Sejak pulang dari rumah Liam, tidak ada hal lain yang kukerjakan, selain menangis meraung-raung di kamar tidurku. Martha yang khawatir selalu mengecek keadaanku, diketuknya pintu kamarku, sambil menanyakan kabarku. Tapi tentu saja tidak ku gubris.
Hati ini belum bisa menerima kenyataan atas kematian orang yang paling kucintai di dunia ini. Setiap aku menutup mata aku hanya bisa membayangkan wajahnya. Tawanya, senyumnya, selalu hadir di setiap mimpiku.
Ditinggalkan oleh orang sangat berarti bagiku terasa sangat-sangat menyakitkan. Dada terasa sesak ketika aku kembali mengingatnya, hatiku pedih bahkan ketika menyebut namanya di dalam hatiku. Mengingat semua yang sudah kami perjuangkan, semua yang sudah kami korbankan, hingga akhirnya bisa hidup bersama, namun kini harus berakhir dengan tragis seperti ini. Untuk apa kami berjuang? Untuk perpisahan seperti ini kah?
Hal yang paling sedih adalah, ketika aku memikirkan Liam hingga tertidur, dan terbawa dalam mimpiku. Ia tersenyum lembut, membuka lebar kedua tangannya, menyambutku dengan pelukan hangatnya. Seakan ia kembali untukku. Dan batinku mengucap, ‘aku tahu kamu akan kembali, kamu tidak mungkin tega meninggalkanku sendiri.’ Karena aku tahu, seberapa besar cinta Liam untukku. Ia bahkan rela untuk kembali setelah kematiannya.
Tapi setelah itu kenyataan kembali menghardikku setelah aku bangun dari mimpiku dengan air mata yang mengalir membasahi bantalku. Menyadari apa yang kuimpikan tidak akan mungkin menjadi nyata. Hampa kembali menyelimuti hati ini. Secepat itu angan-anganku sirna, tanpa menyisakan sedikitpun harapan.
Kembali menangis, itulah yang selalu kulakukan ketika aku menyadari, sudah tidak ada lagi jalan keluar untuk hati ini. Kemanapun aku mencari, Liam tidak akan kutemukan. Terkadang aku menyesal, merasa semua ini adalah salahku. Tak jarang juga aku marah, mengapa dirinya harus mati sendiri, dan meninggalkanku seorang diri di dunia ini, dia seharusnya mengajakku.
***
Di hari ketiga aku mengurung diri, kudengar suara ribut dari luar kamarku. Suara tangis Ibukupun ikut bercampur dengan suara keributan yang kudengar.
“Lilly bahkan belum makan sama sekali sejak dia pulang.” Begitulah kata Ibu, yang suaranya sayup-sayup terdengar.
Brakk!!! Brakk!!
Pintu kamar tidurku berhasil dibobol setelah berkali-kali didobrak oleh Ayahku. Dengan segera Ibu langsung menerobos masuk, mengkhawatirkan keadaanku yang sudah lemas di tempat tidur, tanpa asupan makanan selama tiga hari.
Seorang dokter dipanggil oleh Ayahku, untuk memberikanku infus nutrisi pengganti makanan. Tak mudah memasangkan alat infus pada tubuhku, karena aku memberontak dengan tubuh lemasku.
“Aku tidak mau!” protesku. Sambil menangis terisak, kujauhkan tanganku dari dokter tersebut.