Biasanya setiap hari sabtu pukul sebelas siang, aku selalu mengikuti perkumpulan yang kubuat dengan teman-teman geng sosialitaku. Kami saling berbagi cerita, atau terkadang hanya saling pamer. Sarah juga ikut di perkumpulan ini, dan biasanya kami hanya saling berpandangan dengan dahi yang mengernyit, bila ada yang menyombong terlalu berlebihan.
“Hari ini aku tidak bisa hadir, Sarah. Aku ada sedikit keperluan mendadak” Aku berbicara dengan Sarah lewat telepon.
“Keluargamu sedang ada acara?” tanya Sarah.
“Tidak,” aku memutar otak untuk mencari alasan. Bila melibatkan keluarga, tentu saja Ayahku akan cepat tahu bahwa aku sedang berbohong. “Aku harus ke kampus, ada nilai yang harus kuperbaiki.” Jawabku.
Sarah tidak segera menjawab, tampaknya sedang berpikir. “Kau tidak akan pergi dengan Liam lagi, bukan?” instingnya sangat tajam.
Aku terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kami.” Percakapan selesai, aku menutup telepon. Aku hampir menangis saat mengatakannya.
Hari ini aku tidak mengikuti perkumpulan itu, tetapi aku tetap berangkat ke restoran tempat janjian kami. Bahkan lebih pagi dari biasanya, agar yang lain tidak melihatku saat aku tiba.
“Terima kasih untuk bantuannya, Sam.” Kataku, sebelum turun mobil. Aku tetap ke tempat kami janjian, agar aku terlihat seolah-olah tetap menghadiri perkumpulan ini. Seperti biasa, Sam memotretku begitu aku turun dari mobil, memperlihatkan suasana sekitar sebagai bahan laporan untuk Ayah. Lalu setelah itu, aku berjalan keluar, menyebrangi jalan, dan menunggu di sebuah minimarket. Sementara Sammy memarkirkan mobilnya di parkiran yang masih ada di dalam area restoran.
Aku menunggu sekitar tiga puluh menit hingga akhirnya Liam menjemputku. Hujan cukup lebat saat itu. Bajuku tetap basah sedikit, walaupun telah memakai payung.
“Hai.” Sapa Liam. Aku bahkan tidak sanggup membalasnya. Sambil memasang sabuk pengaman, aku hanya tersenyum seadanya, berusaha tampak normal. Tapi mungkin kegetiran tetap terlihat dari senyumku.
Kami saling diam saat perjalanan menuju ke kafe. Sebuah kafe kecil yang tidak terkenal dan sepi pengunjung. Tempat yang pas untuk kami yang bertemu secara diam-diam. Begitu sampai, aku segera memilih tempat duduk di pojokan kafe. Sedangkan Liam memesan satu gelas kopi untuknya, dan satu gelas teh untukku.
“Terima kasih.” Ucapku, saat ia meletakkan teh untukku di depan ku. Lalu ia meletakkan kopi di depan tempat ia duduk.
“Aku senang, akhirnya kita bisa bertemu lagi.”
“Aku kalah.” Suara lirihku membuat senyum Liam hilang dari bibirnya.