Dengan wajah tertunduk dan tangan gemetaran, Ibu berusaha menguatkan diri untuk tetap menghadapiku. Duduk di ruang keluarga, aku menantang Ibuku sendiri untuk jujur. Tanpa bisa menjawab apa pun, Ibu hanya memintaku untuk menunggu Ayah yang sedang berada di perjalanan pulang.
Lima belas menit menunggu, Ayah tiba dengan wajahnya yang terlihat lesu dan lelah.
“Jadi, apa yang mau kamu tanyakan?” Tanya beliau, sambil mengambil duduk di sebelah Ibu, tepat di seberangku. Pertanyaan itu beliau lanturkan dengan enggan.
“Dimana Liam?” tanyaku, tanpa basa-basi.
Dilemparkannya lirikannya pada Ibu. Terlihat dari matanya, Ayah seakan mengatakan bahawa Ibu adalah sumber masalah dan orang yang tidak becus mengurusi anaknya.
“Inilah alasan kami menutup-nutupinya selama ini. Kami tidak ingin kamu mencari orang itu lagi.”
“Memangnya kenapa kalau aku mencari Liam? Asal Ayah tahu, aku tidak pernah menyesal sama sekali selama hidup dengannya!”
Sambil memperbaiki posisi duduknya, Ayah berdehem. Beliau tidak ingin menjawab, tetapi aku terus mendesak. “Kita bisa lupakan orang itu, dan memulai hidup yang baru bersama. Ayah janji tidak akan mengekangmu lagi. Kita lupakan kesalahan masa lalu kita masing-masing.”
“Kalau Ayah tidak mau memberitahukanku keberadaan Liam, aku akan membenci Ayah seumur hidup!”
“Dia sudah mati! Kemanapun kamu mencarinya, tidak akan ketemu! Karena dia sudah…” Beliau tidak kuasa melanjutkan perkataannya, Dengan menggunakan kedua telapak tangannya, Ayah menutup wajahnya. Mungkinkah beliau merasa bersalah?
“Kenapa Ayah masih berbohong?” Aku meringis, memilih untuk tidak percaya. Sambil berdiri, kusentak satu kakiku, agar Ayah tahu kalau aku benar-benar marah.
“Kamu ingat ketika jatuh dari beranda lantai dua rumahmu? Keadaan Liam jauh lebih parah daripada kamu. Ia jatuh dengan kepala duluan. Sedangkan kamu, kata dokter, kamu bisa selamat karena jatuh di atas badan Laki-laki itu.”
Kakiku melemas, membuatku kembali jatuh, terduduk di kursi yang kubelakangi. Mataku berkaca-kaca. Tanganku gemetaran.
“Maafkan kami, kami hanya tidak ingin menyakiti hatimu lebih dari ini.” Kata Ibu, sambil mendekatiku, mengambil duduk di sebelahku. Beliau menenangkanku, dengan menggenggam kedua tanganku.
“Akan kucari tahu sendiri!” kuhempaskan tangan Ibuku sendiri, memilih untuk kembali berdiam diri di kamar. Seperti kebiasaanku dulu, setiap melakukan aksi protes kepada mereka.
Kukatakan pada mereka bahwa aku akan mencari tahu sendiri, tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya. Tangan, bahkan seluruh tubuhku gemetaran. Hatiku terus gelisah, bagaimana jika yang mereka katakana benar? Bagaimana jika kali ini, mereka tidak sedang berbohong? Bagaimana jika…