Senin, 6 November
Mentari perlahan bergerak naik karena hari sudah mulai memasuki waktu siang. Suasana kelas tampak tenang dan kondusif. Murid-murid sedang mencatat materi pelajaran Biologi yang baru saja dijelaskan oleh guru.
Aeysa yang duduk di dekat jendela, sejenak menghentikan kegiatan menulisnya. Seseorang telah menarik perhatiannya. Seorang siswa yang sedang bermain sepak bola bersama dengan siswa-siswa lain di lapangan yang terletak bersebelahan dengan kelas Aeysa. Gadis itu tertegun melihatnya. Memori-memori masa indah di masa lalu, mendadak mencuat di dalam pikiran. Nata, siswa yang cukup populer, atlit sepak bola sekolah yang telah berhasil memecahkan konsentrasinya siang ini. Sang mantan terindah yang hampir selalu hadir di setiap lamunan. Ah, andai saja mereka masih berpacaran. Aeysa menggelengkan kepala. Dia bertekad untuk melupakan cowok yang sudah menjatuhkan harga dirinya.
“Pss….” Riska menegur Aeysa. “Masih aja perhatiin dia?”
Aeysa melirik Riska, agak salah tingkah karena telah tertangkap basah. “Gue cuma bosen. Makanya gue lihat-lihat suasana di luar,” katanya, memberikan alasan.
“Itulah susahnya punya mantan cowok yang masih satu sekolah. Bikin susah move on,” ledek Riska sambil menahan tawa.
“Rese lo!” kata Aeysa, menyenggol lengan Riska menggunakan ujung pulpen.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Pak Wisnu, guru BP, meminta ijin untuk masuk kelas dan mengganggu pelajaran sebentar. Guru Biologi mengangguk dan mempersilakan Pak Wisnu untuk menyampaikan kepentingannya.
Pak Wisnu berdiri di depan kelas. Guru berjenggot panjang itu tersenyum sebentar, kemudian mengatakan, “Hari ini kelas kalian kedatangan murid baru. Pindahan dari SMA di Tangerang. Silakan masuk.” Laki-laki berpostur tinggi itu menyuruh si murid baru untuk masuk ke ruangan kelas. Aeysa menyunggingkan senyum ketika tahu bahwa murid baru itu adalah Margo. Dia senang karena bisa sekelas dengan cowok itu. “Sekarang kamu memperkenalkan diri lebih dulu.”
Margo mengangguk. Sebentar dia mengamati keadaan kelas. Pandangannya terhenti pada sosok Aeysa yang duduk di salah satu sudut ruangan. Senyum manisnya pun mengembang.
“Nama saya Ananda Amargo Tresna. Panggil saja Margo. Saya sangat bersemangat untuk belajar bersama teman-teman di kelas ini. Terima kasih.”
Suara bisik-bisik dari murid perempuan kemudian gaduh terdengar, membicarakan wajah tampan Margo sekaligus postur tubuhnya yang tinggi tegap. Tipikal cowok idaman para kaum remaja putri.
“Udah punya pacar?” celetuk salah satu siswi dengan gaya centil. Suara sorakan langsung terdengar di seantero ruangan kelas.
“Sudah-sudah, kenalannya dilanjutkan nanti saja saat jam istirahat. Dan Margo, kamu bisa duduk di dekat jendela. Di depan mejanya Aeysa,” kata Pak Wisnu menunjuk ke meja kosong yang berada di dekat Aeysa. Margo tersenyum lagi. Hari-harinya di sekolah baru akan sangat menyenangkan, pikirnya.
Margo menghampiri meja itu. Dia membalikkan tubuh dan melihat Aeysa yang duduk di belakangnya. Cowok itu mengulurkan tangannya sambil berkata, “Boleh kenalan?”
Aeysa menepuk tangan Margo sambil menahan tawa.
“Kalian udah saling kenal?” celetuk Riska.
***
Siang ini mentari bersinar semakin cerah. Aeysa dan Margo keluar dari kelas setelah terdengar suara bel tanda istirahat siang. Mereka masuk ke kantin yang dijuluki Kantin Pojok. Julukan tersebut didapat karena memang lokasinya yang berada di salah satu sudut sekolah. Ada dua kantin di SMA Pelita Mulya, tapi Kantin Pojok yang sering dikunjungi Aeysa. Makanannya lebih enak, menurut Aeysa.
Seperti biasanya, kantin itu tampak ramai. Siswa-siswa datang bergerombol dengan geng masing-masing. Ada juga yang sudah berada di tempat itu bahkan sebelum bel tanda istirahat berdering. Biasanya siswa-siswa yang habis selesai pelajaran olahraga.
Setelah memesan makanan, Aeysa dan Margo memilih tempat duduk di tengah, tepat di bawah kipas angin yang sedang berputar kencang. Mereka meletakkan nampan berisi makanan masing-masing. Aeysa menyeruput es tehnya lebih dulu, sementara Margo menaruh beberapa sendok sambal ke dalam mangkok baksonya.
“Gue senang karena kita bisa sekelas,” kata Margo membuka percakapan.
Aeysa mengaduk-aduk kuah sotonya sambil menjawab, “Bisa aja lo. Tapi gue juga senang, sih. Ya kalau nanti ada tugas, kita bisa kerjain bareng-bareng secara rumah kita depan-depanan. Iya nggak?”
“Ide bagus. Gue juga kadang males kalau kerjain tugas sendirian.”
“Sama. Gue juga. Nanti sekalian….” Kalimat Aeysa terhenti ketika tanpa sengaja matanya menangkap sosok Nata yang masih mengenakan pakaian olahraga, masuk ke kantin bersama dengan pacar barunya –Mila.
Margo yang sedang memotong-motong butiran bakso, sejenak menghentikan kegiatannya. Kedua kelopak matanya melebar, melihat heran dengan sikap Aeysa. “Kenapa, sih?” tanyanya.
“Jangan nengok!” sahut Aeysa, berbisik. Tapi terlambat, Margo lebih dulu memutar kepalanya dan melihat ke arah pintu masuk kantin. Dilihatnya sosok Nata yang sudah duduk di salah satu meja bersama dengan Mila.
“Mereka temen lo?” tanya Margo memastikan.
Aeysa menggelengkan kepala, berusaha memasang tampang sewajar mungkin. “Sotonya enak, ya,” ucapnya, buru-buru mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
“Gue pesan bakso, sih,” kata Margo sambil menunjuk ke mangkok di depannya.
“Oh, ya?” Kemudian, Aeysa tertawa hambar. “Tapi kuahnya sama, kok. Cuma beda di bumbu. Atau kalau nggak, besok lo cobain baksonya.”
“Sotonya, maksud lo?” ralat Margo.