat. Aku menatapnya lamat-lamat pula. Dan sekoyong-koyong, tanpa pertanda, tanpa aba-aba, kami tertawa bersama.

“Apa-apaan sih kita ini? Saling mencurahkan hati tidak jelas.”

“Kau yang memulai duluan, Senpai.” Ujung telunjuk menyeka ekor mata. “Kita sudah di Osaka. Punya rencana apa lagi buat tur hari esok?”

“Dōtonbori dan istana Osaka sudah ditaklukan. Tinggal mengunjungi Osaka Expo 2025. Lokasinya tidak jauh dari sini seharusnya.”

🌸🌸🌸🌸🌸

Hari ketiga dimulai. Kami memulai hari itu lebih awal dari biasanya. Sarapan seadanya dari makanan instan minimarket terdekat lalu bergegas naik kereta. Seperti kemarin, gerbong sesak oleh lautan manusia. Namun setidaknya masih ada ruang kosong dekat pintu masuk. 

Pintu menutup di hadapan kami. Pijakan terasa bergoyang sesaat. Lalu kereta melaju.

“Tunggu, kemarin kau bilang ‘tidak bisa bereaksi apa-apa lagi seperti di pemberhentian sebelum-sebelumnya.’ Jangan-jangan yang terjadi di Midosuji bukan yang pertama kalinya? Apa karena alasan itu pula Ruri sangat kelihatan mati rasa waktu keluar gerbong kereta?”

Bulu kudukku meremang, tangan kanan mengusap siku kiri. Menunduk. “Ya. Itu yang ketiga kalinya. Di Fukuoka satu kali. Kemarin dua.”

“Hah? Tiga? Kenapa bisa begitu? Aku cuman kena satu kali dan kau tiga kali? Kenapa lebih banyak yang menyerangmu ketimbang aku? Kenapa lebih memilihmu?”

“Senpai, tolong hentikan, kau membuatku tidak nyaman. Dan perkataanmu membuat citramu jadi kelihatan buruk.” 

“Um. Ya. Benar. Maaf, maksudku, kenapa mereka memilihmu sebagai sasarannya? Apakah karena aku kurang cantik dan menarik darimu?” tanyanya berbisik.

“Mungkin, mungkin karena nafsu birahi mereka bisa mengetahui mana korban yang paling tidak berdaya. Yang mana aku disini tuli dan bisu jika tidak berada dekatmu. Jadi Aku yang paling tidak berdaya. Aku yakin mereka punya insting tersembunyi semacam itu.” Aku menolehkan pandang pada senpai-ku. “Dan Hyūga-senpai, kau lebih cantik dariku kok.”

Dia menebar senyum manis seraya berkata, “Ruri, cinta.” 

Lihat selengkapnya