Pagi-pagi sekali aku sudah siap, menggeret sebuah koper berukuran besar. Taksi yang kupesan sudah datang menjemput, dan aku harus segera berangkat. Kutinggalkan secarik kertas bertuliskan “Tenang saja, bila urusanku sudah selesai, aku pasti kembali.” Untuk ibu. Kuletakkan di meja ruang keluarga, tempat biasa Ibu menghabiskan waktunya.
“Bandara, pak.” ujarku setelah memasuki taksi. Semalam aku sudah memesan tiket pesawat dengan penerbangan paling pagi. Aku takut, bila aku bertemu ibu, dan ia memohon dan memintaku lagi untuk membatalkan niatku, maka hatiku akan benar-benar goyah. Karena itulah aku berangkat sebelum ibu terbangun.
Aku mengeluarkan ponsel dari tasku, kembali kubuka pesan dari Chris yang berisikan sebuah alamat itu. Sebentar lagi aku akan mengetahui kenyataan yang selama ini terlupakan olehku. Dan setelah itu aku harus kembali menghubungi Chris untuk memperbaiki hubungan kami. Dengan begitu semua masalah akan terpecahkan bukan?
Aku mengetik sebuah pesan untuk Chris, “Aku sedang dalam perjalanan menuju alamat yang kamu berikan itu. Kuharap aku bisa kembali mengingat masa laluku, juga alasan aku jatuh cinta denganmu. Mungkin dengan itu hubungan kita bisa membaik.”
Aku menunggu balasannya yang tak kunjung datang, hingga aku sampai di bandara. Bahkan ketika aku sudah duduk di dalam pesawat, dan sampai di kota tujuanku, Chris tidak merespon pesan yang kukirim sama sekali.
Hari sudah siang ketika aku sampai di tempat yang dimaksudkan pada alamat tersebut. Beberapa tetangga memperhatikanku, dan berbisik-bisik.
“Lily kan?” Sapa seorang tetangga bercelemek dan membawa kantung sampah. Ia keluar dari rumah yang berada tepat disebelah alamat rumah yang diberikan Chris.
“Iya” jawabku sambil tersenyum.
“Aku tahu kamu pasti akan kembali.” Ujarnya, mantap diusapkannya tangannya yang kotor pada celemek yang menggantung di badannya, lalu menepuk-nepuk bahuku. Tak lama kemudian, suara tangisan bayi terdengar dari dalam rumahnya, “Aku harus masuk, anakku menangis.” Pamitnya.