Chris kembali mengantarku ke kampus, bersama dengan Sarah yang memaksa untuk ikut. Tentu saja aku tidak ada masalah dengan itu, tapi Chris terlihat keberatan, bila adik perempuannya terus mengekori kami. Ia ingin bertemu denganku berdua, tetapi Sarah selalu minta untuk ikut. Sangat jelas Sarah sedang mengawasiku. Ia tidak akan membiarkan kakaknya berdua saja denganku.
Keadaan hubunganku dengan Sarah menjadi semakin menjauh. Kami tidak pernah lagi mengobrol saat di kampus, bahkan bertegur sapa pun tidak. Kelas yang kami ambil dalam semester ini sama, karena memang biasanya kami selalu menyamakan jadwal. Jadi mau tidak mau kami terpaksa tetap bertemu setiap kelas. Walaupun tempat duduk kami sekarang terpisah jauh. Karena Sarah supel, ia tetap memiliki banyak teman tanpa aku. Tidak seperti aku, yang hanya memiliki Sarah sebagai teman baikku.
Di setiap kelas aku selalu menyendiri di pojokan, mendengarkan penjelasan dosen tanpa fokus. Tidak jarang aku membolos, karena terlalu malas menghadapi situasi saat di kelas. Yah, duduk di pojokan dan sendiri sangat tidak menyenangkan.
***
“Lilly,” Liam menarik tanganku, membawaku ke dalam kelas terdekat yang sedang kosong. Ia bergerak dengan sangat cepat, sehingga aku tidak sempat menolak. Kusesali diriku yang berniat membolos saat ini. Seandainya aku sedang berada di kelas, aku tidak akan bertemu dengan Liam. Kutundukkan kepalaku agar tidak melihatnya. Aku bisa mendengarnya menghela napas yang sangat berat.
Satu tanganku masih berada dalam genggamannya yang begitu erat, hingga membuat lengan tanganku memerah, “Sakit.” Ucapku, lirih.
Secara spontan, Liam melepaskan tanganku. “Maaf.” Ucapnya, “Kalau tidak begini kamu pasti tidak mau bertemu denganku."
Sambil memegang lenganku yang memerah, aku membuang muka. Rasanya aku tidak sanggup melihat wajah Liam, setelah menyakitinya dengan pengumuman pertunanganku dengan laki-laki lain.
Liam tahu, aku pasti tidak mau membuka mulut sama sekali, jadi ia sudah menyiapkan sebuah kertas yang sudah ia tuliskan untukku. Ya, untukku. Perempuan yang telah menyerah terhadapnya. Liam menempelkan kertas yang sudah ia lipat sekecil mungkin itu ke telapak tanganku, lalu satu tangannya lagi ia gunakan untuk mengepalkan tanganku yang berisi kertas pemberiannya itu.
Aku malah bernapas lega ketika Liam meninggalkanku seorang diri. Aku terduduk lemas, sambil masih memegang kertas yang ia berikan, dan bersandar pada tembok yang kubelakangi. Satu tanganku kugunakan untuk memegang dahiku, karena kini kepalaku terasa mual. Bukan karena sakit, tapi karena aku terlalu banyak berpikir berat. Semua masalahku menumpuk di kepalaku. Air mataku menolak untuk keluar ketika aku mencoba untuk menangis, itu membuat keadaanku bertambah buruk. Aku tidak bisa meluapkan emosiku sama sekali.
Suara derap langkah kaki beberapa mahasiswa mengagetkanku. Aku segera bangkit berdiri dan segera merapikan rambutku yang berantakan sebelum mereka masuk. Tiga mahasiswa mengentikan obrolannya, ketika salah satu dari mereka tidak sengaja menabrakku yang menerobos keluar dari ruangan. Tanpa meminta maaf, aku tetap berjalan cepat menjauh dari mereka.