Suara ribut tetangga membangunkanku. Samar-samar aku mendengar teriakan seorang wanita yang memaksa anaknya untuk menghabiskan makanannya, sementara sang anak hanya membalas dengan gelak tawa. Senja sudah tiba tanpa kusadari, mengakhiri nostalgiaku dalam mimpi. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat aku melihat jam pada ponselku. Tentu saja seluruh jam dinding yang ada di rumah ini sudah tidak berdetak lagi. Kembali kupandangi rumah kecil kami dengan pandangan puas. Sudah bersih sekarang.
Rasa hampa kembali menyelimutiku, ketika sadar tidak akan ada suara pintu terbuka dan langkah kaki dari Liam kali ini. Tidak ada makanan yang kusajikan sambil menunggunya pulang kerja. Tidak lagi membantunya meletakkan jas yang ia kenakan saat bekerja di tempat yang semestinya.
Tidak ada gunanya aku duduk berdiam diri di sini, meratapi nasib, sedangkan aku tidak berusaha sama sekali untuk mencari keberadaannya. Aku tahu itu. Tapi kesedihan membuat otakku tidak bisa berpikir. seakan segala cara dan kemungkinan sudah tertutup. Aku menemukan jalan buntu
Kruk, kruk.
Oh, suara perutku mengganggu ritual kesedihanku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mencari makanan untuk mengisi perutku. Untungnya aku masih sedikit hafal dengan daerah rumahku ini. Aku masih ingat kedai mie langgananku dan Liam, yang kerap kali kami datangi jika aku terlalu malas untuk memasak.
Bergegas aku membersihkan badanku di kamar mandi dan menyalin pakaianku dengan pakaian baru yang lebih bersih. Tidak mungkin aku keluar rumah dengan penampilan yang kumal dan bau. Bebersih rumah kemarin membuat seluruh badanku menjadi kotor dan tidak karuan.
Setiap orang melihatku dengan heran. Wajah terkejut mereka tidak bisa disembunyikan. Seperti ada yang ingin ditanyakan padaku, tetapi mereka enggan. Hanya Rose yang menyapaku dengan wajar. Kebetulan ia sedang ada di luar bersama anaknya, yang berumur sekitar tiga tahun.
Pandangan heran lagi-lagi kudapatkan, kali ini dari Ibu pemilik kedai mie langgananku dan Liam. Hampir saja mangkuk yang dibawanya tergelincir jatuh dari tangannya ketika melihatku. Sejenak aku ragu untuk masuk ke dalam, tetapi suara perutku terus memaksa.
“Kata keluargamu kamu tidak akan kemari lagi.” Kata Ibu pemilik kedai yang bernama Bertha itu. Bicaranya memang seperti itu, selalu blak-blakan dan tepat sasaran. Mangkuknya di letakkan di salah satu meja makan untuk tamu, lalu tangannya sibuk membersihkan meja tersebut dengan lap kain.
“Aku mengambil barang yang tertinggal.” Jawabku, sambil duduk di salah satu meja yang ada di sana. Kedai ini tidak besar, hanya ada lima meja makan tamu, yang masing-masingnya memiliki dua buah kursi yang mengapit berhadapan.
“Pesananmu seperti biasa kan?” Tanya Ibu-ibu yang berumur sekitar empat puluh tahun itu. Sepertinya beliau masih mengingat menu favoritku di kedainya.
“Iya, terimakasih.”
“Tambah saus tomat dua sendok juga?” Ibu Bertha bahkan masih sangat menghafal permintaan khususku setiap makan di sini. Seakan aku tidak pernah menghilang dari kota ini sama sekali.
“Iya.” Timpalku lagi.
Tak sampai lima menit, pesananku sudah tersedia di meja. Bila aku selalu minta menambahkan dua sendok saus tomat pada mie pesananku, lain halnya dengan Liam yang lebih memilih cita rasa yang lebih asam. Ia suka menambahkan cuka ke dalam mie nya.
“Makanlah segera, sebelum mie nya jadi mengembang dan tidak enak.” Tegur Bu Bertha, yang melihatku hanya memandangi semangkuk mie pesananku sambil termenung.
Tersentak, segera ku ambil sendok dan garpuku, mulai menyantap makan soreku. Sesuap demi sesuap masuk ke dalam mulutku. Aku berhenti mengunyah, membayangkan Liam yang seharusnya duduk di depanku. Biasanya dengan sengaja dia akan menyuapiku dengan sesendok mie miliknya. Walaupun laki-laki itu tahu aku paling tidak suka makanan asam. Ia akan terus memaksa, sampai aku membuka mulut.
“Tidak datang dengan suamimu?” tanya bu Bertha. Masyarakat di kota ini memang mengira bahwa kami adalah pasangan yang baru menikah, dan memulai hidup baru di kota yang baru pula.