Semua orang pasti berpikir bahwa aku merupakan seorang perempuan yang berdarah dingin, bermulut tajam, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Kuakui itu memang sebuah sikap yang ingin kutunjukkan kepada mereka. Kuanggap dunia ini sebagai sebuah stage play milikku terutama di sekolah, sebagai sebuah permainan.
Sikapku dapat saja berubah-ubah. Tetapi, bukan berarti aku orang yang plin-plan. Melainkan karena akting dan script yang telah disiapkan di benakku. Apakah pencitraan yang ingin kutunjukkan ke orang itu? Manis? Kejam? Itu semua dengan mudah dapat aku manipulasi. Namun, tentu terkadang hidup itu tidak bisa dijadikan script, seperti gosip yang telah menyebar.
Sayang sekali, takkan ada seorangpun yang akan percaya padaku karena salah satu pencitraan yang telah kutanam di benak orang-orang di sekitarku adalah keberanian yang terlalu berlebihan. Untuk orangtua, berkat bujukan Mama, Papa mencoba untuk mempercayai diriku karena ia tahu seberani apapun, kenakalanku tidak sampai sejauh itu. Mama membujuk Papa karena ia mengetahui bahwa aku paling anti ke dalam dunia gelap mencakupi hal-hal ilegal.
Meskipun begitu, dengan berat hati aku mengakui bahwa aku memang sedikit nakal seperti bolos sekolah dan kadang dapat menantang guru ataupun orang yang lebih tua dariku apabila mereka tidak pantas menerima respect dariku. Walaupun jarang ada guru yang tidak menerima respect dariku karena aku tidak memiliki masalah dengan nilai akademisku. Rata-rata guru di sekolaku tidak peduli asalkan nilai kami tidak masalah.
Tapi, mungkin karena aku suka tantangan, sehingga membuat orang-orang berpikir bahwa aku mampu melakukannya, meskipun tidak ada motif dan bukti yang kuat. Entah siapa yang membocorkan kasus itu, membuat satu sekolah menjadi heboh. Aku sedang mencari tahu dalangnya. Karena, jika memang sekolah telah mengkonfirmasikan bahwa mereka tutup mulut mengenai kejadian itu, siapa yang menyebarkan kejadian itu? Kejadian itu terjadi pada sore hari dimana sekolah sudah sepi dan saat kejadian itu terjadi, hanya kepala sekolah dan anggota dewan yang tahu. Selain itu, mereka sudah menutup mulut orang-orang yang berada di kejadian itu. Bahkan setelah gosip itu menyebar, aku mencoba mengklarifikasi siapa yang membocorkan dan semuanya bersikeras bukanlah mereka pelakunya. Pak Kurniawan juga menasehatiku untuk tenang dan dia akan mencoba mencari tahu darimana gosip itu berasal.
Akan tetapi, dengan adanya aku menjadi tersangka, membuatku sadar aku tidak memiliki seorangpun disisiku. Mama selalu menghabiskan waktu untuk meyakinkan Papa dan hal itu membuatku terlantar. Sedangkan, Papa masih meragukanku.. Kakak laki-lakiku, untuk meminta bantuannya agak sedikit sulit dikarenan hubungan kami baru saja membaik beberapa bulan ini. Untuk teman-teman di sekolah, Tidak ada yang mau cari tahu kebenarannya dariku, cukup mendengar saja dari masyarakat sekolah. Pendapatku tidak didengarkan dan satu-satunya orang yang berada di sekolah ini yang kuyakin percaya padaku... Dia tidak ada disampingku untuk menemaniku menghadapi ini semua.
Sekarang berkat dari gosip sialan itu, aku harus membuang-buang waktuku yang berharga untuk orang lain yang kukenal saja tidak. Untuk siapapun itu terima kasih banyak atas kemungkinan besar persebaran kesalahan milikmu sendiri dan menimpakan hal itu ke aku. Jika memang benar aku pelakunya, dengan senang hati aku akan maju dan mengakui kesalahanku sendiri.
Ah, aku melihat Bu Idah sedang melambai-lambai kearahku dengan berdecak tidak sabar. Tebakanku, dia akan memberitahukanku mengenai kedua anak baru itu yang kebetulan berada dalam 1 kelas denganku. Mungkin ini bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan, memang diatur seperti itu agar mempermudah pekerjaanku menjadi penanggung jawab kedua anak baru ini. Hmm.. Tapi aku sedang dilema, mengenai sikap apa yang harus kutunjukan kepada mereka? Seperti senior pas ospek MOS? Atau manis seperti anak baik dan ingin membantu? Tapi, malas menghampiriku dan aku rasa aku terlalu capek setelah menghadapi orang-orang setelah kejadian 3 minggu yang lalu. Lebih baik, aku menggunakan sifatku yang biasa. Toh, mereka juga pasti cepat atau lambat mengetahui mengenai berita itu dan menjauhiku. Walaupun mengetahui hukuman ini untuk memperbaiki citra diriku, apa gunanya? Mengetahui sifat anak-anak di sekolahanku, jika aku mengikuti kemauan Papa dengan berpura-pura di saat-saat seperti ini, bukannya memperbaiki malahan bisa-bisa dijuluki fake dan reputasiku memburuk.
"Risa, kamu kemana saja? Dua anak itu sudah menunggumu dari tadi." Tegur Bu Idah.
Bukan mau aku juga ditungguin. Memangnya aku babysitter mereka berdua? Sebenarnya mereka bisa saja menungguku di kelas. Memangnya tidak ada yang mau memberitahukan kelas mereka dimana? Phew, mungkin aku jangan terlalu berpikiran jauh. Bisa jadi, mereka disuruh untuk menungguku.
"Ayo, ikuti saya." Perintahnya.
"Baik bu." Jawabku cepat sebelum guru ini mulai berbicara lagi. Kebetulan guru ini merupakan salah satu guru yang betah sekali untuk memberikan bekal nasehat panjang-lebar selama berjam-jam. Untunglah kelasku tidak pernah kebagian kelasnya dia lagi. Dengan taat aku mengikuti Bu Idah sampai aku melihat perempuan dengan tinggi semampai dan laki-laki yang bisa dibilang jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan itu. Informasi yang diberikan di ruang kepala sekolah, kedua orang ini bernama Lia dan Ken.
Lia berambut sebahu, wajahnya manis dengan bibir tipis berwarna pink dan mata belok berwarna ungu (biasa sofflens.). Penampilan seperti Lia tidak jarang di sekolah ini karena sekolah ini terkenal dan dapat dikatakan cukup bebas untuk berpakaian. Sekolah elite untuk bahasa kerennya.
Sedangkan Ken, cowok ideal bertampang culun dengan wajah tertutup poni dan berkacamata. Ideal? Karena dia cowok berkulit putih dan bersih melebihi para cewek di sekolah ini. Apalagi dengan tren Korea yang sedang booming. Tebakanku dia sebenarnya bisa menjadi lebih menarik jika ia tidak memiliki poni yang menutupi dahinya dan melepas kacamatanya.
"Risa? Halo, Risa?" Suara Bu Idah membuyarkan lamunanku.
"Ya, Bu?"
"Ini Lia Fioleta dan ini Kenneth Ferdian. Lia, Ken, ini Risanne Lim atau namanya biasanya dipanggil Risa, yang akan membantu kalian selama beberapa bulan ke depan untuk mengejar ketinggalan kalian." Lia bergelayutan di tangan kanan Ken membuat aku sempat berpikir, ini cowok hebat juga, dapat mengoda tipe populer seperti Lia. Oke, cukup untuk judge-nya. Belum tentu itu seperti yang kupikirkan. Motto-ku, kalau aku tidak ingin diberi sikap seperti apapun itu, ya, jangan seperti itu. Munafik. Tapi, aku tidak pantas mengatakan hal ini juga.. karena terkadang aku juga munafik secara tidak sadar. Well, mungkin pada dasarnya semua manusia pasti pernah munafik. Oke, lupakan. Pemikiranku terlalu complicated dan membosankan untuk dijabarkan satu-satu. Ini kenapa aku terkadang sangat iri terhadap orang yang selalu simple minded.
"Hey, gua Lia." Dengan santai Lia menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Risa." Kujabat tangan Lia.
"Ken." Ujar Ken tanpa menyodorkan tangannya maupun memberikan tanda-tanda ingin bersalaman. Setelah mengucapkan namanya, ia memalingkan wajahnya ke arah lain seakan hal lain menarik perhatian miliknya. Tanpa sadar aku berdecak kesal. Aku paling tidak suka sama sifat orang yang kayak dia, memang dia terlihat tidak suka untuk berkenalan, tapi bukan berarti bersifat seperti itu juga kan? Tata kramanya tidak ada. Eh, kenapa aku jadi mengeluh? Setidaknya dia tidak bermuka dua, kan? Ah, benar-benar serba salah.
"Oke gua anter lo pada ke kelas kita." Dengan santai aku memandu mereka ke arah kelas tanpa menoleh kebelakang. Pada dasarnya, memang mereka yang membutuhkan seorang guide bukan aku yang butuh orang buat membuntutiku dari belakang. Jadi, sesuka kedua anak ini apabila mereka ingin mengikuti atau tidak. Kalau ternyata mereka tidak dapat menyusul, ya sudah, nanti aku tinggal kasih alasan aku tidak sadar bahwa mereka berdua tidak mengikutiku.
Setelah sampai, aku membuka pintu kelas. Kelas yang tadinya gaduh langsung hening begitu melihat kehadiranku. Aku menelan ludah dengan susah payah secara diam-diam. Untunglah ekspresiku sudah terlatih sehingga tidak berubah. Mataku melihat lurus ke depan, daguku terangkat tinggi. Mereka memang diam sebentar, sebelum berbisik-bisik di hadapanku.
Dengan mudah dapat bisa kutebak mereka membicarakan kejadian yang terjadi 3 minggu lalu yang mengemparkan satu sekolah. Mengabaikan perilaku anak kelas, aku menoleh ke belakang lalu ke kiri-kanan untuk mengecek keberadaan kedua anak itu masih ada atau tidak. Ternyata, mereka berhasil mengikutiku.
Lia telah melepaskan gelayutan tangannya begitu aku menoleh. Tidak aneh mengapa Lia melepaskannya, Mr. Smith, guru native bahasa inggris telah datang.
"Good Morning Mr. Smith, today we have two new classmates." Mr. Smith mengangguk setelah mendengar aku berbicara dan memberikan sinyal untuk dua anak itu untuk mengikutinya masuk ke kelas. Sedangkan aku sudah mulai mencari tempat duduk kosong untuk diduduki.
"Good morning, how do you do? Both of you can.. you know... pe-perkenalkan diri?" Mr. Smith mencoba untuk mengucapkan kata indonesia dengan logatnya yang dapat dikatakan sangat unik.
"Just do it in Indonesian language." Lia mengangguk mengerti berbeda dengan Ken yang tidak bergeming.
Akhirnya setelah aku menimbang-nimbang, aku memilih tempat duduk di pojokan kedua dari belakang tepat di sebelah jendela. Sebelah kanan sama belakang dan depan aku kosong. Entah mengapa firasatku mengatakan ini semua telah mereka persiapkan untukku. Biasanya tempat duduk yang kosong tidak semuanya dikosongkan di bagian itu. Tetapi, anehnya untuk hari ini, semua dikosongkan 5 kursi berturut-turut. Isi kelas ada 40 orang dan tempat duduk di kelas dengan anak kelas ada 35.
Bisa saja, aku datang pagian dan duduk di depan. Tapi, firasatku yang kuat mengatakan mereka akan tetap mengosongkan tempat duduk di sekitarku. Ditambah dua anak di depan yang memperkenalkan diri itu, kujamin, cepat atau lambat mereka akan mendengar mengenai gosip tersebut dan menarik diri sejauh-jauhnya atau kalau lebih ekstrim lagi minta pengganti untuk menjadi penanggung jawab mereka selama beberapa bulan ke depan.
Aku memperhatikan begitu Lia memperkenalkan dirinya, beberapa anak lelaki di kelas sepertinya sudah mulai menaksirnya. Penampilannya begitu menarik perhatian anak-anak lelaki di kelas ini. Kalau dipikir-pikir lagi nama Lia Fioleta memang nama yang dapat dikatakan tidak asing, barangkali aku pernah melihat wajahnya di cover majalah remaja.
Begitu giliran Ken memperkenalkan dirinya, bukan dia yang memperkenalkan dirinya sendiri melainkan Lia yang memperkenalkannya dengan wajah gembira dan ia menambahkan kalau mereka merupakan teman masa kecil. Kemudian setelah mereka selesai memperkenalkan diri, Mr. Smith menyuruh kedua anak itu duduk. Ken yang mengambil tempat duduk tepat di belakangku. Meski sudah jelas tempat di depanku kosong. Dengan cepat Lia mengambil tempat duduk paling belakang, tepat berada disamping Ken.
Aku hanya memutar mataku dan memperhatikan Mr. Smith yang untungnya merupakan salah satu guru yang tidak peduli dengan gosip yang beredar. Aku memang ingin klarifikasi gosip yang beredar. Akan tetapi, aku sendiri tidak mengetahui kebenarannya.
Selama pelajaran Mr. Smith, semua terlihat tegang. Sepertinya, semenjak kejadian 3 minggu yang lalu, semua murid yang sudah takut denganku, semakin takut kepadaku dan yang awalnya biasa saja, jadi sungkan denganku. Bel pelajaran berbunyi tanda bahwa Mr. Smith telah selesai mengajar dan berganti ke pelajaran Pak Dodi. Sialnya, sesuai yang sudah kubilang dari kelegaanku saat pelajaran Mr. Smith tadi, memang ada guru yang peduli banget dengan kejadian itu. Sangking pedulinya, aku menjadi target sasaran pertanyaan selama pelajaran PKN.
"Risa, saat seseorang memiliki keinginan untuk melakukan hal yang buruk, mengapa keinginan itu bisa terjadi?" Pertanyaan yang diberikan tidak memiliki hubungan dengan pelajaran yang sedang kita diskusikan. Aku mengerutkan alisku dengan memaparkan wajah kusut ke arah guru yang menanyakan.
"Namanya juga keinginan, orang-orang juga pasti pernah mengalami pengalaman dimana memiliki sebuah keinginan seperti itu yang bertentangan dengan hati nuraninya." Aku dengan wajah gondok menjawab pertanyaannya dengan asal-asalan. Lagipula, dari mana coba asal mula dari pertanyaan seperti ini? Terkadang, aku bertanya-tanya bagaimana ceritanya guru ini dapat diterima di sekolahan nomor 1, sikapnya tidak seperti guru yang berpendidikan. Semenjak dia diterima menjadi guru tetap, kelakuannya menjadi-jadi ke murid yang kelakuannya tidak disukai olehnya.
"Risa, saat kejadian buruk yang telah terjadi, menurut kamu, apakah orang yang menjadi penyebabnya harus mengakui kelakuan buruknya yang merugikan orang lain?" Aku menghela nafas sebelum menjawab,"Mengakui atau tidak adalah pilihan orang masing-masing. Bisa jadi, dengan dia tidak mengakui, akan terjadi hal menguntungkan untuk orang lain." Aku mengangkat bahuku tak peduli. Anak-anak di kelas yang tadinya ada beberapa sedang bercakap-cakap, terdiam. Mereka mulai merasakan adanya tegangan mendengar perdebatan kami. Aku tidak rela di tindas oleh guru ini dan instingku untuk melawan guru ini telah meningkat.
"Risa, selama pelajaran ini kira-kira ada yang menyentuh hatimu tidak?" Aku lelah dengan pertanyaan seperti ini. Sebelum aku beradu mulut dengan guru ini lebih lanjut, aku memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke luar kelas.