Baru saja aku mengakhiri mimpi panjangku. Mimpi yang selalu berulang kali muncul di tidur panjangku, yang selalu mengganggu pikiranku. Kurasa aku sudah tidak lagi bisa membedakan antara mimpi dan nyata. Karena aku mulai tidak yakin, apakah ini mimpi, atau sebuah memori?
Sering kulihat diriku di tengah guyuran hujan, menangis dalam sebuah pelukan yang tidak terasa hangat sama sekali. Bahkan terasa lebih dingin dibandingkan air hujan yang saat itu membasahi kami. Perasaan, bagaimana perasaanku saat itu? Yang aku tahu hanyalah sebuah kelelahan yang teramat sangat, dan ingin rasanya menyerah dengan keadaan. Perasaan, aku sudah tidak ingin lagi memiliki perasaan.
Aku tersentak. Mataku terbuka lebar, silau. Kusipitkan mataku untuk menghalau sedikit sinar. “Uugh..” Aku sedikit mengerang, ketika aku menyadari sebuah benda menusuk punggung tangan kiriku.
“Kamu sudah bangun, Lily?” Seorang wanita paruh baya segera menghampiriku, namun wajahnya tidak bisa kulihat dengan jelas karena mataku masih belum menyesuaikan diri dengan cahaya terang. “Oh, sebentar,” wanita itu meredupkan cahaya lampu, lalu duduk disebelahku.
Beliau tersenyum padaku, tangannya mengelus dahiku, “Akhirnya kamu sadar.” Wanita itu menahan air matanya agar tidak jatuh. “Syukurlah kamu bangun.” Beliau menutup mulutnya dengan kedua tangannya, agar aku tidak mendengar isak tangisnya. Sesekali tangannya mengusap matanya yang semakin lama semakin dibanjiri air mata.
Sementara itu aku hanya melihat wanita itu dengan heran. Aku mengernyitkan dahiku, dan berpikir ada yang aneh di sini. Kuulurkan tanganku untuk meraih lengan wanita itu.
Tangis wanita itu mereda, tangannya kembali mengelus dahiku, “Maaf.” Ucapnya sambil tetap terisak.
“Siapa?” tanyaku. Wanita tersebut mematung, mencerna pertanyaanku “Siapa..” aku tidak bisa melanjutkan pertanyaanku. Aku tidak yakin akan bertanya siapa wanita itu, atau siapa sebenarnya aku. Karena aku mulai tersadar, tidak ada satu ingatanpun yang muncul dalam otakku.
Wanita tersebut melongo terheran, tangannya mulai dilepaskan dari dahiku. Raut wajahnya seakan tidak percaya dengan keadaan saat ini. Tangisnya yang tadi mereda, kembali melantun.
“Ibumu.” Ia beranjak dari duduknya, mengambil sebuah foto yang diletakkan di meja yang tak jauh dari tempat tidurku. Foto itu ditunjukkannya padaku. Sebuah foto keluarga, yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan paruh baya, serta anaknya, yang sepertinya seumuran denganku. Mungkin itu memang aku. Oh, bahkan aku lupa wajahku seperti apa. Aku seharusnya melihat cermin untuk memastikan itu.
“Namamu Lily, usiamu 25 tahun, anak kami satu-satunya. Tanya lah apa yang ingin kamu ketahui. Kamu tidak perlu mengingat hal-hal buruk yang telah menimpamu.”