Keesokan harinya, saat di Kampus, sebisa mungkin aku menghindari Liam. Aku terlalu kecewa dengan keputusan Ayah, sehingga membuatku belum bisa menghadapi Liam. Muka sembabku yang sudah kututupi make up pun masih terlihat sangat jelas. Bila Liam melihat, ia pasti akan banyak bertanya.
Pada jam kosong, sebelum kelasku yang berikutnya dimulai, aku bersembunyi di perpustakaan bersama Sarah. Aku menelungkupkan wajahku di meja perpustakaan beralaskan lenganku sendiri, sementara Sarah sedang membaca sebuah buku di sampingku. Kami duduk di tempat terpojok dan paling tersembunyi di perpustakaan ini. Tempat yang paling jarang dilewati orang, agar Liam tidak bisa menemukanku.
Liam memang tidak berhasil menemukanku di perpustakaan. Tetapi ia rupanya cukup hapal dengan jadwal kelasku. Saat aku dan Sarah hendak memasuki kelas, Liam sudah menungguku di depan kelas. Ia menarik tanganku sebelum aku masuk.
“Lilly,” Liam memanggilku. Aku menoleh padanya, tapi kutundukkan kepalaku. Sehingga ia tidak bisa melihat wajahku, “Apa kamu ada masalah?” Tanya Liam. Tetapi tidak kujawab.
Ia menarikku dan membawaku menjauhi kelas. Aku tetap menunduk, tanpa bicara sepatah kata pun. Aku sedang fokus untuk menahan air mataku agar tidak jatuh saat ini. Aku tidak ingin menangis di depannya.
Liam terlihat kebingungan, ia tidak tahu apa yang terjadi padaku, ia berpikir mungkin bisa jadi ia melakukan kesalahan. Sehingga aku menjauhinya. Tapi apa salahnya? Ia mencoba berpikir keras. “Apa aku membuatmu marah? Aku pernah melakukan sesuatu yang tidak kamu suka?” Tanya Liam.
Menghela napas panjang, berkali-kali. Kudiamkan dia. Kubiarkan Liam kebingungan. Aku hanya mempunyai waktu sepuluh menit sebelum kelas di mulai. Tapi kusia-siakan dengan diam mematung didepannya, tanpa menjelaskan apapun.