Sinar terik matahari sudah menyelesaikan tugasnya menghiasi langit hari ini. Sesekali kulihat jam tanganku, pukul empat lebih dua puluh lima sore. Sudah telat dua puluh lima menit dari waktu janjianku dengan Liam. Tertera pada kertas yang diberikan Liam padaku, ia akan menungguku pukul empat sore di depan sebuah minimarket sebelah stasiun kereta.
Susah payah aku mendapatkan izin dari Ibuku untuk pergi dengan Sammy sebagai supirku. Dengan alasan akan mencari perhiasan yang kupakai saat acara tunanganku, Ibu sempat memaksa agar aku pergi dengan Chris saja. Tapi aku beralasan, ingin membuat kejutan untuk Chris.
Di sinilah aku sekarang, di dalam mobil yang terparkir sedikit jauh dari minimarket yang kutuju, di temani oleh Sammy. Aku menunggu di mobil bukan karena Liam tidak datang. Bukan, dirinya bahkan sudah terlihat duduk di kursi depan minimarket dengan koper kecilnya, begitu mobilku tiba di sini. Dia tetap menungguku, walaupun tidak ada jaminan bahwa aku akan datang hari ini.
“Anda masih belum mau turun?” tanya Sammy, yang dari tadi melihatku menatap Liam dari balik jendela mobil.
“Sebentar lagi.” jawabku. Kuremas kertas yang kubawa di tanganku. Bukan kertas dari Liam, tapi kertas yang kutulis, jawabanku untuk Liam.
Setengah jam kembali berlalu, aku masih berada di tempatku, di dalam mobil. Terlihat Liam sepertinya tertidur, satu lengannya di letakkan di atas meja, sebagai alas kepalanya. Satu tangannya lagi menjuntai ke bawah, memegangi kopernya.
Kubuka pintu mobil, dan mendekati Liam secara perlahan. Aku berusaha untuk tidak membuat bebunyian sama sekali. Tepat di sampingnya aku berdiri, dan memandanginya sebentar. Kuletakkan kertas yang kubawa tadi ke mejanya. Kuselipkan di bawah tangannya, agar tidak terbang terbawa angin.
Matanya terbuka! Ia menyadari kehadiranku. Sebelum aku sempat menarik tanganku, ia sudah lebih dulu menyambarnya. Kusentakkan tanganku agar dilepaskannya, lalu kusodorkan kertas yang sudah terletak di meja itu lebih dekat padanya.
“Aku kemari hanya untuk memberimu ini.” kataku.
“Kamu tidak akan ikut denganku? Aku sudah menyiapkan tiket kereta untukmu.”
Kutolehkan wajahku, agar pandangan mataku tidak mengarah padanya. “Aku harus pergi.” Kataku, tanpa melihat lagi ke arahnya. Kubalikkan badanku dan melangkah, namun tertahan dengan tangannya yang kembali meraih tanganku. Tapi kini dengan lembut.
“Please” mohonnya. Kukuatkan hatiku untuk tetap menolak ajakannya, sekali lagi kuhempaskan tangannya yang menggenggamku dengan seluruh perasaannya. Tanpa mengucapkan apapun, aku segera berjalan cepat menuju mobil yang dikendarai oleh Sammy tadi.
Begitu masuk ke dalam mobil, aku menoleh ke belakang, melihat dari kaca belakang mobil. Liam berlari, ia mengejarku. Sambil menggedor-gedor pintu mobilku yang sudah kukunci, Liam terus berteriak dan memohon, “Tolong turun sebentar. Aku, aku, masih ada yang ingin kusampaikan.” Katanya, dengan muka yang memelas dan seperti menahan tangis.