Ketika sampai di tempat mereka berkumpul, Tsana melempar tasnya kemudian duduk di sembarang tempat. Ia masih terus memasang wajah kesal bahkan ketika semua temannya memasang wajah ceria saat itu.
“Tsan, muka lo kusut banget kayak bajunya Devan,” celetuk Renata sambil tertawa terbahak-bahak.
Tsana spontan menoleh ke arah Devan. Ia melihat Devan dari atas sampai bawah lalu mengulanginya beberapa kali.
“Apa lo liat liat?” ketus Devan.
“Iya juga. Baju lo kusut banget. Gue nggak paham lagi kenapa Azka mau sama lo,” celetuk Tsana dengan pandangan super sinis.
Devan berdecak kesal. Ia pikir malam ini akan menjadi malam yang begitu romantis dan dramatis. Nyatanya, malam ini malah menjadi malam ajang pem-bully-an dirinya. Sungguh nahas nasibnya di mata teman-temannya.
“Eh, udahan dulu nge-bully-nya. Besok lagi di sekolah. Dev, kurirnya udah sampe di depan tuh, ambil gih makanannya,” ucap Dika mengalihkan pembicaraan.
“Awas aja lo pada ya. Kalo gue tambah glow up, baru tau rasa,” ancam Devan sambil melangkahkan kakinya menuju pintu masuk Alun-Alun Kota Bandung.
Tsana dan teman-temannya yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar ancaman konyol Devan itu. Mereka sungguh heran dengan sikap Devan yang belum saja berubah semenjak pertama kali bertemu di SMP. Sifat kekanak-kanakannya benar-benar masih melekat sekuat-kuatnya di dalam dirinya.
***
Tsana membuka pintu gerbang rumahnya perlahan. Saat itu sudah larut malam. Tepatnya pukul sepuluh lebih lima belas menit. Ia pikir, Rania mungkin sudah tidur.
Saat Tsana memasuki pintu rumahnya, ia melihat Rania sedang duduk di ruang tamu dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.
“Kok baru pulang?” tanya Rania tiba-tiba.