Kata Ayah Tsana, “Kebahagiaan itu tidak bisa dihitung dengan jari. Mereka terlalu banyak untuk bisa kamu hitung. Juga terlalu kasat mata untuk bisa kamu amati. Kamu tahu kenapa? Karena, yang pertama, kebahagiaan itu hanya bisa kamu rasakan. Yang kedua, bahagia yang sebenarnya adalah ketika kamu merasakan, bukan memperlihatkan. Yang ketiga, bahagia adalah sebuah rasa, bukan ekspresi. Jadi, coba rasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan sejatinya selalu ada di sekitarmu. Dia mengikutimu kemanapun kamu pergi. Kenapa? Karena semua orang pantas bahagia. Kamu juga.”
“Karena semua orang pantas bahagia. Aku juga,” ucap Tsana dengan mata berkaca-kaca. Ia melamun begitu lama hingga tak sadar air matanya mulai menetes.
Saat air mata itu hampir jatuh ke tanah, Ananta menghalanginya. Ia menengadahkan tangan kirinya hingga air mata itu menetes tepat di telapak tangannya.
Tsana tertegun. Ia heran dengan kelakuan Ananta yang seringkali bisa dibilang kurang kerjaan. Tsana pun menatap mata Ananta dengan tatapan sinis.
“Kamu kurang kerjaan ya, Nan?” tanya Tsana sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Satu-satunya pekerjaanku ‘kan berjalan di sisimu, Tsan. Dan nggak ada pekerjaan yang nggak penting kalau itu berurusan sama kamu. Jadi, kamu nggak bisa bilang pekerjaanku ini kurang kerjaan,” jawab Ananta sambil tersenyum jahil.
Tsana berdecak kesal. Ananta, bocah ingusan yang ia kenal dulu kini bisa-bisanya menjadi seseorang yang suka sekali menciptakan drama mellow seperti ini. Ananta sudah mulai menjadi lelaki yang menyebalkan. Sama seperti lelaki lainnya di luar sana. Sama seperti Devan, Dika, dan Alfa.
Mereka semua suka berbicara omong kosong yang sulit sekali dimengerti oleh Tsana. Bahkan seorang sastrawan pun belum tentu bisa menafsirkannya dengan baik. Sepertinya semua omong kosong yang mereka lontarkan adalah suatu pembicaraan yang hanya dimengerti oleh mereka. Mana awalnya dan mana akhirnya. Apa maknanya dan apa tujuannya. Seakan-akan semua kata tanya di dunia ini hanya bisa dijawab oleh diri mereka masing-masing, bukan orang lain.
“Kamu tau kenapa bulan tidak ada malam ini?” tanya Ananta tiba-tiba.
“Jangan bilang karena bulan malu dengan kecantikanku,” ketus Tsana.
“Karena langit tau bagaimana cara berduka.”