Tentu saja Ayahku tidak akan membiarkanku berbahagia seperti ini terlalu lama. Rupanya ada yang sedang Ayah rencanakan belakangan ini. lagi-lagi rencana tanpa memikirkan perasaanku. Bahkan beliau tidak meminta persetujuan dariku.
Ayah membuka pintu kamarku ketika aku sedang rebahan di tempat tidur. Aku sedang membaca ulang surat dari Liam yang ia tuliskan untukku. Mungkin sudah ada sekitar sepuluh surat yang ia kirimkan. Segera kusembunyikan di bawah bantal surat-surat itu, lalu berdiri. Ayah melihatku dengan tatapan tajam.
“Ke ruang keluarga sekarang juga. Ada yang Ayah dan Ibumu ingin sampaikan.” Perintahnya, dengan nada yang sangat tegas. Lalu ia menutup pintu kamarku. Terdengar suara langkah kakinya yang menjauhi kamarku. Kulihat jam pada jam dindingku, pukul tujuh malam. Aku bernapas lega, karena surat-surat tersebut tidak ketahuan oleh Ayah.
Kemudian Martha mengetuk kamarku, dan masuk ke dalam. Dengan sigap ia memilihkanku baju terusan yang simpel tapi terlihat anggun. Diletakkannya baju terusan itu di atas tempat tidurku.
“Nyonya berpesan, anda harus mengganti baju nona sebelum turun.” Lalu Martha menungguku, untuk memastikan apakah aku benar-benar mengganti bajuku atau tidak.
“Aku hanya harus ke ruang keluarga, Martha. Tidak kemana-mana.” Kataku, dengan heran.
“Aku hanya menyampaikan perintah nyonya. Selain itu, sepertinya karena ada tamu yang datang.” Jawaban Martha membuatku sedikit penasaran. Sudah lama Ayah dan Ibu tidak mengundang tamu ke rumah. Sekalipun ada yang datang, biasanya berhubungan dengan pembicaraan bisnis, dan aku tidak pernah dipanggil untuk turut campur.
“Akan kuganti bajuku. Keluarlah, sampaikan pada ibu aku akan turun sebentar lagi.” Ujarku, sambil mengambil baju itu dari tempat tidur. Aku punya firasat buruk tentang ini. jadi sengaja kuperlambat gerakku.
Siap ataupun tidak, aku turun setelah selesai mengganti bajuku dan sedikit merapikan rambutku. Terdengar ada beberapa orang yang berbincang dan tertawa dari arah ruang keluarga, ketika aku meniti anak tangga. Ku intip sedikit sebelum aku masuk, dan terlihat Sarah disana. Dengan kedua orang tuanya.
“Kemari, Lilly. Duduklah.” Sambut Ayah dengan ramah, ketika menyadari kehadiranku. Keramahannya hanya pencitraan belaka. Beliau tidak pernah memanggilku dengan lembut seperti itu bila tidak di depan teman-temannya.
Aku tersenyum, untuk melengkapi pencitraan Ayahku. Lalu Aku melihat ke arah Sarah dengan muka heran dan penasaran, sambil berjalan dan duduk di sebelah Ibuku. Sarah membalas wajah heranku dengan bahu yang sedikit ia angkat, dan gelengan kepalanya.
“Kamu ingat dengan Chris, Lilly?” tanya Ayah.
“Tentu saja. Kakak laki-laki Sarah kan?” Jawabku.
“Ya, kalian sangat akrab sebelum Chris pergi bersekolah dan kuliah di luar negeri. Bahkan sekarang ia sudah mengembangkan usaha Ayahnya disana. Dia anak yang sangat hebat.” Kata Ayah. Ayah Sarah mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum mendengar pujian dari Ayahku. “Sebentar lagi dia akan pulang untuk berlibur sebentar. Mungkin kalian bisa mengatur waktu untuk bertemu.” Lanjut Ayahku.
“Biar Sarah saja nanti yang mengabari.” Jawabku, datar.
“Kalian sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Pasti akan cocok bila menikah. Sarah pun teman baikmu. Pasti akan lebih akrab bila kalian menjadi saudara ipar.” Ide dari Ayah membuatku tercengang. Beliau sangat suka membuatku terkejut.
Aku tertawa kecil dengan lirih saat mengetahui rencana Ayah. Wajahku berubah muram seketika.
“Bagaimana menurut kalian?” Ayah menanyakan pendapat dari orang tua Sarah, tetapi bahkan tidak menanyakan pendapatku. Sungguh Ayah yang bijaksana. Aku kembali tersenyum lirih.