Sudah lewat beberapa hari, Ibu menyadari kalung yang kukenakan selalu sama. Padahal biasanya, aku selalu mengganti perhiasanku setiap harinya, tergantung dari pakaian yang kukenakan saat itu. “Ibu baru lihat kalungmu yang itu. Sudah kamu pakai beberapa hari.” Kata Ibu, saat sarapan. Kali ini Ayah sudah berangkat kantor lebih awal karena ada meeting. Jadi aku bisa merasa sedikit lebih santai.
“Aku beli bersama teman-temanku, kami kembaran kalung ini.” Jawabku, sambil memakan sarapanku.
“Ayah bertanya tentang Peter, bagaimana kabar hubungan kalian?” tanya Ibu.
“Peter siapa?”
“Anak teman Ayahmu, yang baru saja dikenalkannya padamu.”
Aku hampir saja tersedak makananku, saat akhirnya mengingat siapa itu Peter. Laki-laki itu adalah orang yang diminta Ayah untuk menemaniku berdansa saat acara dansa terakhir. “Aku tidak tertarik, Ibu. Orangnya terlihat membosankan.” Jawabku, sambil meminum air putih yang sudah disediakan.
“Ini bukan masalah suka atau tidak suka, Lilly.”
“Sebenarnya aku berkenalan dengan laki-laki lain saat di acara dansa terakhir kemarin.”
Ibu berhenti menyantap sarapannya. Mukanya menatapku, ia terlihat khawatir. “Sebaiknya kamu menuruti kata Ayahmu.”
“Aku berkenalan dengannya di acara dansa, dia adalah salah satu anak dari tamu undangan disana. Seharusnya tidak apa-apa kan?”
“Siapa namanya? Biar ibu minta orang untuk menyelidiki latar belakangnya.”
Aku membanting sendok dan garpuku agak keras, hingga menimbulkan bunyi dentingan. “Apakah Ayah dan Ibu tidak merasa keterlaluan selama ini? Kalian selalu saja mengontrol hidupku seenaknya!” Aku berdiri, dan menyambar tas kuliahku. Aku sudah tidak berselera makan, jadi kutinggalkan mangkukku yang masih berisi banyak salad.
“Ini demi kebaikanmu juga, Lilly. Agar masa depanmu terjamin.” Ujar Ibu, berusaha menahanku yang terus berjalan menuju mobil, yang sudah terparkir di depan teras rumah.
Aku menatap Ibu sebelum masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh Sammy. “Demi aku, atau perusahaan Ayah?” lalu aku masuk ke mobil, tanpa mendengar ibuku yang masih berusaha membela diri.
“Jalankan mobilnya, Sammy.” Perintahku pada Sammy, lalu memasang headphone. Sammy tahu, bila aku menggunakan headphone, itu artinya aku tidak dalam kondisi ingin bicara dengan siapapun. Sehingga Sammy, tanpa menjawab dan berbicara sepatah katapun segera menjalankan mobilnya.