Sehari setelah pertengkaran hebatku dengan Ayah, hari ini, aku tidak berselera untuk sarapan, ataupun berangkat ke kampus. Aku bahkan baru saja melewati jam makan siangku. Yang kulakukan hari ini hanyalah berbaring di tempat tidur, tanpa melakukan apapun. Hanya berbaring, tanpa mau memikirkan apapun. Martha setiap jamnya mengetuk pintu kamarku, menanyakan keadaanku. Tapi tidak kujawab sama sekali. Kukunci pintu kamarku, agar Martha tidak bisa masuk ke dalam, walaupun ia sudah mencoba berulang kali menggerak-gerakkan engsel pintuku.
Ibu mencoba sekali untuk mengetuk pintu kamarku, dengan harapan bila beliau yang menemuiku, aku akan membukakan pintu kamar. Tapi tetap saja tidak kubukakan, “Aku tidak ingin berbicara dengan siapapun hari ini!” Teriakku dengan suara keras, agar Ibu mendengar. Ya, tidak dengan siapapun. Bahkan ponselku pun kumatikan.
Martha kembali mengetuk pintu kamarku beberapa jam setelahnya, ia membawakan makanan untukku dan diletakkannya di atas meja di depan kamarku. “Anda bisa mengambilnya sendiri setelah saya turun, nona. Tidak apa-apa bila anda tidak ingin bertemu dengan siapa saja hari ini. Tapi anda harus tetap makan dan menjaga kesehatan.” Martha tahu aku tidak akan menjawab, tetapi ia berharap setidaknya aku mendengarkannya. Hari sudah sore, dan belum ada sesendok makanan pun yang masuk ke dalam perutku. Itu membuat Martha khawatir.
Setelah menunggu sekitar lima menit untuk memastikan bahwa Martha sudah turun ke lantai satu, kubuka sedikit pintuku. Kukeluarkan kepalaku untuk mengintip, apakah benar-benar sudah tidak ada siapapun. Begitu kupastikan suasana di lantai dua sepi, baru aku keluar dan mengambil makananku. Aku segera masuk lagi kedalam kamar dan menguncinya setelah mendapatkan makananku.
Kuletakkan makanan itu di meja tempat biasa aku belajar, lalu duduk di kursi yang terletak di depannya. Aku tidak bisa makan, jadi aku hanya memandangi makanan itu dengan wajah sembabku.
Ada lagi yang mengetuk pintu kamarku, “Ini aku.” Sarah menyapa dari balik pintu sampai terus mengetuk pintu kamarku.
Kupandangi pintu kamarku, sambil berpikir akan kubukakan atau tidak untuk Sarah. Tetapi ketukannya semakin keras, dan membuatku terganggu. Kakiku segera melangkah mendekati pintu, dan membukanya. Dengan segera aku menarik Sarah masuk ke kamarku dan kembali kukunci.