Hari berganti, pagi pun tiba. Aku harus bangun lebih pagi, kelasku mulai pukul 07.30 am. Marta, asisten rumah tangga yang mengurusiku dari kecil sudah menyiapkan baju untuk berangkat ke kampus. “Setelah selesai bersiap-siap, anda bisa langsung ke ruang makan, nona. Ayah dan ibu anda sudah menunggu.” Ujar Marta, sambil keluar dan menutup pintu kamarku.
Ada yang aneh, biasanya Ayah yang pekerja keras itu selalu melewatkan sarapan dengan alasan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Pasti ada kaitannya dengan acara pesta dansa kemarin.
Dengan segera aku turun ke ruang makan setelah siap. Setiap langkahku sangat berat, karena tahu Ayahku akan menceramahiku.
Ayah menungguku duduk terlebih dahulu, baru beliau membuka suara “Kemarin, anak teman ayah sangat kecewa denganmu.” Beliau memperhatikan perasaan anak temannya, tapi tidak dengan anaknya sendiri.
“Setiap tahun aku selalu mengikuti acara itu, dan ayah selalu mengenalkan anak-anak teman Ayah.” Sarapanku jadi tampak tidak lezat karena perdebatan Ayah.
“Ayah hanya ingin kamu mendapatkan pasangan yang terbaik.” Begitu kata beliau, tapi aku yakin beliau hanya memilih pasangan untukku yang bisa memajukan perusahaannya.
Aku meletakkan kembali sendok yang sempat kupegang, lalu bangkit dari dudukku dan meraih tas ku yang ku letakan di salah satu meja dalam ruang makan. “Aku berangkat sekarang saja.” Bila aku tetap di ruang makan, aku pasti akan mendengar lebih banyak petuah-petuah darinya. Oh, Ayah pikir dirinya sangat bijaksana dan memahami keluarganya. Padahal beliau selalu memaksaku dan ibu untuk melakukan segala sesuatu yang diperintahkannya. Walaupun kami tidak senang dan tidak mau, beliau tidak pernah peduli.
Ibu menarik tanganku sesaat sebelum aku masuk mobil. “Tolong jangan buat ayahmu marah.” Ibu memang takut bila Ayah mulai marah. Beliau tidak punya kuasa untuk membela putri satu-satunya ini.
“Ibu lebih takut ayah marah, daripada putri ibu tidak bahagia.” Sindiranku membuat ibu melepaskan tangannya. Dan aku bisa segera masuk mobil.
“Selamat pagi, nona.” Sambut Sammy, supir pribadiku.
“Pagi, Sammy” balasku.
“Sepertinya susah ya” Sammy berbasa-basi sambil mengendarai mobil.
“Apanya?” aku yang baru mulai membuka sosial mediaku diponselku jadi tidak fokus.
“Kehidupan nona, setiap saat dituntut harus sempurna. Tidak boleh salah sama sekali. Sepertinya susah.”Lanjutnya.
“Kamu bahkan lebih mengerti aku dibandingkan orang tuaku, Sammy.” Jawabku, lalu fokus kembali ke layar ponselku.
Aku sudah sangat lama kenal dengan Sammy yang berumur enam tahun lebih tua dariku. Bahkan bisa dibilang ia adalah teman masa kecilku. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahku, dan Ayahnya sudah meninggal saat Sammy berusia 3 tahun. Sejak itu Ibuku mengizinkan Sammy untuk tinggal bersama ibunya di rumahku. Ia bahkan tinggal di rumah ini sebelum aku lahir. Dan sejak berusia 21 tahun, Sammy menjadi supir pribadiku. Kami teman masa kecil, tetapi entah mengapa belakangan ini Ayah menyuruhku untuk membatasi diri dengan Sammy.
Aku ingat saat Ayah mengatakan bahwa Sammy bukan temanku tetapi hanya salah satu bawahan kami. Aku harus mengatur ruang lingkup pertemananku, untuk hanya berteman dengan orang-orang dari kalangan atas. Dan itu sungguh membosankan.
Tetapi aku tidak akan sepatuh itu pada Ayah, aku sering mengajak Sammy untuk menemaniku bolos les tambahan dikala aku bosan saat SMA. Mencari makanan pinggir jalan, ataupun hanya sekedar menghabiskan waktu di Taman kota. Kegiatan yang tidak bisa kulakukan bersama ‘teman-temanku’ yang hanya mementingkan image.
“Sudah sampai, nona.” Sammy menyadarkanku yang hampir saja ketiduran sambil memegang ponsel.
Aku melihat ke arah luar jendela mobil, memastikan aku memang sudah sampai di depan kampus. “Pastikan saat memotretku, jangan sampai terlihat gemuk!” Candaku sambil tertawa. Memotretku begitu turun dari mobil, adalah tugasnya dari Ayah. Untuk memastikan kemana saja aku pergi selama seharian, apakah sesuai dengan agendaku yang sudah disiapkan atau tidak.
“Anda selalu terlihat cantik, bahkan dari belakang.” Balasnya sambil ikut tertawa kecil.
Ponselku berbunyi sesaat sebelum aku hendak masuk kelas. Nomer tidak dikenal meneleponku.