A Piece of Puzzle

Yovi Eviani Chandra
Chapter #11

Bermain dengan Cinta (flashback)

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi benar-benar tersenyum ataupun bahagia. Bahkan dalam sekejap. Aku lupa bagaimana rasanya bahagia. Bahkan belakangan ini aku sering meminta Martha untuk membawakan makananku ke dalam kamar. Agar aku tidak bertemu Ayah dan Ibu. Aku benar-benar menghindari mereka.

Tak Jarang Ibu mencoba membujukku agar berhenti marah pada mereka. Katanya, Ayah akan membelikan apapun yang aku mau, bila aku tidak lagi memikirkan masalah pertentangan hubunganku dengan Liam. Tetapi aku sudah memiliki segalanya, sehingga tidak ada lagi yang benar-benar kuinginkan sampai-sampai harus menukarnya dengan perasaanku. Bahkan Sarahpun sering diminta oleh ibu untuk kemari membujukku. Ibu tahu, satu-satunya yang kuizinkan untuk masuk ke kamarku hanyalah Sarah. Bahkan Marthapun tidak.

Sesuai dengan saran Sarah, aku hanya menemui Liam saat di kampus, tidak di tempat lain. Setidaknya hingga Ayah tidak lagi menaruh perhatian pada hubungan kami. Masih beruntung aku memiliki Sarah, yang masih mau mendengarkan dan mendukungku.

Saat aku dan Liam bertemu, kami hanya lebih banyak terdiam, hingga waktu untuk bertemu habis. Bahkan waktu yang berlalu terasa begitu cepat, tanpa penyelesaian untuk hubungan kami. Aku harus bertahan pada hubungan yang menggantung. Ditambah lagi, ternyata ada kasus yang begitu rumit dibalik hubungan kami yang tidak direstui. Ayahku tidak mengizinkan kami bersama, begitupun dengan Ayah Liam.

“Aku tidak menyangka hubungan orangtua kita tidak baik. Bahkan bisa dibilang sangat buruk.” Ujar Liam, yang telah mengorek informasi dari Ayahnya. Ternyata, sejak lama perusahaan yang dijalankan oleh Ayah kami bersaing dengan tidak sehat. Mereka saling menjatuhkan perusahaan satu sama lain, sehingga dendam muncul diantara mereka berdua.

“Tampaknya kita sudah tidak punya jalan keluar lagi.” Aku menjadi orang yang sangat pesimis belakangan ini.

“Hubungan kita tidak ada hubungannya dengan perselisihan orang tua kita. Kita pasti menemukan cara agar bisa tetap bersama.” Berkali-kali Liam meyakinkanku. Tapi raguku tidak juga hilang. Aku terlalu takut untuk menentang Ayahku.

Tampak dari sikapnya, Liam sangat tidak menginginkan perpisahan dalam hubungan kami. Ia terus meyakinkanku yang sudah menyerah ini untuk tetap bertahan. Terkadang saat aku tidak ingin bertemu dengannya, ia terus mencariku. Kami hanya bisa bertemu saat di kampus, ia tidak ingin melewati kesempatan bertemu denganku sedikitpun. Bahkan ia terkadang rela untuk membolos.

Hingga sampai kami pada titik dimana kami sama-sama merasa putus asa, tapi tetap tidak ingin memutuskan hubungan ini. “Bagaimana kalau kita bertaruh pada hubungan ini?” Liam membuka suara. Idenya membuatku berpikir bahwa dia sudah mulai gila. “Anggap saja hubungan kita ini sebagai sebuah permainan. Kita beradu siapa yang lebih lama bertahan. Yang mengatakan putus lebih dulu adalah yang kalah.”

Aku menatapnya dengan heran. Dapat darimana dia ide seperti itu?

Lihat selengkapnya