A Month With Margo

Heru Dikara Pramono
Chapter #2

Pertemuan dan Musik

Jejak-jejak sepatu mengikuti langkahnya saat Aeysa berjalan seorang diri menyusuri jalanan aspal di komplek perumahan tempat tinggalnya. Gadis berparas manis itu sama sekali tak mampu menyembunyikan raut wajahnya yang murung. Sesekali dia menyeka bulir air mata yang sempat menetes menyusuri pipinya yang ranum. Perasaan itu selalu muncul setiap kali menjumpai kegagalan. Bukan kali ini saja dia merasakan perasaan serupa, tapi sakitnya tetap saja sama seolah baru pertama mengalaminya.

Aeysa berhenti dan memutuskan untuk duduk sebentar di bangku kayu di tepi jalan. Dia merogoh saku seragam dan mengeluarkan secarik kertas yang berisi penggalan dialog audisi tadi siang. Pertahanan batinnya kembali runtuh. Dia menangis dalam diam sembari tangannya meremas dan menggumpalkan kertas itu dengan geram. Padahal, dia sangat berharap untuk mendapatkan peran di film itu. Sang ibu juga sangat mendukung mimpinya untuk menjadi seorang bintang film. Harus bagaimana dia memberitahu ibunya bahwa audisi kali ini gagal lagi. Dia membuang gumpalan kertas tadi begitu saja, lalu terisak.

Seseorang memungut kertas itu dan kemudian mengulurkannya di hadapan Aeysa. Gadis belia itu mendongakkan kepala dan mendapati seorang cowok berwajah ganteng berdiri di hadapannya sambil pasang alis yang terangkat sebelah. Seketika tangis Aeysa berhenti, menunggu apa yang hendak disampaikan oleh cowok yang mengenakan helm sepeda itu.

“Jangan buang sampah sembarangan. Nanti kalau ketahuan satpam, bisa didenda,” ujar cowok itu.

Aeysa mendelik, tertegun sebentar, kemudian tersadar dan buru-buru mengambil gumpalan kertas itu dari tangan cowok yang sekarang duduk di sebelahnya. Gadis itu kembali menyimpan kertas tadi ke dalam saku seragam.

“Jam segini baru pulang sekolah, Aeysa?” tanya cowok itu yang sukses membuat Aeysa terkesiap.

“Dari mana lo tahu….”

Cowok itu menunjuk badge nama di seragam Aeysa sebelum gadis itu menyelesaikan kalimat pertanyaannya.

“Nama gue Ananda Amargo Tresna. Panggil aja Margo,” kata cowok itu sambil mengulurkan tangan kanannya, mengajak bersalaman.

Dengan canggung, Aeysa menyambut uluran tangan Margo.

“Sebetulnya, ‘Margo’ itu berasal dari kata ‘Amargo’ yang berarti ‘karena’. Sementara ‘Ananda’ itu artinya ‘anak’ dan ‘Tresna’ itu artinya ‘Cinta’. Jadi kalau digabungkan, nama gue artinya ‘anak yang berasal karena cinta’. Gue keturunan Jawa, by the way,” terang Margo meskipun Aeysa sama sekali tidak berniat untuk bertanya seputar asal-usul nama panggilannya.

Aeysa tersenyum datar. Sekilas, dia melirik ke arah sepeda berjenis Hybrid berwarna biru yang terparkir di depan tempat duduknya saat ini. Kemudian, dia kembali menengok Margo yang sudah melepas helmnya. Cowok itu memiliki rambut hitam yang lebat dengan gaya acak, terlihat cocok dengan bentuk wajah yang oval dan rahang yang tegas.

“Lo ngapain sendirian di sini, Ae? Lagi galau, ya?” Margo kembali berucap.

“Ae?” sahut Aeysa, bingung. Baru kali ini ada orang yang memanggilnya ‘Ae’. Ia biasa dipanggil dengan nama sebutan ‘Sa’. Gadis itu lalu menggeleng cepat, tidak mempermasalahkan bagaimana cara Margo memanggilnya. “Ng….” gumamnya, tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Lagipula, dia tidak mengenal siapa sosok yang duduk di sebelahnya kali ini. Terlalu cepat untuk curhat masalah kegagalan dengan orang yang masih asing, pikirnya.

“Kalau nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa, kok. Mungkin lain kali aja, ya,” kata Margo sambil tersenyum. Aeysa mengangguk canggung seraya menyipitkan sepasang kelopak matanya.

Margo mengeluarkan music player dari dalam saku celana panjang. Aeysa melihat ke arah lain, pura-pura tidak memperhatikan. Cowok itu kemudian memasangkan satu biji earphone ke dalam telinganya yang sebelah kanan. “Mau ikut dengerin?” tawarnya sambil menyodorkan biji earphone yang satunya ke arah Aeysa.

“Hah?” Aeysa mendelik.

“Gue kalau lagi galau biasanya dengerin lagu-lagu era jaman dulu. Klise, sih. Tapi, it works. Cobain, deh,” Margo menaikkan satu alisnya, masih menawarkan earphone itu kepada Aeysa. Gadis itu tertegun untuk beberapa saat ketika melihat tampang Margo yang semakin terlihat menggemaskan dengan alis yang tinggi sebelah.

Meskipun awalnya ragu, Aeysa menerima earphone itu dan memasangkannya di telinga sebelah kiri. Margo tersenyum sekilas, menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi. Aeysa membalas dengan senyum yang masih canggung. Kemudian, Margo memainkan salah satu musik lagu favoritnya. 

Truly Madly Deeply by Savage Gargen,” jelasnya. Aeysa hanya mengangguk karena baru pertama mendengar nama grup musik tersebut.

Aeysa menikmati lagu itu meskipun dia tidak pernah membayangkan mendengarkannya melalui earphone yang sama dengan cowok yang baru saja ditemui. Ingatannya tebersit pada momen ketika masih berpacaran dengan Nata. Dulu, mereka juga sering melakukan hal seperti ini walaupun lagu-lagunya sama sekali berbeda. Nata lebih suka mendengarkan lagu-lagu jaman sekarang dan bergenre hiphop. Tapi apa pun itu, tindakan Margo berhasil membuat Aeysa sekilas melupakan kesedihannya. Apalagi seolah tak kenal malu, Margo menyanyikan keras-keras lagu itu sambil menggoyang-goyangkan pundaknya. Suara Margo cukup enak didengar –untungnya. Gadis itu kembali tersenyum.

Ponsel di saku celana Margo bergetar. Sebuah pesan masuk. Dia membaca pesan itu sebentar, kemudian buru-buru melepas earphone dari telinganya.

Sorry, Ae. Gue mesti balik duluan. Orang rumah udah nungguin. Dikira gue ngelayab ke mana.”

Aeysa mengangguk. Dia ikut melepaskan earphone itu.

“Lo boleh pinjam dulu, kok. Sambil lihat-lihat koleksi lagu favorit gue,” kata Margo sambil mengenakan helm.

“Tapi, gue balikinnya gimana?” tanya Aeysa.

Lihat selengkapnya