A Piece of Puzzle

Yovi Eviani Chandra
Chapter #28

Terkuaknya Kebenaran

Jam menunjukkan pukul lima sore, ketika kami sampai di rumah kecilku dan Liam. Pintu sudah tidak terkunci saat kami sampai di sana, membuatku curiga. Ada orang yang datang ke tempat ini sebelum aku dan Ayah Ibuku tiba. Memikirkan kemungkinan siapa yang datang, membuatku mematung di depan pintu utama.

“Kenapa tidak masuk?” tanya Ayah. Beliau menerobosku untuk lebih dulu masuk ke dalam rumah. Seperti mencari seseorang, Ayah celingukan dan memeriksa seluruh ruangan di lantai satu.

Berada di belakang Ibu, aku berjalan pelan mengikuti beliau, sambil melihat Ayahku yang sibuk berkeliling.

“Mungkin di lantai dua.” Kata Ayah, lalu menuntun kami untuk menaiki anak tangga.

“Apa yang Ayah cari?” Aku berbisik pada Ibuku. Namun beliau hanya melihatku sepintas, dan kembali fokus pada anak tangga di depannya.

Aku berdiri mematung pada anak tangga terakhir dari atas, melihat lurus ke arah depan. Sebuah sofa yang terletak pada sebelah pintu kamarku terisi. Seseorang yang sangat-sangat kukenal mendudukinya. Liam.

Wajahnya terang tampak tidak suka, bertemu denganku, dan juga orang tuaku. Hampir saja aku akan melompat padanya, bila saja aku tidak melihat wajahnya yang ia tekuk. Mungkin ia tidak merindukanku, seperti aku yang sudah menggila karena sangat ingin bertemu dengannya.

“Jadi, langsung saja.” Kata Ayah, sambil menatap tajam pada Liam.

“Kamu pernah masuk ke ruang kerjaku, Lilly?” tanya Liam. Wajahnya tertunduk, memperhatikan kunci yang ia mainkan pada tangannya, di atas pahanya.

“Kamu bilang konsentrasimu sangat cepat terganggu, jadi aku tidak…”

“Benarkah?” Liam menyelaku yang belum selesai berbicara. Bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju tempat kerjanya. Memutar anak kunci yang ia masukkan ke dalam lubangnya, dan terbukalah pintu kerja Liam.

“Masuk.” Perintah Ayah padaku. Kulihat Ibuku, beliau menganggukkan kepalanya, setuju pada perintah Ayah.

Aku berjalan pelan menuju ruang kerja itu, kulihat Liam yang tidak berani mengangkat kepalanya. Betapa ingin aku mengatakan padanya, bahwa aku sangat merindukannya. Kutahan, karena aku takut dia tidak akan suka dengan keputusanku itu.

“Kuharap kamu selalu tahu bahwa aku sangat mencintaimu.” Tiba-tiba Liam berbisik, sesaat sebelum aku masuk ke dalam ruang kerjanya itu.

“Sebenarnya ada apa dengan kalian?” gerutuku.

Lihat selengkapnya