Aku bertingkah seolah hidupku sudah tidak harapan di hari itu, tapi keesokkan harinya, aku turun ke ruang makan di pagi hari dan menyapa Ibuku yang sedang sarapan. Dengan senyuman, dan suara yang ceria. Aku membuang diriku yang sebenarnya, menguburnya jauh di dalam hatiku. Dan aku memilih untuk menjadi diriku yang diinginkan oleh Ayahku.
“Mungkin aku bisa meminta Chris mengantarkanku siang ini ke kampus. Aku tidak punya jadwal kelas pagi, jadi aku bisa makan siang dulu dengan Chris.” Kataku, sambil mengotak-atik ponselku, mengetik pesan dan mengirimkannya pada Chris.
“Kamu tidak apa-apa?” Perilaku anehku membuat Ibu khawatir padaku. “Apa yang terjadi kemarin?” tanya Ibu.
Aku mengambil mangkuk, mengisinya dengan susu dan sereal, lalu membawanya bersamaku. “Aku baik-baik saja.” Jawabku, sambil tersenyum dingin pada Ibuku. Kubawa sarapanku ke kamar, dan memilih untuk makan di kamar. Tapi pada nyatanya semangkuk sereal itu bahkan tidak kusentuh. Hanya kuletakkan begitu saja di meja belajarku. Aku duduk di tempat tidurku, melihat ke arah luar jendelaku, yang memiliki pemandangan taman belakang serta kolam renang rumahku. Aku diam, kembali membiarkan diriku tertelan lamunanku sendiri. Hingga Chris menjemputku untuk makan siang dan mengantarku ke kampus.
Aku turun setelah selesai bersiap-siap, pamit pada Ibuku dengan senyuman dan ciuman di pipi kanan. Aku bersikap seolah aku baik-baik saja. Chris sudah bersama Ibu saat itu, ia turun dari mobil untuk menyapa Ibuku. Kuajak dia untuk segera masuk ke dalam mobil dan berangkat.
“Kamu terlihat kacau.” Kata Chris, sambil menyetir.
“Aku baik-baik saja.” Jawabku, sambil tersenyum.
Ia melihat senyumku sekilas, lalu kembali fokus menyetir. “Senyummu terlihat kaku. Perilakumu tidak natural.” Kata-kata Chris merupakan pukulan telak bagiku. Senyumku perlahan hilang, dan aku kembali tanpa ekspresi.
“Lebih mudah kalau kamu pura-pura tidak sadar.” Jawabku, lalu fokus melihat jalan dari kaca depan mobil.
Tidak banyak percakapan yang terjadi diantara kami, hingga mobil yang dikendarai Chris sampai pada restoran langganan keluarganya. Di sana pun kami menghabiskan lebih banyak waktu dengan berdiam. Hanya menyantap makanan, lalu ia kembali mengendarai mobilnya untuk mengantakanku ke kampus.
“Lilly,” panggil Chris, saat aku keluar dari mobilnya. “jangan terlalu memaksakan diri.” Lanjutnya. Aku tidak menanggapinya, dan memilih untuk menutup pintu mobil tanpa menjawab.
Hebatnya, secara kebetulan aku bertemu dengan Sarah. Wajahnya terlihat terkejut, melihat aku turun dari mobil kakaknya. Sarah berjalan mendekatiku secara perlahan, sambil melihat mobil kakaknya yang melaju keluar dari kampus.
“Wow, aku belum mendengar apapun tentang ini.” kata Sarah.
“Tentang apa?” tanyaku, sambil memimpin jalan kami ke arah kelas. Aku dan Sarah bertemu dengan Liam saat berada di lorong barisan kelas-kelas. Kami saling berpandangan sepintas, namun segera ku alihkan pandanganku. Wajah Liam terlihat sedih, ia hanya berdiri melihatku yang berjalan melewatinya, dengan wajah yang memelasnya.
Sarah bingung, ia melihatku dan Liam secara bergantian, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi diantara aku, Liam, dan Chris kakaknya.
“Cerita apa yang sudah kulewatkan?” tanya Sarah, sambil duduk di salah satu bangku dalam kelas. Aku duduk di sampingnya.
“Tidak ada. Aku hanya, membiarkan diriku mengikuti alur.” Jawabku, sambil melepaskan tali tas dari pundakku, lalu mengambil sebuah buku dari tasku.