Aku sudah selesai berdandan ketika Martha memasuki kamarku. Ketika melihat aku sudah rapi, ia segera berinisiatif membuka lemari pakaianku. “Martha, hari ini biar aku sendiri saja yang memilih baju.” Ujarku.
“Tapi nona,” Martha tampak ragu. Karena setiap aku akan keluar rumah, kemanapun, selalu Martha yang menyiapkan pakaianku. Ia sudah dibekali list model pakaian yang akan aku kenakan dari stylish pribadi keluarga kami.
Aku mendorong punggung Martha ke arah luar kamarku, “Sudah kamu tenang saja.” Kataku, sambil meletakkan jari telunjukku di depan bibir.
Selesai memilih baju dan melanjutkan bersiap-siap, aku segera turun. Sammy dan mobilnya sudah menungguku di depan pintu utama untuk mengantarku.
“Mau kemana?” Ibu menurunkan buku yang ia baca, fokusnya beralih dari buku. Di hari minggu biasanya Ibu memang bersantai di ruang keluarga, yang letaknya tepat di samping tangga.
“Pergi dengan teman.” Kujawab dengan singkat.
Ibu bangun dari duduknya sambil meletakkan buku yang daritadi dipegangnya, lalu mendekatiku yang masih mematung di depan tangga. “Teman yang mana?” tanya Ibu.
“Sarah, bu.” Aku menjawab dengan yakin.
Ibu melihat jam dinding, lalu melihatku kembali, “Pukul delapan malam Ayahmu sudah pulang, kamu sebaiknya sudah ada di rumah saat itu.”
Aku ikut melihat jam yang menghiasi pergelangan tanganku, waktu menunjukkan pukul empat sore. “Aku akan pulang sebelum pukul delapan, bu.” Janjiku, sambil mencium pipi Ibu dan berpamitan.
Sammy mengantarku ke minimarket yang jaraknya sekitar tiga puluh menit dari rumah. Aku turun, lalu meminta Sammy menjemputku pukul tujuh petang.
“Terima kasih, Sammy. Kamu mau membantuku.” Ucapku, sebelum menutup pintu mobil.
“Asal nonaku bahagia.” Balasnya. Ia lalu pergi ke arah rumah Sarah, dan memarkirkan mobil di dekat rumah Sarah. Itu untuk berjaga-jaga, bisa saja Ayah memasangkan GPS pada mobil. Siapa yang bisa menebak otak posesif Ayahku?