Aku menghela napas panjang saat melihat Chris dari kejauhan. Bertemu dengannya bagaikan beban yang tidak ingin kutanggung. Aku mempersiapkan diriku, lalu melangkah mendekatinya. “Maaf aku terlambat.”
Chris menengadahkan wajahnya, agar ia bisa melihat wajahku, lalu berdiri dari duduknya, “Tidak apa-apa.” Ujarnya. Wajahnya terlihat bingung. Setelah lebih dari setengah tahun aku tidak mengingat apapun, aku semakin frustasi. Aku takut, bukan karena ingatan yang hilang. Tapi aku takut karena perasaanku pada Chris belum juga kembali. Lalu aku memutuskan untuk menghilang tanpa kabar darinya selama satu bulan. Chris bingung, mukanya sedikit terlihat takut, karena secara tiba-tiba aku menelponnya untuk bertemu. Biasanya kita bertemu di rumahku, atau di kafe, restoran dan semacamnya. Tapi kali ini aku meminta bertemu di taman yang jaraknya tidak terlalu dekat dari rumahku. “Hanya sebentar. Di taman saja.” jawabku, saat ia bertanya masalah tempat pertemuan kami ditelepon.
Aku duduk, dan ia ikut duduk di sampingku. Aku menatapnya, iapun membalas tatapanku. Tetapi tatapan kami berbeda. Aku tahu, setiap ia menatapku, selalu penuh makna, cinta dan kerinduan. Sedangkan aku, tatapanku hanyalah tatapan kosong, tanpa makna sama sekali.
“Syukurlah akhirnya kita bisa bertemu.” Ia tetap bisa tersenyum, walaupun sedang khawatir.
“Ya.” Aku pun tersenyum. Tetapi makna senyum kami pun berbeda.
“Dulu kita sering bertengkar. Setiap bertengkar kamu juga akan diam seperti ini. Tetapi beberapa hari kemudian kita berbaikan kembali.”
“Sedekat apa dulu kita berdua? maksudku, secinta apa aku padamu dulu?” kutekankan suaraku pada pertanyaan keduaku.
Chris segera mengarahkan pandangannya padaku. Ia terkejut. “Kenapa bertanya seperti itu?”
“Karena, aku belum bisa merasakan cinta itu hingga sekarang. Aku tidak bisa mengingat perasaan itu.”
“Sudah kubilang, kamu tidak perlu terburu-buru,”
“Bagaimana aku bisa tahu kalau semua ini benar? Setiap hari aku memikirkannya, bagaimana kalau semua ini tidak benar? Mungkin kalian membohongiku.”
Chris menatapku dengan matanya yang terkejut, “bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu?”
“Karena aku merasa ada sesuatu yang salah.” jawabku, “ketika aku belum tersadar, bahkan hingga saat ini. Aku selalu memimpikan hal yang sama.” Kututup mataku, dan membayangkan kejadian dalam mimpiku. “Suara hujan, sebuah pelukan, tangisan, dan keputus-asaan. Semua itu terasa nyata.”
“Aku ingat kejadian itu, saat itu kita sedang bertengkar.”