Aku baru selesai memasak untuk makan malam, ketika Liam tiba di rumah kecil kami. Ukurannya, interiornya, isi perabotannya sangat kontras bila dibandingkan dengan rumah lama kami. Maksudku rumah orang tua kami. Walaupun hanya berukuran 3X5 meter dengan dua lantai, dengan halaman depan rumah tanpa pagar, Liam membelinya dengan susah payah. Ia menjual seluruh asetnya di kota tempat tinggal kami sebelumnya, dan membeli rumah kecil dengan sebagian dari uang itu. Sebagiannya lagi ia gunakan untuk membeli perabotan seadanya, barang-barang kebutuhanku, dan untuk kehidupan kami sehari-hari, sementara ia sedang mencari pekerjaan.
Lantai satu terdiri dari ruang tamu, ruang makan, dapur, satu kamar tamu dan kamar mandi. Sedangkan pada lantai dua, terdiri dari satu ruangan yang digunakan Liam sebagai ruang kerjanya, kamar tidur kami, serta ruang laundry. Terdapat beranda kecil yang terletak di sebelah kamar kami, yang sering kami gunakan di sore hari untuk bersantai, ketika Liam sedang libur dari pekerjaannya.
Untungnya Liam orang yang pintar dan pandai berbicara. Sehingga tak butuh lama untuknya mencari sebuah pekerjaan. Yah, walaupun bukan pekerjaan dengan pangkat dan penghasilan yang tinggi.
“Harum sekali.” Puji Liam, sambil meletakkan tas kerjanya di sofa ruang tamu. Suaranya terdengar hingga ke dapur, karena rumah ini memang tidak luas.
“Kamu pasti lapar.” Kataku, sambil membawa piring dengan masakanku diatasnya. Itu adalah piring terakhir yang harus kupindahkan ke meja makan, setelah sebelumnya aku menata piring, gelas, serta hidangan lainnya di atas sana.
Liam sudah duduk di satu sisi meja makan yang hanya terdiri dari dua kursi ini. Ia menghela napas melihatku yang begitu sibuk dan sedikit berbau bumbu dapur. Aku ke dapur untuk terakhir kalinya, melepaskan celemek yang kugunakan saat memasak tadi, lalu menyusul Liam duduk di meja makan.
“Maaf, aku membuat hidupmu jadi tidak semudah dulu.” Katanya, mengingat dulu hidupku selalu dilayani oleh asisten-asisten rumah tangga yang ada di rumahku. Memang tidak mudah. Kuakui, aku sangat merindukan Martha, asisten rumah tangga pribadiku. Tapi kehidupanku sekarang lebih baik, karena aku tidak perlu lagi merasa tertekan, karena terpaksa melakukan apa yang tidak kuinginkan.
“Aku bersyukur karena akhirnya memutuskan untuk ikut denganmu.” Kukembangkan senyum lebarku, agar Liam merasa lega dan tidak lagi bersalah.
Liam ikut tersenyum, lalu ia menghabiskan makan malamnya yang sudah tersedia di depannya.
Sekitar satu bulan yang lalu, ketika kami baru sampai di kota ini, jujur saja sangat sulit bagiku untuk membiasakan diri. Setelah kereta terakhir yang kami naiki saat itu, kami masih harus naik bis sekitar setengah jam hingga sampai di kota ini. pemandangan pertama yang kulihat adalah, jejeran rumah kecil nan sederhana, dan beberapa toko tradisional yang terlihat sedikit kuno. Bahkan gedung tertinggi hanya sampai lima lantai saja, tanpa lift maupun escalator. Tidak ada gedung pencakar langit, hotel mewah, maupun restoran berbintang lima.
Liam menyadari wajahku yang merasa tidak nyaman saat itu, “Tenang saja, di sini ada pantai yang indah.” Hiburnya, yang tahu betul aku sangat menyukai pemandangan alam.
Walaupun lebih sederhana dari yang kuinginkan, tapi inilah impianku. Menghabiskan waktu bersama orang yang kucintai. Orang yang ditakdirkan untukku.